Thursday, December 31, 2015

Surat Kepada Abang


Tik. Tik. Tik. Gerimis di luar jatuh pelan-pelan seiring dengan alunan Patience-nya Guns ‘n Roses yang terputar di laptopku. Arloji yang kupakai menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku masih di kantor berkutat dengan tugas tambahan yang diberikan oleh atasan. Sekarang tanggal 30 Desember, dua hari lagi tahun baru. Tugas-tugas kantor harus kuselesaikan dengan cepat kalau aku mau menikmati tahun baru tanpa beban di pikiran.
Aku mendapati beberapa lembar kertas usang di laci mejaku ketika aku sedang mencari berkas-berkas yang kemarin dibawakan oleh sekretaris. Aku terdiam. Kertas itu sudah menguning, tulisannya pun mulai memudar. Tanpa sengaja, kubaca kembali isi surat itu. Seluruh badanku tiba-tiba menggigil. Kopi yang baru kuseduh lima menit yang lalu juga menjadi dingin. Gerimis di luar semakin keras seiring dengan hujan yang jatuh pelan-pelan dari kedua mataku. Aku bergeming.

Untuk laki-laki yang selalu kurindu, bacalah surat ini. Baca dengan seksama! Semoga semua pertanyaan yang pernah muncul di kepalamu dapat kau temukan jawabannya.

Lima hari yang lalu adalah hari Jumat. Jumat terakhir di tahun 2015...
Sudah lebih dari sebulan berlalu semenjak kejadian itu. Kejadian yang amat menyayat hati, kejadian yang berhasil membuatku menangis hebat setelah bertahun-tahun lamanya aku tidak menangis seperti itu. Kejadian yang mengingatkanku dengan sebuah trauma yang kusimpan rapat-rapat. Kejadian yang membawaku kembali pada diriku di masa lalu.

2015. Kau tahu? Ada banyak hal tak terduga yang terjadi di tahun ini. Orang-orang baru hadir dengan wajah yang baru pula, orang-orang yang telah lama—atau mungkin baru saja tinggal, pergi dengan caranya masing-masing. Sebagian dari mereka kembali, sebagian lagi entah.

2015. Ada banyak pelajaran, hikmah, pengalaman, yang bisa kuambil di tahun ini. Begitu banyak kejadian-kejadian yang sebelumnya hanya kulihat di film-film atau kubaca di novel-novel maupun cerpen, terlihat nyata di hadapanku. Memang, tidak semua keinginanku tercapai sepenuhnya di tahun ini. Sebagian gagal—entah karena situasi dan kondisinya sedang tidak memungkinkan atau memang tidak direstui oleh Tuhan. Tapi, Tuhan baik. Walau beberapa impian-impianku belum terwujud, Ia memberikanku “hiburan” berupa cerita-cerita mengagumkan atau peristiwa-peristiwa yang sebelumnya hanya berada dalam fantasiku, entah cerita-cerita itu dilakonkan oleh diriku sendiri atau orang-orang terdekatku. Dan seperti film atau novel-novel yang dijual di pasaran—mungkin, cerita-cerita itu sukses memberikanku banyak pelajaran hidup. Salah satunya adalah cerita tentangmu...

Aku tidak akan pernah melupakan beberapa potong hari Jumat di tahun 2015 ini. Kata Gus Mus, “Jumat itu hari baik, lakukan hal-hal baik. Tapi jangan meunggu hari Jumat untuk melakukan kebaikan.” Ya. Kita pertama kali bertemu di hari Jumat, dan kupikir hari itu adalah salah satu hari terbaik yang pernah kumiliki. Meski mungkin tidak benar-benar baik.

Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana kita bertemu di hari Jumat di akhir bulan Juli tahun 2015. Aku masih mengingat tempatnya, pembicaraan kita, bahkan pakaian yang kau dan aku kenakan saat itu. Aku masih mengingat apa-apa yang kita bicarakan lewat pesan singkat ketika aku tiba di rumah. Bahkan percakapan kita di hari-hari setelah itu, aku masih mengingatnya dengan jelas.

Aku juga masih mengingat tempat-tempat yang pernah kita kunjungi, jalan-jalan yang kita lalui, orang-orang yang kita temui, hal-hal konyol yang kita lakukan, jam berapa kita tiba di rumah, jam berapa kita tidur. Aku masih mengingat film-film yang kita tonton, isi pembicaraan kita setiap harinya, cerita sedih dan senang yang kita bagikan. Aku akan selalu mengingat bagaimana kau memanggilku dan bagaimana aku memanggilmu. Juga beberapa rasa rindu yang kerap mengunjungimu dan mendatangiku di hampir setiap malam sejak kita tak pernah lagi bertemu—bagaimana kau dan aku menyampaikan rasa rindu itu, aku akan selalu mengingatnya dengan jelas.

Tapi, cintaku, aku juga tidak akan pernah melupakan hari Jumat yang lain di bulan November. Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana pagi itu merebut senyum dari bibirku, menggantikannya dengan tangis sepanjang hari. Aku tidak akan pernah lupa bagaimana hari itu menjadi begitu suram ketika aku bangun tidur dengan kabar yang tidak mengenakkan. Aku bahkan masih bisa mengingat wajahku yang semrawut kubawa ke kampus dan ke kantor, juga masih bisa mengingat rasanya menangis hebat di pelukan seorang sahabat.

Dan hari-hari setelahnya, aku tidak akan pernah melupakan bagaimana aku berusaha berdiri di tengah-tengah rasa sakit yang kurasakan. Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana setiap malam sebelum tidur, kuyakinkan hatiku, “Kamu bisa. Kamu kuat. Badai pasti berlalu, dan suatu saat kamu akan jatuh cinta lagi. Dengan orang baik.” Aku benar-benar tidak akan pernah melupakan rasa sakit dan kecewa itu selama hampir lima tahun aku tidak merasakan hal yang demikian. Aku tidak akan pernah lupa.

Abang, abangku. Rindu itu selalu datang, Bang. Hampir setiap saat. Hampir setiap aku melewati jalan-jalan yang pernah kita lalui, mengunjungi tempat-tempat yang pernah kita datangi, mendengarkan lagu-lagu yang diputar di radio, atau menemui teman-temanmu. Rindu itu selalu datang, Bang. Hampir setiap malam sebelum kurebahkan badanku di atas tempat tidur, atau ketika aku terbangun di pagi hari dan mendapati segala sesuatunya telah hilang. Bagaimana tidak, Bang. Berkali-kali kau berbicara padaku perihal rindu, perihal sebuah temu yang ingin sekali kau—kita wujudkan. Bagaimana tidak, Bang. Segala bentuk rindu yang kemarin kau sampaikan, seolah-olah kau tabung dalam diriku untuk suatu saat akan dilunasi. Bagaimana tidak, Bang. Aku menyimpan semua rindu yang kau berikan, dan kububuhkan harapan di setiap rasa rindu itu agar esok lusa menjadi sebuah temu yang menyenangkan.

Tapi, Bang. Rindu yang acapkali datang itu, ia tidak pernah sendirian. Ia selalu datang bersama seorang kawan yang baru kukenal di hari Jumat di bulan November itu. Ia datang bersama kekecewaan. Ia membawa rasa kecewa itu masuk ke dalam diriku melalui berbagai celah, menggerogoti seluruh ruang yang ada. Dan pada akhirnya, kekecewaan yang menjelma rasa sakit hati itu selalu menang mengalahkan rindu, Bang. Bahkan seluruh rindu dan janji yang kemarin kau tabung, habis dilahapnya. Ludes.

Abang, abangku. Bagaimana mungkin kau dapat kulupakan dengan cepat? Sedang kau adalah orang yang berhasil membuatku jatuh—sejatuh-jatuhnya cinta setelah bertahun-tahun hatiku menjadi batu. Bagaimana mungkin kau tidak berseliweran di kepalaku setiap malam? Sedang kata-kata rindu dan janji-janji temu yang kita perbincangkan kemarin, tidak ingin beranjak dari pikiranku yang sudah setengah mati berusaha mengusirnya. Dan bagaimana mungkin aku akan melunasi rindu-rindu dan janji-janji temu itu, Bang? Sedang di sana, ada perempuan yang tentu tidak ingin melepaskan dirinya dari pelukmu. Bagaimana mungkin aku mementingkan egoku demi menyelesaikan segala sesuatu yang belum kita selesaikan sama-sama? Sedang aku tahu diri, sadar posisi tempatku berdiri. Sebagai seorang perempuan, aku tahu bagaimana harus bersikap dengan perempuan-perempuan lain. Aku tidak ingin melukai perasaan perempuanmu karena egoku, Bang. Terlebih ia adalah perempuan yang kau cintai dengan sepenuh hati, tidak mungkin aku setega itu.

Abang, abangku. Kalau kemarin-kemarin kau tidak henti-hentinya menyampaikan rasa rindu dan hasratmu yang ingin bertemu, maka percayalah, Bang. Aku pun demikian. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menyimpan seluruh rindu yang kupunya dan menunggu hari di mana rindu-rindu itu akan terbalaskan, namun pada kenyataannya hari itu tidak pernah tiba. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menanti dadamu yang lapang yang selalu kau janjikan, namun kenyataannya kepala orang lain telah bersandar di sana. Kau mungkin tidak akan pernah tahu rasanya, Bang. Karena aku tidak akan pernah menyampaikannya kepadamu, kecuali lewat surat ini.

Abang, abangku. Malam ini rindu kembali datang ke kamarku yang gelap dan dipenuhi oleh segala hal tentangmu. Ia jahat. Hampir setiap malam ia merampas kantukku, memenuhi isi kepalaku, dan menyumbat arteri-venaku. Ia jahat, Bang. Tapi aku pernah mendengar sebuah nasihat, “Kalau rindu datang, maka pilihanmu hanya tiga: memenuhinya, menyimpannya, atau membunuhnya.” Maka yang kulakukan setiap kali rindu datang setelah hari Jumat di bulan November itu adalah membunuhnya, Bang. Aku membunuh semua rasa rindu yang datang—juga yang pernah kau simpan. Aku minta maaf.

Sejak hari di mana kita tidak pernah lagi bertemu, tidak ada satu hari pun setelahnya di mana aku tidak memikirkanmu, Bang. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana aku ikut bersedih ketika kau menceritakan seluruh kesedihanmu. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana rasa khawatirku ketika kau mengalami kecelakaan. Kau mungkin tidak akan pernah melihat segala bentuk usahaku untuk melunasi rindu-rindumu, memenuhi janji-janjiku untuk sebuah temu—yang selalu gagal. Kau mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana aku dengan tabah menunggu usainya kesibukanmu—kesibukan yang menjadi alasan mengapa kita jarang berkomunikasi. Hingga akhinya kau benar-benar disibukkan oleh banyak hal, sampai kau lupa dengan yang pernah kau katakan kepadaku, “Aku tidak akan mungkin melupakanmu, dan aku tidak akan mungkin tidak memberimu kabar.”

Abang, abangku. Ketahuilah, bahwa walaupun kau telah menanam luka di hatiku, kau juga telah menanamkan banyak pelajaran di sana. Kau telah membuka pintu yang selama ini tertutup rapat, menghancurkan tembok yang selama ini berdiri dengan kokoh, menerobos sebuah trauma yang mengungkung dengan kuat. Ketahuilah, bahwa Tuhan mempertemukan kita dengan orang lain karena suatu alasan. Dan satu alasan telah kudapatkan dalam dirimu, Bang: untuk belajar lebih banyak. Salah satu pelajaran favoritku yang dapat kuambil dari dirimu adalah bagaimana aku bisa menerima keberadaan orang lain di sekitarku.

Abang, abangku. Sejak pertama kali kita bertemu, orang-orang tidak henti-hentinya berbicara tentang keburukanmu. Tapi aku percaya kau, Abangku. Aku menutup rapat-rapat telingaku dari omongan-omongan jelek itu. Aku percaya kau adalah orang yang baik, dan memang benar kau baik. Mungkin kemarin kau hanya berusaha mencintaiku tetapi kau gagal, dan aku yang tidak berusaha sama sekali malah melakukannya.

Abang, abangku. Orang tuaku mengajarkanku untuk selalu berterima kasih dan meminta maaf kepada siapa pun. Maka dengan surat ini, aku ingin mengucapkan terima kasih atas waktu yang telah kau luangkan kepadaku. Kau tahu? Seseorang pernah berkata bahwa saat ada orang yang telah memberikan waktunya, sebenarnya ia telah memberikan bagian dari hidupnya yang tidak bisa diambil kembali. Maka aku sangat yakin bahwa kemarin aku pernah menjadi begitu berharga bagimu, karena telah kau berikan sebagian waktumu untukku. Walau hanya sebentar. Aku berjanji, aku tidak akan pernah melupakan waktu-waktu itu.

Abang, abangku. Aku selalu percaya satu hal: besok lusa atau minggu depan atau bulan depan atau tahun depan, aku akan kembali jatuh cinta. Aku akan menjalin hubungan dengan laki-laki yang kucintai, dengan laki-laki yang mencintaiku seperti kau mencintai perempuanmu. Atau bahkan lebih besar. Aku akan menjadi perempuan yang paling bahagia, Abang. Aku berjanji.

Abang, abangku. Jangan sungkan untuk menemuiku kalau-kalau kau butuh tempat untuk bercerita, butuh telinga untuk mendengar, atau butuh pundak untuk bersandar. Orang tuaku selalu mengajarkanku untuk berbuat baik kepada siapapun dan tidak memutuskan tali silaturahmi. Pintu itu akan selalu terbuka lebar untukmu, Bang. Untuk seorang teman lama yang datang berkunjung. Jangan khawatirkan luka yang pernah kau tanam! Percayalah, seiring berjalannya waktu, bila tidak kurawat luka itu, ia akan layu dengan sendirinya. Lalu mati.

Abang, abangku. Untuk semua hal yang telah kita lalui sama-sama, aku ingin meminta maaf kalau-kalau ada perkataan atau perbuatanku yang pernah menyakiti perasaanmu. Kita sama-sama manusia, kita tidak pernah luput dari salah. Kalau suatu saat kita bertemu lagi, entah di tempat yang pernah kita kunjungi atau di tempat yang baru, entah besok lusa atau satu—dua tiga bulan atau tahun kemudian, maka kau dapat memastikan satu hal dariku: luka itu benar telah mati, Bang. Dan aku akan berada dalam kondisi sedang berbahagia. Sangat bahagia. Aku jamin itu.

Sekarang hari Rabu dan lusa adalah hari Jumat. Jumat pertama di tahun 2016...

Sekali lagi, Abang. Terima kasih atas waktu luang yang telah kau berikan kepadaku di tahun 2015 ini. Terima kasih atas pelajaran yang kau tanamkan kepadaku, bahwa ketakutan adalah hal yang harus dihadapi, bukan dihindari. Kekecewaan dan rasa sakit hati bukanlah suatu penghalang bagi kita untuk bahagia, untuk kembali jatuh cinta. Kau telah berhasil membuatku merasakannya kembali, Bang. Merasakan jatuh cinta yang berawal dari kenyamanan dan keterbiasaan bersama, setelah bertahun-tahun aku terjebak dengan ketakutanku. Ada banyak pelajaran lagi yang sebenarnya telah kuambil, tapi tidak akan kusebut semuanya dalam surat ini. Biarlah kusimpan saja, cukup kau tahu bahwa kau telah menjadi begitu berarti bagiku, Abang. Terima kasih.

Abangku, simpanlah surat dan ceritaku ini. Kalau besok lusa aku telah dibahagiakan oleh laki-laki lain, ingatlah bahwa aku pernah bermimpi hidup bahagia denganmu, meski pada akhirnya kita harus bahagia dengan cara kita masing-masing.

Abang, abangku. Selamanya kau akan tetap menjadi abangku.

Abang, bahkan ketika aku menulis surat ini, rindu itu masih saja terus berusaha menyelami aliran darahku. Maafkan rindu itu, Bang. Aku akan segera membunuhnya.

Abangku, kau tidak akan berubah, kan? Berjanjilah bahwa kau akan menjadi salah satu kawan terbaikku, yang tidak akan pernah benar-benar melupakanku.

Abangku, apapun yang terjadi denganmu, apapun yang kau alami, tolong jangan bersedih. Doa-doaku akan selalu setia mengantarmu pada kebahagiaan.
Abang, abangku.

Aku bersyukur telah mengenalmu. Aku menyayangimu.


Yogyakarta, Desember 2015
           

Hujan di luar sudah berhenti dan arlojiku menunjukkan pukul dua belas malam. Sekarang tanggal 31 Desember 2019, besok tahun baru 2020. Sial! Aku lupa bahwa aku telah melewatkan satu hal.
Kubongkar mejaku yang penuh dengan map, kertas, dan buku. Kucari sebuah amplop berwarna kuning emas yang dihiasi pita merah. Aku terduduk lesu, lututku lemas. Kubaca baik-baik isi surat dalam amplop itu. Sebuah undangan.
Dinda, adindaku. Benar telah kau penuhi janjimu untuk jatuh cinta dengan laki-laki lain. Benarlah jaminanmu bahwa ketika kita akan bertemu di suatu tempat—sebagai teman lama, kau dalam kondisi sedang berbahagia. Sangat bahagia. Tidak kusangka tempat itu adalah kursi pengantinmu.
Malam semakin larut dan udara semakin dingin. Di luar, jalanan masih basah seperti pipiku yang baru saja dihujani air mata. Kuseruput kopiku yang mulai dingin: masih saja terasa pahit meski sudah kutambahkan lima sendok gula.
            Selamat berbahagia, adindaku.

No comments:

Post a Comment