Sunday, February 21, 2016

A Blue Lullaby

It’s been three months since the last time we met. Still, I can clearly remember how it went and how my feeling was, since you left me behind without any goodbyes or even apologizes. It hurt. And hurt me more when I found myself worked harder to refrained from everything that related to him, but I throughly can’t. I’m giving up on this situation.

Sometimes I need to punch my face till I wake up and realize that overthink is just wasting time. Sometimes I need someone to open my eyes up so I can see that there are many people out of there who stayed and never left. Sometimes I need a new fresh air to breathe, a place to hide, to escape from any memories that may reminds me of him. Sometimes I need something to release what I feel now.

I have made myself busier than ever. I made plans for future, I joined to some events, I marked the date to hang-out with friends, I forced myself work harder at office, I met a lot of people. All of them worked smoothly and well, but I found an irk thing were tucked in the sidelines of my activities. Just like this night, I hate being so weak and melancholy. I hate when I’m about to sleep and suddenly feel missing someone. I earnestly dislike this situation. This one killed me slowly.

I don’t know why should him, but all I know is when he came, he brought me into a new change.
It’s been four years since the last time I fell in love, and after that, I secluded myself from something that could hurt me more just to make myself secure because I had my own trauma. I was so afraid until God sent me him and He gave us a chance to know each other. I was blessed, even we couldn’t make it last into a special relationship. I was glad, until I realize that God sent him to ‘test’ me, to bring me around that life must go on. I was happy until I learnt one thing: People come and go. Somebody may come to you, but they will leave by their own way. And when they leave, another one will come. So how life goes until the moment finally arrived, he left me.

It hurt to remember again the way he went. He left no one but unworked plans and incomplete promises, and he chose to live with another girl. I felt trifled and I hate this part. Until now, I don’t know who should be blamed; me--who has easily let myself for fall too deep until I lose myself or him--who told and promised me lies.

“Just let it go” will be the easiest thing to say, but actually hard to do. Until now, I can’t exactly choose what things I should do, whether is forgive everything or keep myself away from him. Well, you may say that forgive would be the best choice, but do you know that it’s also the most hard thing to do? Forgive isn’t as easy as you say it. Why? It needs sincerity, so does wound needs time to healed. I certainly will forgive, but not now. The sore is still ails me. Much.

At this time, I just hope that this feeling won’t distract my activities. I do also believe that in the future, I will find myself looking back to this situation with a sweetest smile because I have successfully through it. I will find myself happy with another guy and this situation will be a bedtime story for my future children or even grandchild. I do believe it.

It’s 3:10am now. I have to take a rest from all the exhausting activities. Oh, before I go to bed, let me tell you that right now, I miss you. A lot. I really miss you talking to me. Is missing you a sin? I wish it’s not and if it is, I don’t care.


Good night and see you in the few years later when I find myself happy with another guy.

Thursday, December 31, 2015

Surat Kepada Abang


Tik. Tik. Tik. Gerimis di luar jatuh pelan-pelan seiring dengan alunan Patience-nya Guns ‘n Roses yang terputar di laptopku. Arloji yang kupakai menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku masih di kantor berkutat dengan tugas tambahan yang diberikan oleh atasan. Sekarang tanggal 30 Desember, dua hari lagi tahun baru. Tugas-tugas kantor harus kuselesaikan dengan cepat kalau aku mau menikmati tahun baru tanpa beban di pikiran.
Aku mendapati beberapa lembar kertas usang di laci mejaku ketika aku sedang mencari berkas-berkas yang kemarin dibawakan oleh sekretaris. Aku terdiam. Kertas itu sudah menguning, tulisannya pun mulai memudar. Tanpa sengaja, kubaca kembali isi surat itu. Seluruh badanku tiba-tiba menggigil. Kopi yang baru kuseduh lima menit yang lalu juga menjadi dingin. Gerimis di luar semakin keras seiring dengan hujan yang jatuh pelan-pelan dari kedua mataku. Aku bergeming.

Untuk laki-laki yang selalu kurindu, bacalah surat ini. Baca dengan seksama! Semoga semua pertanyaan yang pernah muncul di kepalamu dapat kau temukan jawabannya.

Lima hari yang lalu adalah hari Jumat. Jumat terakhir di tahun 2015...
Sudah lebih dari sebulan berlalu semenjak kejadian itu. Kejadian yang amat menyayat hati, kejadian yang berhasil membuatku menangis hebat setelah bertahun-tahun lamanya aku tidak menangis seperti itu. Kejadian yang mengingatkanku dengan sebuah trauma yang kusimpan rapat-rapat. Kejadian yang membawaku kembali pada diriku di masa lalu.

2015. Kau tahu? Ada banyak hal tak terduga yang terjadi di tahun ini. Orang-orang baru hadir dengan wajah yang baru pula, orang-orang yang telah lama—atau mungkin baru saja tinggal, pergi dengan caranya masing-masing. Sebagian dari mereka kembali, sebagian lagi entah.

2015. Ada banyak pelajaran, hikmah, pengalaman, yang bisa kuambil di tahun ini. Begitu banyak kejadian-kejadian yang sebelumnya hanya kulihat di film-film atau kubaca di novel-novel maupun cerpen, terlihat nyata di hadapanku. Memang, tidak semua keinginanku tercapai sepenuhnya di tahun ini. Sebagian gagal—entah karena situasi dan kondisinya sedang tidak memungkinkan atau memang tidak direstui oleh Tuhan. Tapi, Tuhan baik. Walau beberapa impian-impianku belum terwujud, Ia memberikanku “hiburan” berupa cerita-cerita mengagumkan atau peristiwa-peristiwa yang sebelumnya hanya berada dalam fantasiku, entah cerita-cerita itu dilakonkan oleh diriku sendiri atau orang-orang terdekatku. Dan seperti film atau novel-novel yang dijual di pasaran—mungkin, cerita-cerita itu sukses memberikanku banyak pelajaran hidup. Salah satunya adalah cerita tentangmu...

Aku tidak akan pernah melupakan beberapa potong hari Jumat di tahun 2015 ini. Kata Gus Mus, “Jumat itu hari baik, lakukan hal-hal baik. Tapi jangan meunggu hari Jumat untuk melakukan kebaikan.” Ya. Kita pertama kali bertemu di hari Jumat, dan kupikir hari itu adalah salah satu hari terbaik yang pernah kumiliki. Meski mungkin tidak benar-benar baik.

Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana kita bertemu di hari Jumat di akhir bulan Juli tahun 2015. Aku masih mengingat tempatnya, pembicaraan kita, bahkan pakaian yang kau dan aku kenakan saat itu. Aku masih mengingat apa-apa yang kita bicarakan lewat pesan singkat ketika aku tiba di rumah. Bahkan percakapan kita di hari-hari setelah itu, aku masih mengingatnya dengan jelas.

Aku juga masih mengingat tempat-tempat yang pernah kita kunjungi, jalan-jalan yang kita lalui, orang-orang yang kita temui, hal-hal konyol yang kita lakukan, jam berapa kita tiba di rumah, jam berapa kita tidur. Aku masih mengingat film-film yang kita tonton, isi pembicaraan kita setiap harinya, cerita sedih dan senang yang kita bagikan. Aku akan selalu mengingat bagaimana kau memanggilku dan bagaimana aku memanggilmu. Juga beberapa rasa rindu yang kerap mengunjungimu dan mendatangiku di hampir setiap malam sejak kita tak pernah lagi bertemu—bagaimana kau dan aku menyampaikan rasa rindu itu, aku akan selalu mengingatnya dengan jelas.

Tapi, cintaku, aku juga tidak akan pernah melupakan hari Jumat yang lain di bulan November. Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana pagi itu merebut senyum dari bibirku, menggantikannya dengan tangis sepanjang hari. Aku tidak akan pernah lupa bagaimana hari itu menjadi begitu suram ketika aku bangun tidur dengan kabar yang tidak mengenakkan. Aku bahkan masih bisa mengingat wajahku yang semrawut kubawa ke kampus dan ke kantor, juga masih bisa mengingat rasanya menangis hebat di pelukan seorang sahabat.

Dan hari-hari setelahnya, aku tidak akan pernah melupakan bagaimana aku berusaha berdiri di tengah-tengah rasa sakit yang kurasakan. Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana setiap malam sebelum tidur, kuyakinkan hatiku, “Kamu bisa. Kamu kuat. Badai pasti berlalu, dan suatu saat kamu akan jatuh cinta lagi. Dengan orang baik.” Aku benar-benar tidak akan pernah melupakan rasa sakit dan kecewa itu selama hampir lima tahun aku tidak merasakan hal yang demikian. Aku tidak akan pernah lupa.

Abang, abangku. Rindu itu selalu datang, Bang. Hampir setiap saat. Hampir setiap aku melewati jalan-jalan yang pernah kita lalui, mengunjungi tempat-tempat yang pernah kita datangi, mendengarkan lagu-lagu yang diputar di radio, atau menemui teman-temanmu. Rindu itu selalu datang, Bang. Hampir setiap malam sebelum kurebahkan badanku di atas tempat tidur, atau ketika aku terbangun di pagi hari dan mendapati segala sesuatunya telah hilang. Bagaimana tidak, Bang. Berkali-kali kau berbicara padaku perihal rindu, perihal sebuah temu yang ingin sekali kau—kita wujudkan. Bagaimana tidak, Bang. Segala bentuk rindu yang kemarin kau sampaikan, seolah-olah kau tabung dalam diriku untuk suatu saat akan dilunasi. Bagaimana tidak, Bang. Aku menyimpan semua rindu yang kau berikan, dan kububuhkan harapan di setiap rasa rindu itu agar esok lusa menjadi sebuah temu yang menyenangkan.

Tapi, Bang. Rindu yang acapkali datang itu, ia tidak pernah sendirian. Ia selalu datang bersama seorang kawan yang baru kukenal di hari Jumat di bulan November itu. Ia datang bersama kekecewaan. Ia membawa rasa kecewa itu masuk ke dalam diriku melalui berbagai celah, menggerogoti seluruh ruang yang ada. Dan pada akhirnya, kekecewaan yang menjelma rasa sakit hati itu selalu menang mengalahkan rindu, Bang. Bahkan seluruh rindu dan janji yang kemarin kau tabung, habis dilahapnya. Ludes.

Abang, abangku. Bagaimana mungkin kau dapat kulupakan dengan cepat? Sedang kau adalah orang yang berhasil membuatku jatuh—sejatuh-jatuhnya cinta setelah bertahun-tahun hatiku menjadi batu. Bagaimana mungkin kau tidak berseliweran di kepalaku setiap malam? Sedang kata-kata rindu dan janji-janji temu yang kita perbincangkan kemarin, tidak ingin beranjak dari pikiranku yang sudah setengah mati berusaha mengusirnya. Dan bagaimana mungkin aku akan melunasi rindu-rindu dan janji-janji temu itu, Bang? Sedang di sana, ada perempuan yang tentu tidak ingin melepaskan dirinya dari pelukmu. Bagaimana mungkin aku mementingkan egoku demi menyelesaikan segala sesuatu yang belum kita selesaikan sama-sama? Sedang aku tahu diri, sadar posisi tempatku berdiri. Sebagai seorang perempuan, aku tahu bagaimana harus bersikap dengan perempuan-perempuan lain. Aku tidak ingin melukai perasaan perempuanmu karena egoku, Bang. Terlebih ia adalah perempuan yang kau cintai dengan sepenuh hati, tidak mungkin aku setega itu.

Abang, abangku. Kalau kemarin-kemarin kau tidak henti-hentinya menyampaikan rasa rindu dan hasratmu yang ingin bertemu, maka percayalah, Bang. Aku pun demikian. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menyimpan seluruh rindu yang kupunya dan menunggu hari di mana rindu-rindu itu akan terbalaskan, namun pada kenyataannya hari itu tidak pernah tiba. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menanti dadamu yang lapang yang selalu kau janjikan, namun kenyataannya kepala orang lain telah bersandar di sana. Kau mungkin tidak akan pernah tahu rasanya, Bang. Karena aku tidak akan pernah menyampaikannya kepadamu, kecuali lewat surat ini.

Abang, abangku. Malam ini rindu kembali datang ke kamarku yang gelap dan dipenuhi oleh segala hal tentangmu. Ia jahat. Hampir setiap malam ia merampas kantukku, memenuhi isi kepalaku, dan menyumbat arteri-venaku. Ia jahat, Bang. Tapi aku pernah mendengar sebuah nasihat, “Kalau rindu datang, maka pilihanmu hanya tiga: memenuhinya, menyimpannya, atau membunuhnya.” Maka yang kulakukan setiap kali rindu datang setelah hari Jumat di bulan November itu adalah membunuhnya, Bang. Aku membunuh semua rasa rindu yang datang—juga yang pernah kau simpan. Aku minta maaf.

Sejak hari di mana kita tidak pernah lagi bertemu, tidak ada satu hari pun setelahnya di mana aku tidak memikirkanmu, Bang. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana aku ikut bersedih ketika kau menceritakan seluruh kesedihanmu. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana rasa khawatirku ketika kau mengalami kecelakaan. Kau mungkin tidak akan pernah melihat segala bentuk usahaku untuk melunasi rindu-rindumu, memenuhi janji-janjiku untuk sebuah temu—yang selalu gagal. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana aku dengan tabah menunggu usainya kesibukanmu—kesibukan yang menjadi alasan mengapa kita jarang berkomunikasi. Hingga akhinya kau benar-benar disibukkan oleh banyak hal, sampai kau lupa dengan yang pernah kau katakan kepadaku, “Aku tidak akan mungkin melupakanmu, dan aku tidak akan mungkin tidak memberimu kabar.”

Abang, abangku. Ketahuilah, bahwa walaupun kau telah menanam luka di hatiku, kau juga telah menanamkan banyak pelajaran di sana. Kau telah membuka pintu yang selama ini tertutup rapat, menghancurkan tembok yang selama ini berdiri dengan kokoh, menerobos sebuah trauma yang mengungkung dengan kuat. Ketahuilah, bahwa Tuhan mempertemukan kita dengan orang lain karena suatu alasan. Dan satu alasan telah kudapatkan dalam dirimu, Bang: untuk belajar lebih banyak. Salah satu pelajaran favoritku yang dapat kuambil dari dirimu adalah bagaimana aku bisa menerima keberadaan orang lain di sekitarku.

Abang, abangku. Sejak pertama kali kita bertemu, orang-orang tidak henti-hentinya berbicara tentang keburukanmu. Tapi aku percaya kau, Abangku. Aku menutup rapat-rapat telingaku dari omongan-omongan jelek itu. Aku percaya kau adalah orang yang baik, dan memang benar kau baik. Mungkin kemarin kau hanya berusaha mencintaiku tetapi kau gagal, dan aku yang tidak berusaha sama sekali malah melakukannya.

Abang, abangku. Orang tuaku mengajarkanku untuk selalu berterima kasih dan meminta maaf kepada siapa pun. Maka dengan surat ini, aku ingin mengucapkan terima kasih atas waktu yang telah kau luangkan kepadaku. Kau tahu? Seseorang pernah berkata bahwa saat ada orang yang telah memberikan waktunya, sebenarnya ia telah memberikan bagian dari hidupnya yang tidak bisa diambil kembali. Maka aku sangat yakin bahwa kemarin aku pernah menjadi begitu berharga bagimu, karena telah kau berikan sebagian waktumu untukku. Walau hanya sebentar. Aku berjanji, aku tidak akan pernah melupakan waktu-waktu itu.

Abang, abangku. Aku selalu percaya satu hal: besok lusa atau minggu depan atau bulan depan atau tahun depan, aku akan kembali jatuh cinta. Aku akan menjalin hubungan dengan laki-laki yang kucintai, dengan laki-laki yang mencintaiku seperti kau mencintai perempuanmu. Atau bahkan lebih besar. Aku akan menjadi perempuan yang paling bahagia, Abang. Aku berjanji.

Abang, abangku. Jangan sungkan untuk menemuiku kalau-kalau kau butuh tempat untuk bercerita, butuh telinga untuk mendengar, atau butuh pundak untuk bersandar. Orang tuaku selalu mengajarkanku untuk berbuat baik kepada siapapun dan tidak memutuskan tali silaturahmi. Pintu itu akan selalu terbuka lebar untukmu, Bang. Untuk seorang teman lama yang datang berkunjung. Jangan khawatirkan luka yang pernah kau tanam! Percayalah, seiring berjalannya waktu, bila tidak kurawat luka itu, ia akan layu dengan sendirinya. Lalu mati.

Abang, abangku. Untuk semua hal yang telah kita lalui sama-sama, aku ingin meminta maaf kalau-kalau ada perkataan atau perbuatanku yang pernah menyakiti perasaanmu. Kita sama-sama manusia, kita tidak pernah luput dari salah. Kalau suatu saat kita bertemu lagi, entah di tempat yang pernah kita kunjungi atau di tempat yang baru, entah besok lusa atau satu—dua tiga bulan atau tahun kemudian, maka kau dapat memastikan satu hal dariku: luka itu benar telah mati, Bang. Dan aku akan berada dalam kondisi sedang berbahagia. Sangat bahagia. Aku jamin itu.

Sekarang hari Rabu dan lusa adalah hari Jumat. Jumat pertama di tahun 2016...

Sekali lagi, Abang. Terima kasih atas waktu luang yang telah kau berikan kepadaku di tahun 2015 ini. Terima kasih atas pelajaran yang kau tanamkan kepadaku, bahwa ketakutan adalah hal yang harus dihadapi, bukan dihindari. Kekecewaan dan rasa sakit hati bukanlah suatu penghalang bagi kita untuk bahagia, untuk kembali jatuh cinta. Kau telah berhasil membuatku merasakannya kembali, Bang. Merasakan jatuh cinta yang berawal dari kenyamanan dan keterbiasaan bersama, setelah bertahun-tahun aku terjebak dengan ketakutanku. Ada banyak pelajaran lagi yang sebenarnya telah kuambil, tapi tidak akan kusebut semuanya dalam surat ini. Biarlah kusimpan saja, cukup kau tahu bahwa kau telah menjadi begitu berarti bagiku, Abang. Terima kasih.

Abangku, simpanlah surat dan ceritaku ini. Kalau besok lusa aku telah dibahagiakan oleh laki-laki lain, ingatlah bahwa aku pernah bermimpi hidup bahagia denganmu, meski pada akhirnya kita harus bahagia dengan cara kita masing-masing.

Abang, abangku. Selamanya kau akan tetap menjadi abangku.

Abang, bahkan ketika aku menulis surat ini, rindu itu masih saja terus berusaha menyelami aliran darahku. Maafkan rindu itu, Bang. Aku akan segera membunuhnya.

Abangku, kau tidak akan berubah, kan? Berjanjilah bahwa kau akan menjadi salah satu kawan terbaikku, yang tidak akan pernah benar-benar melupakanku.

Abangku, apapun yang terjadi denganmu, apapun yang kau alami, tolong jangan bersedih. Doa-doaku akan selalu setia mengantarmu pada kebahagiaan.
Abang, abangku.

Aku bersyukur telah mengenalmu. Aku menyayangimu.


Yogyakarta, Desember 2015
           

Hujan di luar sudah berhenti dan arlojiku menunjukkan pukul dua belas malam. Sekarang tanggal 31 Desember 2019, besok tahun baru 2020. Sial! Aku lupa bahwa aku telah melewatkan satu hal.
Kubongkar mejaku yang penuh dengan map, kertas, dan buku. Kucari sebuah amplop berwarna kuning emas yang dihiasi pita merah. Aku terduduk lesu, lututku lemas. Kubaca baik-baik isi surat dalam amplop itu. Sebuah undangan.
Dinda, adindaku. Benar telah kau penuhi janjimu untuk jatuh cinta dengan laki-laki lain. Benarlah jaminanmu bahwa ketika kita akan bertemu di suatu tempat—sebagai teman lama, kau dalam kondisi sedang berbahagia. Sangat bahagia. Tidak kusangka tempat itu adalah kursi pengantinmu.
Malam semakin larut dan udara semakin dingin. Di luar, jalanan masih basah seperti pipiku yang baru saja dihujani air mata. Kuseruput kopiku yang mulai dingin: masih saja terasa pahit meski sudah kutambahkan lima sendok gula.
            Selamat berbahagia, adindaku.

Tuesday, January 27, 2015

Melawan Takdir

Tersebutlah dua anak manusia
Lahir dari rahim dan adat yang berbeda
Menyatu karena senja mempertemukan mereka
Membangun asa dari rindu pada penciptanya

Ia gadis cantik, elok rupa maupun akhlaknya
Bibit raja termasyhur dari tanah kelahirannya
Empat huruf emas sebelum namanya
Menjadi benteng kokoh bagi kehormatannya

Di bawah langit bergaris jingga
Dua insan mengucap janji setia
Takkan berpisah hingga ajal berbicara
Menjadi kekasih akhirat dan dunia

Ia pemuda biasa
Tidak bergelar, tidak pula anak cucu raja
Gelisah perihal mahar, sedang ia tak berharta
Hanya akhlak kekayaan yang dimilikinya

Tersebutlah dua anak manusia
Bercinta di bawah bayang-bayang nestapa
Sambil bibir yang tak henti berdoa
Agar tiada duka karena keluarga

Dua insan yang hidup dalam nelangsa
Hingga senja menjadi saksi mata
Betapa cinta menjadi pelipur lara
Melawan takdir bernama kasta

Monday, December 1, 2014

Untuk Tuhan

Tuhan, aku datang…

Hanya di hadapan-Mu, aku bertekuk lutut
Tak tahu lagi siapa yang akan kurengkuh
Dalam sujudku, aku bersimpuh
Betapa dunia telah menenggelamkanku

Tuhan, aku kembali...

Aku tahu, mungkin Kau sedang rindu
Pada hamba-Mu yang mulai jarang bertamu
Aku takut menjadi tak tahu malu
Yang meminta temu hanya ketika pilu berkawan dengan sendu

Tuhan, aku ingin berbagi...

Sungguh, tiada cinta yang lebih abadi daripada cinta-Mu
Tiada rindu yang lebih indah daripada merindukan malam bersama-Mu
Maka ketika cinta menghampiriku,
Tuntunlah daku pada insan yang juga merindu dan mencintai-Mu

Apalah arti dari sebuah cinta
Bila ia tak nyata, hanya membawa derita
Menjauhkan pecandunya dari Sang Pencipta
Betapa seisi alam akan turut berduka cita

Tuhan, ampuni daku…

Jangan murka, hamba hanya manusia biasa
Tiada pernah menjadi sempurna, tiada jua lepas dari dosa
Maka malam ini, hamba datang dengan rindu yang tak terkira
Untuk Sang Maha Esa, telah kurajut bait-bait doa

Friday, October 17, 2014

(Lagi-lagi) Negeri Dongeng

Selamat malam, negeri dongengku. Bagaimana kabarmu sekarang? Sudah lama rasanya tanganku tidak menari di atas kertas putih, bercerita tentangmu yang tidak pernah bisa kusentuh. Masihkah kau angkuh dengan pesonamu yang tidak henti-hentinya kau tawarkan? Sungguh, aku merindukan karismamu yang begitu rupawan. Parasmu yang elok seakan tidak ingin beranjak dari pikiranku—selalu bersemayam di sana. Juga matamu—tatapan elang yang hampir selalu berhasil membunuh kaum hawa, termasuk aku.

Negeri dongengku, entah ke mana lagi aku harus berjalan—mencari-cari petunjuk yang bisa mempertemukanku denganmu. Entah kepada siapa lagi aku harus bertanya, entah di mana lagi aku harus singgah. Tubuhku ini sudah semakin lelah dan kau masih saja asyik berlari. Aku ingin berhenti, tetapi kakiku terus melangkah. Aku ingin beristirahat, namun ragaku enggan memberi celah. Lalu apa yang bisa kuperbuat selain terus berjalan—walau tanpa tujuan dan arah?

Negeri dongengku, sadarkah kau bahwa kita tak pernah saling menyapa? Bahkan melirik ke arahku pun kau tidak pernah. Lucu, bukan? Ketika hanya aku yang berjuang sendirian dan kau tetap asyik dengan duniamu. Ya, aku tahu ini sudah pasti tolol, tapi bukannya cinta memang buta? Dan ia tidak pernah butuh alasan, kan?

Sungguh, kau adalah telaga yang tak akan pernah kering walau dunia hanya mengenal musim kemarau. Selalu sejuk dan mendamaikan. Wajar saja bila aku tak pernah merasa bosan menghabiskan detik demi detik untuk membayangkan setiap detil bentuk tubuhmu. Ah, kau benar-benar candu yang tak ada habisnya. Kau abadi. Maka izinkan aku terus mengagumimu, negeri dongengku. Berjalan menapaki tanah yang mengarahkanku pada tempatmu, aku tak akan berhenti, hingga waktu yang akan menghentikan langkah kakiku.

Saturday, February 8, 2014

Aku dan 19 (2)

Selamat pagi, negeri dongeng!

Kemarin, usiaku tepat sembilan belas tahun, dan ini tahun keduaku berharap kalimat “selamat ulangtahun” atau mungkin “happy birthday” kau ucapkan padaku. Tapi ternyata, harapan itu tinggallah sebuah harapan. Lagipula, siapalah aku ini? Ya, aku sadar, aku sedang berada di alam nyataku.

Dan kemarin malam pula, negeri dongengku menarikku masuk ke dalamnya, bertemu dengan pangeran impianku. Kau duduk di sana, dan kita bercengkerama bersama. Ya, hanya dengan berada di negeri dongeng—aku dan kau adalah satu. Miris memang, ketika realita menampar mimpi-mimpi indah itu dan aku hidup di sana. Negeri dongeng tidak lebih dari sekadar imajinasi dan bunga tidur belaka.

Di hari ulangtahunku yang kesembilan belas ini, ketika harapan akan hadirnya dirimu kembali tidak terwujud, negeri dongeng dengan anggunnya menghiburku. Saat realita membalikkan telapak tangannya, negeri dongeng memberikan segalanya. Ironi sekali, karena harapan akan dirimu tidak kutemukan di dunia nyata, ia hanya berada dalam negeri dongengku yang indah. Abadi di sana.

Namun walau begitu, kusyukuri apa yang kudapatkan. Terima kasih, Tuhan, untuk kado yang Kau berikan walau hanya sebuah bunga tidur yang tidak bisa kubawa masuk ke alam nyataku. Terima kasih, Tuhan, walau hanya dalam tidur lelapku kau temukan aku dengannya, setidak-tidaknya rindu itu terobati.

Thursday, February 6, 2014

Aku dan 19

Alhamdulillah. Segala puji bagi Alloh Swt., hari ini usiaku tepat memasuki 19 tahun. Rasa syukur tiada henti kupanjatkan pada-Mu, ya Alloh, atas segala nikmat dan karunia selama ini. Umur yang panjang, kesehatan, rezeki yang berkecukupan. Semuanya atas kehendak dan kasih sayang-Mu pada hamba yang hanya manusia biasa dan berlumur dosa ini.

Tidak terasa, sudah 19 tahun aku menapaki hidup di bumi ini. Semakin tua saja. Tahun depan, usiaku memasuki kepala dua. Artinya, mulai dari sekarang aku harus terbiasa menghadapi masalah-masalah yang berat. Menjadi pribadi yang lebih dewasa dan bijak dalam berpikir serta mengambil keputusan. Tangguh dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, dan mengurangi kebiasaan menangis untuk hal-hal yang tidak terlalu penting. Juga lebih mampu mengontrol emosi yang kadang naik turun. Seperti kata pepatah, semakin tinggi suatu pohon, maka semakin kencang angin yang menerpanya.

Ada banyak harapan yang kupupuk di usiaku yang kesembilan belas ini. Di antaranya:

1. Semakin Dewasa
Umur memang bukan menjadi patokan kedewasaan seseorang, namun seiring dengan bertambahnya usia, memalukan sekali bila pola pikir yang dipunyai masih bersifat kekanak-kanakan. Olehnya, haruslah kita mempunyai cara berpikir yang lebih bijak, mampu menempatkan sesuatu sesuai dengan status dan kepentingannya, serta selalu bersikap positif. Malu dong, sama umur!

2. Pendidikan yang Cemerlang
Tentu saja, aku bukan lagi remaja putih abu-abu yang kesehariannya diatur oleh jadwal yang tersusun rapi. Di bangku kuliah, aku harus bersikap lebih disiplin dalam menentukan skala prioritas. Membaca buku sebanyak mungkin, menggali ilmu lebih dalam, mengikuti berbagai kegiatan positif, mengurangi foya-foya dan pesta pora. Dengan memaksimalkan waktu untuk hal-hal yang sifatnya baik, insya Alloh, kesuksesan akan segera berada dalam genggaman.

3. Lebih Dekat Bersama Tuhan
Selama ini aku mungkin terlalu sibuk untuk urusan duniawi, hingga terkadang mengabaikan Zat yang telah memberiku kesempatan untuk masih bisa bernafas dan berkegiatan dengan baik. Aku kemudian sadar satu hal: semakin bertambahnya usia, semakin dekat kita dengan kematian. Tentu saja aku tidak mau meninggal dalam keadaan jauh dari Alloh. Karena bila demikian, siapa lagi yang akan membantuku di alam kubur kelak? Selain itu, dekat dengan Alloh juga akan memudahkan impian dan harapanku yang tertunda. So, dunianya dapat, akhiratnya juga dapat.

4. Menemukan yang Terakhir
Sudah tiga tahun lebih lamanya aku “introspeksi diri”. Walaupun dalam kurun waktu itu, aku sempat dekat dengan beberapa pria yang—lumayan menguji mental dan perasaan, dan saat ini aku masih menyimpan satu nama dalam hati. Tapi aku tidak pernah berhenti berdoa, semoga Alloh memberikanku petunjuk tentang “orang terakhir” yang telah ditulisnya dalam Lauhul Mahfudz untukku. Semoga saja Alloh mengizinkanku bertemu, dekat dan bersama-sama dengannya dimulai dari usiaku yang kesembilan belas ini, agar aku bisa belajar menempatkannya dalam hatiku mulai dari sekarang. Semoga Alloh selalu memberiku petunjuk.

Untuk keluarga, teman-teman dan kerabat yang telah memberikan ucapan selamat ulang tahun beserta wishes-nya, terima kasih banyak. Jazakallah khairan. Thank you so much. Merci beaucoup. Danke schon. Arigatou Gozaimasu. Xie Xie. Semoga harapan-harapan yang kalian sebutkan, yang kutulis di atas, dijabah oleh Alloh Swt. Amin ya Robbal Alamin.