Friday, October 17, 2014

(Lagi-lagi) Negeri Dongeng

Selamat malam, negeri dongengku. Bagaimana kabarmu sekarang? Sudah lama rasanya tanganku tidak menari di atas kertas putih, bercerita tentangmu yang tidak pernah bisa kusentuh. Masihkah kau angkuh dengan pesonamu yang tidak henti-hentinya kau tawarkan? Sungguh, aku merindukan karismamu yang begitu rupawan. Parasmu yang elok seakan tidak ingin beranjak dari pikiranku—selalu bersemayam di sana. Juga matamu—tatapan elang yang hampir selalu berhasil membunuh kaum hawa, termasuk aku.

Negeri dongengku, entah ke mana lagi aku harus berjalan—mencari-cari petunjuk yang bisa mempertemukanku denganmu. Entah kepada siapa lagi aku harus bertanya, entah di mana lagi aku harus singgah. Tubuhku ini sudah semakin lelah dan kau masih saja asyik berlari. Aku ingin berhenti, tetapi kakiku terus melangkah. Aku ingin beristirahat, namun ragaku enggan memberi celah. Lalu apa yang bisa kuperbuat selain terus berjalan—walau tanpa tujuan dan arah?

Negeri dongengku, sadarkah kau bahwa kita tak pernah saling menyapa? Bahkan melirik ke arahku pun kau tidak pernah. Lucu, bukan? Ketika hanya aku yang berjuang sendirian dan kau tetap asyik dengan duniamu. Ya, aku tahu ini sudah pasti tolol, tapi bukannya cinta memang buta? Dan ia tidak pernah butuh alasan, kan?

Sungguh, kau adalah telaga yang tak akan pernah kering walau dunia hanya mengenal musim kemarau. Selalu sejuk dan mendamaikan. Wajar saja bila aku tak pernah merasa bosan menghabiskan detik demi detik untuk membayangkan setiap detil bentuk tubuhmu. Ah, kau benar-benar candu yang tak ada habisnya. Kau abadi. Maka izinkan aku terus mengagumimu, negeri dongengku. Berjalan menapaki tanah yang mengarahkanku pada tempatmu, aku tak akan berhenti, hingga waktu yang akan menghentikan langkah kakiku.

No comments:

Post a Comment