Tik.
Tik. Tik. Gerimis di luar jatuh pelan-pelan seiring dengan alunan Patience-nya Guns ‘n Roses yang terputar
di laptopku. Arloji yang kupakai menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku masih
di kantor berkutat dengan tugas tambahan yang diberikan oleh atasan. Sekarang
tanggal 30 Desember, dua hari lagi tahun baru. Tugas-tugas kantor harus
kuselesaikan dengan cepat kalau aku mau menikmati tahun baru tanpa beban di
pikiran.
Aku mendapati
beberapa lembar kertas usang di laci mejaku ketika aku sedang mencari
berkas-berkas yang kemarin dibawakan oleh sekretaris. Aku terdiam. Kertas itu
sudah menguning, tulisannya pun mulai memudar. Tanpa sengaja, kubaca kembali
isi surat itu. Seluruh badanku tiba-tiba menggigil. Kopi yang baru kuseduh lima
menit yang lalu juga menjadi dingin. Gerimis di luar semakin keras seiring
dengan hujan yang jatuh pelan-pelan dari kedua mataku. Aku bergeming.
Untuk laki-laki
yang selalu kurindu, bacalah surat ini. Baca dengan seksama! Semoga semua
pertanyaan yang pernah muncul di kepalamu dapat kau temukan jawabannya.
Lima hari yang lalu adalah hari Jumat. Jumat
terakhir di tahun 2015...
Sudah lebih dari sebulan berlalu semenjak
kejadian itu. Kejadian yang amat menyayat hati, kejadian yang berhasil membuatku
menangis hebat setelah bertahun-tahun lamanya aku tidak menangis seperti itu.
Kejadian yang mengingatkanku dengan sebuah trauma yang kusimpan rapat-rapat.
Kejadian yang membawaku kembali pada diriku di masa lalu.
2015. Kau tahu? Ada banyak hal tak terduga yang
terjadi di tahun ini. Orang-orang baru hadir dengan wajah yang baru pula,
orang-orang yang telah lama—atau mungkin baru saja tinggal, pergi dengan
caranya masing-masing. Sebagian dari mereka kembali, sebagian lagi entah.
2015. Ada banyak pelajaran, hikmah, pengalaman,
yang bisa kuambil di tahun ini. Begitu banyak kejadian-kejadian yang sebelumnya
hanya kulihat di film-film atau kubaca di novel-novel maupun cerpen, terlihat
nyata di hadapanku. Memang, tidak semua keinginanku tercapai sepenuhnya di
tahun ini. Sebagian gagal—entah karena situasi dan kondisinya sedang tidak
memungkinkan atau memang tidak direstui oleh Tuhan. Tapi, Tuhan baik. Walau
beberapa impian-impianku belum terwujud, Ia memberikanku “hiburan” berupa
cerita-cerita mengagumkan atau peristiwa-peristiwa yang sebelumnya hanya berada
dalam fantasiku, entah cerita-cerita itu dilakonkan oleh diriku sendiri atau
orang-orang terdekatku. Dan seperti film atau novel-novel yang dijual di
pasaran—mungkin, cerita-cerita itu sukses memberikanku banyak pelajaran hidup.
Salah satunya adalah cerita tentangmu...
Aku tidak akan pernah melupakan beberapa potong
hari Jumat di tahun 2015 ini. Kata Gus Mus, “Jumat itu hari baik, lakukan
hal-hal baik. Tapi jangan meunggu hari Jumat untuk melakukan kebaikan.” Ya. Kita pertama kali bertemu di hari
Jumat, dan kupikir hari itu adalah salah satu hari terbaik yang pernah
kumiliki. Meski mungkin tidak benar-benar baik.
Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana kita
bertemu di hari Jumat di akhir bulan Juli tahun 2015. Aku masih mengingat
tempatnya, pembicaraan kita, bahkan pakaian yang kau dan aku kenakan saat itu.
Aku masih mengingat apa-apa yang kita bicarakan lewat pesan singkat ketika aku
tiba di rumah. Bahkan percakapan kita di hari-hari setelah itu, aku masih
mengingatnya dengan jelas.
Aku juga masih mengingat tempat-tempat yang
pernah kita kunjungi, jalan-jalan yang kita lalui, orang-orang yang kita temui,
hal-hal konyol yang kita lakukan, jam berapa kita tiba di rumah, jam berapa
kita tidur. Aku masih mengingat film-film yang kita tonton, isi pembicaraan
kita setiap harinya, cerita sedih dan senang yang kita bagikan. Aku akan selalu
mengingat bagaimana kau memanggilku dan bagaimana aku memanggilmu. Juga
beberapa rasa rindu yang kerap mengunjungimu dan mendatangiku di hampir setiap
malam sejak kita tak pernah lagi bertemu—bagaimana kau dan aku menyampaikan
rasa rindu itu, aku akan selalu mengingatnya dengan jelas.
Tapi, cintaku, aku juga tidak akan pernah
melupakan hari Jumat yang lain di bulan November. Aku tidak akan pernah
melupakan bagaimana pagi itu merebut senyum dari bibirku, menggantikannya
dengan tangis sepanjang hari. Aku tidak akan pernah lupa bagaimana hari itu
menjadi begitu suram ketika aku bangun tidur dengan kabar yang tidak
mengenakkan. Aku bahkan masih bisa mengingat wajahku yang semrawut kubawa ke
kampus dan ke kantor, juga masih bisa mengingat rasanya menangis hebat di pelukan
seorang sahabat.
Dan hari-hari setelahnya, aku tidak akan pernah
melupakan bagaimana aku berusaha berdiri di tengah-tengah rasa sakit yang
kurasakan. Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana setiap malam sebelum
tidur, kuyakinkan hatiku, “Kamu bisa. Kamu kuat. Badai pasti berlalu, dan suatu
saat kamu akan jatuh cinta lagi. Dengan orang baik.” Aku benar-benar tidak akan
pernah melupakan rasa sakit dan kecewa itu selama hampir lima tahun aku tidak
merasakan hal yang demikian. Aku tidak akan pernah lupa.
Abang, abangku. Rindu itu selalu datang, Bang.
Hampir setiap saat. Hampir setiap aku melewati jalan-jalan yang pernah kita
lalui, mengunjungi tempat-tempat yang pernah kita datangi, mendengarkan
lagu-lagu yang diputar di radio, atau menemui teman-temanmu. Rindu itu selalu
datang, Bang. Hampir setiap malam sebelum kurebahkan badanku di atas tempat
tidur, atau ketika aku terbangun di pagi hari dan mendapati segala sesuatunya
telah hilang. Bagaimana tidak, Bang. Berkali-kali kau berbicara padaku perihal
rindu, perihal sebuah temu yang ingin sekali kau—kita wujudkan. Bagaimana
tidak, Bang. Segala bentuk rindu yang kemarin kau sampaikan, seolah-olah kau
tabung dalam diriku untuk suatu saat akan dilunasi. Bagaimana tidak, Bang. Aku
menyimpan semua rindu yang kau berikan, dan kububuhkan harapan di setiap rasa
rindu itu agar esok lusa menjadi sebuah temu yang menyenangkan.
Tapi, Bang. Rindu yang acapkali datang itu, ia
tidak pernah sendirian. Ia selalu datang bersama seorang kawan yang baru
kukenal di hari Jumat di bulan November itu. Ia datang bersama kekecewaan. Ia
membawa rasa kecewa itu masuk ke dalam diriku melalui berbagai celah,
menggerogoti seluruh ruang yang ada. Dan pada akhirnya, kekecewaan yang
menjelma rasa sakit hati itu selalu menang mengalahkan rindu, Bang. Bahkan
seluruh rindu dan janji yang kemarin kau tabung, habis dilahapnya. Ludes.
Abang, abangku. Bagaimana mungkin kau dapat
kulupakan dengan cepat? Sedang kau adalah orang yang berhasil membuatku
jatuh—sejatuh-jatuhnya cinta setelah bertahun-tahun hatiku menjadi batu.
Bagaimana mungkin kau tidak berseliweran di kepalaku setiap malam? Sedang
kata-kata rindu dan janji-janji temu yang kita perbincangkan kemarin, tidak
ingin beranjak dari pikiranku yang sudah setengah mati berusaha mengusirnya.
Dan bagaimana mungkin aku akan melunasi rindu-rindu dan janji-janji temu itu,
Bang? Sedang di sana, ada perempuan yang tentu tidak ingin melepaskan dirinya
dari pelukmu. Bagaimana mungkin aku mementingkan egoku demi menyelesaikan
segala sesuatu yang belum kita selesaikan sama-sama? Sedang aku tahu diri,
sadar posisi tempatku berdiri. Sebagai seorang perempuan, aku tahu bagaimana
harus bersikap dengan perempuan-perempuan lain. Aku tidak ingin melukai
perasaan perempuanmu karena egoku, Bang. Terlebih ia adalah perempuan yang kau
cintai dengan sepenuh hati, tidak mungkin aku setega itu.
Abang, abangku. Kalau kemarin-kemarin kau tidak
henti-hentinya menyampaikan rasa rindu dan hasratmu yang ingin bertemu, maka
percayalah, Bang. Aku pun demikian. Kau mungkin tidak akan pernah tahu
bagaimana rasanya menyimpan seluruh rindu yang kupunya dan menunggu hari di
mana rindu-rindu itu akan terbalaskan, namun pada kenyataannya hari itu tidak
pernah tiba. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menanti dadamu
yang lapang yang selalu kau janjikan, namun kenyataannya kepala orang lain
telah bersandar di sana. Kau mungkin tidak akan pernah tahu rasanya, Bang.
Karena aku tidak akan pernah menyampaikannya kepadamu, kecuali lewat surat ini.
Abang, abangku. Malam ini rindu kembali datang
ke kamarku yang gelap dan dipenuhi oleh segala hal tentangmu. Ia jahat. Hampir
setiap malam ia merampas kantukku, memenuhi isi kepalaku, dan menyumbat
arteri-venaku. Ia jahat, Bang. Tapi aku pernah mendengar sebuah nasihat, “Kalau
rindu datang, maka pilihanmu hanya tiga: memenuhinya, menyimpannya, atau
membunuhnya.” Maka yang kulakukan setiap
kali rindu datang setelah hari Jumat di bulan November itu adalah membunuhnya,
Bang. Aku membunuh semua rasa rindu yang datang—juga yang pernah kau simpan.
Aku minta maaf.
Sejak hari di mana kita tidak pernah lagi
bertemu, tidak ada satu hari pun setelahnya di mana aku tidak memikirkanmu,
Bang. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana aku ikut bersedih ketika kau
menceritakan seluruh kesedihanmu. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana
rasa khawatirku ketika kau mengalami kecelakaan. Kau mungkin tidak akan pernah
melihat segala bentuk usahaku untuk melunasi rindu-rindumu, memenuhi
janji-janjiku untuk sebuah temu—yang selalu gagal. Kau mungkin tidak akan
pernah tahu bagaimana aku dengan tabah menunggu usainya kesibukanmu—kesibukan
yang menjadi alasan mengapa kita jarang berkomunikasi. Hingga akhinya kau
benar-benar disibukkan oleh banyak hal, sampai kau lupa dengan yang pernah kau
katakan kepadaku, “Aku tidak akan mungkin melupakanmu, dan aku tidak akan
mungkin tidak memberimu kabar.”
Abang, abangku. Ketahuilah, bahwa walaupun kau
telah menanam luka di hatiku, kau juga telah menanamkan banyak pelajaran di
sana. Kau telah membuka pintu yang selama ini tertutup rapat, menghancurkan
tembok yang selama ini berdiri dengan kokoh, menerobos sebuah trauma yang mengungkung
dengan kuat. Ketahuilah, bahwa Tuhan mempertemukan kita dengan orang lain
karena suatu alasan. Dan satu alasan telah kudapatkan dalam dirimu, Bang: untuk
belajar lebih banyak. Salah satu pelajaran favoritku yang dapat kuambil dari
dirimu adalah bagaimana aku bisa menerima keberadaan orang lain di sekitarku.
Abang, abangku. Sejak pertama kali kita bertemu,
orang-orang tidak henti-hentinya berbicara tentang keburukanmu. Tapi aku
percaya kau, Abangku. Aku menutup rapat-rapat telingaku dari omongan-omongan
jelek itu. Aku percaya kau adalah orang yang baik, dan memang benar kau baik.
Mungkin kemarin kau hanya berusaha mencintaiku tetapi kau gagal, dan aku yang
tidak berusaha sama sekali malah melakukannya.
Abang, abangku. Orang tuaku mengajarkanku untuk
selalu berterima kasih dan meminta maaf kepada siapa pun. Maka dengan surat
ini, aku ingin mengucapkan terima kasih atas waktu yang telah kau luangkan
kepadaku. Kau tahu? Seseorang pernah berkata bahwa saat ada orang yang telah
memberikan waktunya, sebenarnya ia telah memberikan bagian dari hidupnya yang
tidak bisa diambil kembali. Maka aku sangat yakin bahwa kemarin aku pernah
menjadi begitu berharga bagimu, karena telah kau berikan sebagian waktumu
untukku. Walau hanya sebentar. Aku berjanji, aku tidak akan pernah melupakan
waktu-waktu itu.
Abang, abangku. Aku selalu percaya satu hal:
besok lusa atau minggu depan atau bulan depan atau tahun depan, aku akan
kembali jatuh cinta. Aku akan menjalin hubungan dengan laki-laki yang kucintai,
dengan laki-laki yang mencintaiku seperti kau mencintai perempuanmu. Atau
bahkan lebih besar. Aku akan menjadi perempuan yang paling bahagia, Abang. Aku
berjanji.
Abang, abangku. Jangan sungkan untuk menemuiku
kalau-kalau kau butuh tempat untuk bercerita, butuh telinga untuk mendengar,
atau butuh pundak untuk bersandar. Orang tuaku selalu mengajarkanku untuk
berbuat baik kepada siapapun dan tidak memutuskan tali silaturahmi. Pintu itu
akan selalu terbuka lebar untukmu, Bang. Untuk seorang teman lama yang datang
berkunjung. Jangan khawatirkan luka yang pernah kau tanam! Percayalah, seiring
berjalannya waktu, bila tidak kurawat luka itu, ia akan layu dengan sendirinya.
Lalu mati.
Abang, abangku. Untuk semua hal yang telah kita
lalui sama-sama, aku ingin meminta maaf kalau-kalau ada perkataan atau
perbuatanku yang pernah menyakiti perasaanmu. Kita sama-sama manusia, kita
tidak pernah luput dari salah. Kalau suatu saat kita bertemu lagi, entah di
tempat yang pernah kita kunjungi atau di tempat yang baru, entah besok lusa
atau satu—dua tiga bulan atau tahun kemudian, maka kau dapat memastikan satu
hal dariku: luka itu benar telah mati, Bang. Dan aku akan berada dalam kondisi
sedang berbahagia. Sangat bahagia. Aku jamin itu.
Sekarang hari Rabu dan lusa adalah hari Jumat.
Jumat pertama di tahun 2016...
Sekali lagi, Abang. Terima kasih atas waktu
luang yang telah kau berikan kepadaku di tahun 2015 ini. Terima kasih atas
pelajaran yang kau tanamkan kepadaku, bahwa ketakutan adalah hal yang harus
dihadapi, bukan dihindari. Kekecewaan dan rasa sakit hati bukanlah suatu
penghalang bagi kita untuk bahagia, untuk kembali jatuh cinta. Kau telah berhasil
membuatku merasakannya kembali, Bang. Merasakan jatuh cinta yang berawal dari
kenyamanan dan keterbiasaan bersama, setelah bertahun-tahun aku terjebak dengan
ketakutanku. Ada banyak pelajaran lagi yang sebenarnya telah kuambil, tapi
tidak akan kusebut semuanya dalam surat ini. Biarlah kusimpan saja, cukup kau
tahu bahwa kau telah menjadi begitu berarti bagiku, Abang. Terima kasih.
Abangku, simpanlah surat dan ceritaku ini.
Kalau besok lusa aku telah dibahagiakan oleh laki-laki lain, ingatlah bahwa aku
pernah bermimpi hidup bahagia denganmu, meski pada akhirnya kita harus bahagia
dengan cara kita masing-masing.
Abang, abangku. Selamanya kau akan tetap
menjadi abangku.
Abang, bahkan ketika aku menulis surat ini,
rindu itu masih saja terus berusaha menyelami aliran darahku. Maafkan rindu
itu, Bang. Aku akan segera membunuhnya.
Abangku, kau tidak akan berubah, kan?
Berjanjilah bahwa kau akan menjadi salah satu kawan terbaikku, yang tidak akan
pernah benar-benar melupakanku.
Abangku, apapun yang terjadi denganmu, apapun
yang kau alami, tolong jangan bersedih. Doa-doaku akan selalu setia mengantarmu
pada kebahagiaan.
Abang, abangku.
Aku bersyukur telah mengenalmu. Aku
menyayangimu.
Yogyakarta,
Desember 2015
Hujan di
luar sudah berhenti dan arlojiku menunjukkan pukul dua belas malam. Sekarang tanggal
31 Desember 2019, besok tahun baru 2020. Sial! Aku lupa bahwa aku telah
melewatkan satu hal.
Kubongkar
mejaku yang penuh dengan map, kertas, dan buku. Kucari sebuah amplop berwarna
kuning emas yang dihiasi pita merah. Aku terduduk lesu, lututku lemas. Kubaca baik-baik
isi surat dalam amplop itu. Sebuah undangan.
Dinda, adindaku. Benar telah kau penuhi janjimu
untuk jatuh cinta dengan laki-laki lain. Benarlah jaminanmu bahwa ketika kita
akan bertemu di suatu tempat—sebagai teman lama, kau dalam kondisi sedang
berbahagia. Sangat bahagia. Tidak kusangka tempat itu adalah kursi pengantinmu.
Malam semakin
larut dan udara semakin dingin. Di luar, jalanan masih basah seperti pipiku yang
baru saja dihujani air mata. Kuseruput kopiku yang mulai dingin: masih saja
terasa pahit meski sudah kutambahkan lima sendok gula.
Selamat berbahagia,
adindaku.