Tuesday, December 31, 2013

Aku dan Malam Tahun Baru

It’s already the last day in 2013…


Ketika semua orang sibuk mempersiapkan acara malam tahun baru, aku hanya duduk berdiam diri di kamarku. Bukannya tidak mau berpartisipasi, aku kepingin sekali malah. Bagaimana ya rasanya bertahun baru dengan teman-teman? Maybe we could have a small party, atau mungkin hanya jalan-jalan sambil menikmati kemilau kembang api di atas panorama laut. Ah, asyik sekali kelihatannya. Namun sayang, orangtuaku terlalu sayang padaku. “Tidak boleh,” katanya. “Bahaya. Banyak kasus kriminal yang terjadi di malam tahun baru.” Ya, orangtuaku memang bukan tipe orang yang gampang memberikan izin pada anaknya untuk menginap di rumah teman, atau pulang hingga di atas jam 12 malam. Kecuali untuk alasan yang jelas, dan tujuannya bukan untuk hura-hura. Serta ada beberapa orang yang bisa menjamin keselamatanku (re: bareng teman yang dikenal baik sama mereka). Ya, ambil positifnya sajalah. Mereka terlalu sayang padaku.

Jadi daripada hanya duduk kosong, berdiam diri di sudut kamar sambil meratapi nasib yang tidak bisa bertahun baruan bersama teman-teman, akhirnya aku membuat sebuah solusi. Ya, introspeksi diri.

Menurutku, ini jauh lebih bermanfaat. Introspeksi diri atas apa yang telah dilakukan selama tahun sebelumnya, dan memasang beberapa indikator pencapaian untuk tahun selanjutnya. Sebenarnya untuk kegiatan introspeksi diri ini tidak perlu hanya dilakukan pada malam tahun baru saja, namun di setiap saat. Akan tetapi, menurutku ini penting untuk menentukan beberapa target di tahun yang akan datang. Dalam kamus hidupku sendiri, kategori target hidupku ada empat, yaitu target tahunan, target bulanan, target mingguan dan target harian. Target bulanan, mingguan dan harian merupakan hasil penjabaran dari target tahunan. Makanya, aku perlu menetapkan beberapa target tahunan di awal tahun.

Alhamdulillah, ada beberapa keinginanku yang tercapai di tahun 2013. Di antaranya:
1. Lulus Ujian Nasional, meskipun nilai ujiannya jauh dari harapan.
2. Lulus di Universitas Hasanuddin melalui jalur undangan.
3. Bertemu dengan seseorang.

Di antara semua harapan yang kupasang untuk tahun 2013, hanya itu saja yang tercapai. Mungkin beberapa yang tertunda akan kembali menjadi harapan di tahun 2014 mendatang. Ya, manusia memang hanya bisa berencana tapi Tuhanlah yang menentukan.

Dan, inilah harapan-harapanku di tahun 2014 yang akan datang. Ada banyak sebenarnya, di antaranya:
1. Tinggi badan mencapai 170cm. Tinggi dan berat badan yang ideal adalah idaman kaum hawa, termasuk aku sendiri.
2. Bekerja sebagai tentor bahasa Indonesia di salah satu bimbingan belajar.
3. Lulus SBMPTN 2014? Entahlah. Semoga Tuhan selalu memberikanku petunjuk untuk hal yang satu ini.

Jadi, di malam tahun baru 2014 ini selain membuat berbagai macam resolusi, kuputuskan untuk membaca sebuah novel, atau mungkin menonton televisi yang menayangkan film-film menarik dengan ditemani oleh beberapa cemilan ringan. Terkadang, teman terbaik di saat sedang kesepian ialah makanan dan buku.


By the way, fellas, Happy New Year 2014 :):):)

Friday, December 27, 2013

Why

Kenapakah? Kenapa orang itu? Kenapa bukan orang lain? Dan kenapa harus...ah.

Tidak pernah tidak kukutuk diriku. Logikaku memberontak, tidak setuju. Lagipula...waktunya memang benar-benar tidak tepat. Dan tokohnya. Juga situasinya.

Kenapakah?

Kenapa harus terlalu peduli?

Kenapa harus berlagak seperti patung?

Kenapa ketika semua orang bersikap biasa, aku malah terpaku dengan beragam pikiran di kepalaku?

Aku baik-baik saja hingga orang itu mengisi pikiranku. Dan hatiku.

Kenapakah?

Kenapa logika sulit sekali menyatu dengan perasaan?

Sunday, December 22, 2013

Cerpen - Pesawat Kertas

Aku selalu suka saat-saat di mana aku merasa dekat dengan Sang Maha Cinta. Dalam pekatnya malam, saat mentari pagi tersenyum cerah, atau mungkin ketika hujan turun. Alasannya singkat: aku bisa bercerita banyak pada-Nya tentang dia. Ya, sesederhana itu aku mencintainya—dalam diam dan doa.

Aku tidak pernah jenuh berjalan. Sesekali kerikil membuat hidupku tersandung, mematikan nyala harapan-harapanku. Tetapi selalu saja ada yang membuat api harapan itu tersulut kembali, dan semakin aku memaknainya lebih dalam, kutemukan sendiri jawabannya: keyakinan.

Aku tidak percaya denganroman-roman picisan negeri dongeng. Aku tidak percaya sinetron—atau drama dengan sandiwara hebatnya. Ini ceritaku dengan keelokannya sendiri, aku percaya cinta akan menjemputku menuju kehidupan yang nyata.


***


Senja di sore hari itu kembali hadir dengan garis-garis tipis berwarna oranye di atas langit tempatku berdiri. Angin sepoi-sepoi menyibak seluruh permukaan kulitku dengan halus seakan ingin berkawan denganku. Burung-burung berkicau dengan riang, seperti sedang berdendang untukku. Senja yang sempurna.

Tujuh tahun silam, di tempat ini. Dengan hamparan danau yang jernih dan senja yang setia menemani, aku bersama segelas teh hangat dan setumpuk buku di sampingku. Duduk di atas rerumputan yang hijau, kuambil pena dan selembar kertas lalu kutulis sebait puisi di atasnya. Setelah selesai, kulipat kertas tadi membentuk sebuah pesawat lalu kuterbangkan ke arah utara. Pesawat itu terbang ke sana kemari dibawa oleh angin, hingga jatuh tepat di depan seorang gadis berkerudung merah muda bermata coklat. Ayu, seayu wajah dan hatinya.

Aku menari di atas awan
Membawa rindu dalam sebuah cawan
Demi senja yang mewakili cakrawala,
Kutitip pesan pada SangMaha Cinta
Untuk Kau jaga dia—bidadari tanpa sayap

Gadis itu menghampiriku dengan pesawat kertas yang kubuat di tangan kanannya. Bibirnya melengkung tipis dengan kedua cawak di pipinya sambil menyodorkan pesawat kertas itu kepadaku. Entah mengapa saat itu waktu seperti berhenti berjalan, membiarkanku terhanyut di dalamnya. Aku seperti sebuah patung, atau mungkin mayat hidup. Terbujur kaku dan pucat.

“Ambillah.” Kataku dengan suara yang serak. Susah payah kukumpulkan tenagaku untuk bisa mengucapkan satu kata saja untuknya.

“Benarkah?” Ia menimang pesawat kertas itu selama beberapa detik. “Terima kasih.” Katanya lembut sambil tertunduk malu, kedua pipinya memerah dengan senyum yang berseri-seri. Wajah putihnya yang oval semakin bersinar diterpa mentari senja. Kemudian ia berlalu dengan pesawat kertasku di tangannya yang kini menjadi miliknya.

Aku terdiam beberapa saat sambil memandangnya dari kejauhan hingga ia benar-benar hilang dari pelupuk mataku, begitu pun senja yang menemaniku sedari tadi kini mulai berganti warna. Gema azan berkumandang di angkasa, menyeru kepada setiap insan untuk menghadap pada Penguasa Alam. Kujawab dalam hati panggilan-Nya, tak lupa kuselip nama gadis tadi dalam doaku sembari berharap dijabah oleh Sang Maha Cinta.


***


“Kalian berdua ini, serasi sekali.”

Kalimat singkat nan menggetarkan hati itu tak asing lagi di telingaku. Entah sudah berapa kali kudengar dari mulut teman-temanku kala mendapatiku sedang bercengkerama dengan Ayu—gadis ayu yang hobi mengoleksi pesawat kertasku. Setiap kalimat itu lewat di pendengaranku, sebait doa terucap pula dalam hatiku. Kemudian aku mengamininya dengan penuh pengharapan dan keikhlasan, berharap agar doa-doa itu menjadi nyata dan tak lupa kusisipkan rasa ikhlas atas segala keputusan Sang Maha Cinta.

Bila benar ia masa depanku, maka jagalah api cinta ini di bawah lindungan-Mu. Pertemukan pula kami di saat yang benar-benar tepat. Bila bukan, berikan hati yang lapang untukku dan aku yakin, penggantinya akan jauh lebih baik. Amin.

Ya, sesederhana itu aku mencintainya.


***


Aku selalu suka saat-saat tengah malam, di mana aku bisa berdialog sepuasnya dengan Tuhanku. Atau ketika hujan turun, dan aku akan berdoa sebanyak mungkin. Di dalam kepercayaanku, berdoa pada saat-saat itu akan lebih mudah dikabulkan. Maka tidak kusia-siakan nikmat ini begitu saja, kucurahkan segalanya hanya kepada Yang Maha Mendengar—tidak terkecuali tentang gadis itu.

Hingga pada akhirnya doaku benar-benar terjabah. Lima tahun yang lalu dengan sepenuh hati, dibimbing oleh penghulu dan disaksikan beberapa hadirin, kuucapkan ijab kabul dengan mantap. Rasa syukur dan bahagia tiada tara ada dalam diriku kalapara saksi mengucapkan kata sah. Ditambah lagi ketika kupasangkan cincin emas di jari manis Ayu, semakin besar rasa cintaku pada Tuhan yang telah menyentuh doa-doaku.

“Masih belum puas menikmati senjanya?”

Aku terlalu sibuk dengan lamunanku sehingga tanpa kusadari sejak dari tadi Ayu berdiri di belakangku. Senyum tipis itu kembali tersungging dengan manis tatkala ia duduk di sampingku dengan beberapa buah pesawat kertas di pangkuannya. Lalu kami bercengkerama bersama, menghabiskan senja di hari ulangtahun pernikahan kami yang kelima.

“Fahran…”

Aku menoleh ke arah istriku itu. Ia lalu menggenggam tanganku dengan lembut.

“Aku seperti perempuan paling beruntung di dunia yang menjadi istri dari seorang suami yang selama ini kucintai dalam diam,”

“Aku selalu suka saat-saat di mana aku merasa dekat dengan Sang Maha Cinta. Baik itu di sepertiga malam, atau ketika hujan turun. Alasannya singkat, Fahran: Karena aku yakin seluruh munajatku tentangmu akan dikabulkan,”

Aku terdiam beberapa saat. Kubiarkan Ayu menggenggam erat kedua tanganku.

“Aku diam bukan berarti aku tidak peduli. Aku hanya mendoakanmu, sesederhana itu cintaku.”

Lalu kucium kedua punggung tangannya, kemudian kubenamkan wajahku di sana. Ada air mata bahagia yang mengalir di pipiku. Rasa syukur tiada henti-hentinya kuucapkan pada Sang Maha Cinta atas segala karunia-Nya.

Ana uhibbuka fillah, Fahran.”

Kuangkat wajahku pelan, lalu kukecup keningnya. Kemudian mataku beralih pada pesawat-pesawat kertas yang dibuatnya tergeletak begitu saja. Kuambil satu persatu, dan kuterbangkan ke udara. Ayu tersenyum kecil dan ikut menerbangkan pesawat-pesawat kertas itu. Hingga pada pesawat yang terakhir, kubiarkan ia menerbangkannya dengan sebait puisi di sana,

Cintaku tidak berbuah semu
Tidak sendu, tidak pula ragu
Dan demi senja yang selalu kurindu
Kukirimkan pesan pada Sang Maha Cinta
Untuk Kau abadikan kami dalam surga


“Ayu…”

Wajah lembutnya menoleh ke arahku, masih dengan senyumnya yang khas. Manis.

Wa ana uhibbuki fillah.”

Pesawat kertas itu menari-nari di udara.

Negeri Dongengku Hidup Kembali

Negeri dongengku punah. Istananya hancur. Rakyatnya mati. Negeri dongengku sisa puing-puing.

Realita menampar pipiku dengan keras, membangunkanku dari pembaringan. Bunga tidurku layu, tanahnya gersang. Negeri dongengku benar-benar hancur.

Lalu dengan pilu, kususun kembali kepingan-kepingan negeri dongengku. Kemudian runtuh. Lalu kususun lagi. Runtuh lagi. Kususun lagi. Aku tidak menyerah sampai akhirnya negeri dongengku kembali utuh.

Kusimpan cerita di dalamnya dengan hati-hati, kulipat rapi, kusisipkan harapan, kutiupkan doa. Lalu kuterbangkan menembus langit untuk kukirimkan pada Penguasa Semesta. Negeri dongengku hidup kembali.

Negeri dongeng yang baru, harumnya semerbak bunga, istananya tersusun apik, rakyatnya sejahtera. Negeri dongengku punya nyawa.

Thursday, November 28, 2013

Yang Terlupakan

Dulu, kau hanya kupandang sebelah mata. Tak sedikitpun pandanganku menoleh ke arahmu. Kalaupun iya, kucibirkan bibirku sambil berkata pelan, “Kampungan!”

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Kau tak jua letih menampakkan dirimu di hadapanku, di manapun aku berada. Rasa bosan akan melihatmu seringkali menyergap, namun tanpa lelah kau terus merangkul hatiku untuk selalu bersama denganmu. Akupun jengah.

Sekali lagi, kau hadir di depan mataku. Kuberanikan diri menatapmu, mendekatimu, dan... ah, apa salahnya mencoba? Lalu kumulai menjalani hari-hariku denganmu. Berat rasanya, namun selalu ada hal yang membuatku merasa nyaman. Tidak jenuh kau menuntunku menjadi pribadi yang lebih baik tiap harinya dan dengan sabar kau bimbing daku. Hatiku luluh, akupun belajar mencintaimu.

Tidak pernah kusadari sebelumnya bahwa kau adalah sebaik-baik pelindung bagiku, penjaga kehormatanku di dunia dan di akhirat kelak. Denganmu, aku merasa aman. Bersamamu, aku merasa lebih dekat dengan Tuhanku. Kenyamanan yang kau berikan seolah membuatku tak ingin berpisah darimu. Ah, kadang penyesalan datang padaku, mengapa baru sekarang aku dekat denganmu? Mengapa tidak dari dulu?

Tapi satu hal yang kusyukuri bahwa Tuhan telah membukakan pintu hatiku untuk menerimamu. Kuharap selamanya kita akan menjalani kehidupan ini, janjiku padamu tidak akan kuacuhkan kau lagi. Oh JILBABku... kau adalah sebaik-baik pelindung bagiku, dan bagi wanita muslim lain di muka bumi ini.

Sunday, October 6, 2013

Surat untuk Sang Maha Cinta

Kepada Sang Maha Cinta
Di Langit TempatNya Berpijak

Ku kirim surat ini untukMu, Sang Maha Cinta. Untuk Kau sampaikan kepada yang ku maksud di sini.

Sang Maha Cinta, perkenankanlah aku, hambaMu dengan segala keterbatasan dan kekurangan menyampaikan apa yang selama ini mengganjal dalam hati. Tentang perasaan yang tak kunjung mati, tentang rindu yang tersimpan berabad-abad lamanya.

Sang Maha Cinta, beratus-ratus tahun ku pendam segala keresahan yang semakin hari, semakin menyesakkan jiwa ini. Ku kunci rapat-rapat, ku rawat sendirian. Bilamana waktu akan menepati janjinya untuk membawaku pada sebuah kedamaian, adakah benar secercah harapan itu menungguku di sana? Lalu sampai kapan aku harus berjalan dan bertahan?

Sang Maha Cinta, terlalu banyak labirin yang harus kulalui, membuatku letih nyaris mati. Bilakah benar ada seberkas cahaya di dalamnya, lalu di mana lilin-lilin itu? Mengapa hanya ada sepi dan sunyi?

Tidak pernah bisa kutebak akan berakhir bagaimana nantinya. Kadang di setiap keputusasaaanku, harapan-harapan akan cerita indah tumbuh perlahan-lahan. Kadang pula sisi lain membantahnya dengan kasar, menampar impian-impian negeri dongeng. Logikaku melawan, tapi hati kecilku tetap bertahan.

Sang Maha Cinta, aku hanya butuh petunjuk atas jalan yang akan kulalui. Kiri atau kanan, berhenti atau terus berjalan, aku benar-benar buta. Semuanya hitam, kelam, aku kian menjadi tunanetra.

Sang Maha Cinta, bilamana ia yang akan memasangkan cincin di jari manisku kelak, biarkan saja perasaan ini hidup selamanya. Lebur saja rasa sakit hati yang ada, karena pada akhirnya aku akan bersama-sama dengannya.

Sang Maha Cinta, bilamana Kau tidak pernah mengizinkan aku bersamanya, lantaran ia benar-benar bukan yang baik untuk kehidupanku kelak, buang saja perasaan ini jauh-jauh, lebih jauh dari pada jarak Adam dan Hawa ketika Kau pisahkan. Karena hanya akan semakin sesak bila terus memendamnya tanpa pernah ada kejelasan.

Untuk Sang Maha Cinta, ku titipkan rasa cinta dan pengharapanku kepadaMu agar senantiasa Kau jaga keutuhannnya, atau Kau ganti dengan yang jauh lebih baik. Ku titipkan pula rasa rindu yang tiada tara agar Kau pertemukan kami di muka bumi tempat hamba-hambaMu berpijak, atau di taman-taman surgaMu suatu saat nanti. Hanya kepadaMu, Sang Maha Cinta, aku memuji kekuasaan dan keagunganMu. Jangan sekali-kali Kau biarkan rasa cintaku kepadaMu terkalahkan oleh rasa cintaku untuk hambaMu.

Saturday, August 24, 2013

Hanya Kau dan Tuhan

Di dunia ini, banyak hal yang bisa kita temui. Ada banyak hal pula yang bisa kita pelajari, tapi tidak semua hal bisa kita bagi kepada orang lain.

Terkadang, kita harus bisa untuk hidup sendiri. Berpikir sendiri. Bertindak sendiri. Sedih sendiri. Bahagia sendiri. Benar-benar mandiri. Mengapa? Karena tidak semua orang mengerti.

Di saat dunia mulai terasa sesak, orang-orang bertindak semaunya saja. Hingga kadang kita tidak bisa melihat dengan jelas, mana yang asli, dan mana yang palsu. Wajah asli dan topeng yang mereka gunakan nyaris tak ada bedanya. Lalu, apa yang harus kita perbuat?

Sampaikan segalanya. Keluh kesah, cerita pilu, airmata, hanya kepada satu orang saja. Yang akan menentramkan hatimu, Yang mengerti keadaanmu. Siapakah gerangan?

Ya, Tuhan.

Ada sanak familii yang selalu menemani, ada banyak kerabat yang kita miliki, tapi tidak semuanya memahami. Mungkin karena mereka tidak tahu? Atau mungkin karena mereka tidak pernah merasakan?

Sulit memang. Namun mau bagaimana lagi? Terkadang kita harus menjadi pribadi yang apatis dan masa bodoh, walau sebenarnya hatimu merengek, namun logikamu harus angkat bicara. Egois atau tidak, hanya Tuhan yang tahu.

Berjalan, berlari, bahkan di diam di tempat, semuanya adalah pilihan. Kau adalah pemeran utama dalam skenario kehidupan yang kau jalani, bukan orang lain, bukan dia, bukan mereka. Kau tentu tahu apa yang harus kau lakukan.

Wednesday, July 24, 2013

Negeri Dongeng dan Realitanya

Ini realita, dan dongeng hanya akan tetap menjadi sebuah pengantar tidur belaka. Hanya sebuah pengantar tidur...

Ini realita, dan cerpen hanya akan tetap menjadi sebuah hiburan belaka. Hanya sebuah hiburan…

Imajinasi itu seolah menjadi sahabat baikku ketika realita membalikkan punggungnya. Tidak ada apa-apa, tidak juga dirimu. Karena kau tidak lebih dari sekadar pengantar tidur yang menghiburku di setiap malam.

Perlahan aku mulai membuka mata, melihat sekeliling dunia dari sisi yang nyata. Aku hampir tidak sadar, sebegini lamanyakah aku berada di negeri dongeng? Negeri dengan sejuta khayalan yang menjadi nyata di alam pikirannya sendiri, indah, bebas, tanpa beban.

Aku seperti berjalan di atas taman bunga. Irama melodi yang mengalun terdengar bahagia bersama dengan simfoni cintanya. Segala kisah akan kekal abadi selamanya, menjadi romantis seumur hidup tanpa ada jeda yang memotongnya. Oh negeri dongeng, telah kurajut cerita cintaku di sana. Meraba setiap punggung-punggung kehidupan ratu dan raja, aku dan kau hidup bahagia.

Kau adalah segala peran dalam setiap dongengku. Kau kucintai dan kumiliki, kau segalanya. Kau bahagia dan kita menjalin cinta bersama-sama. Hatimu tempatku berlabuh, tanganmu ku genggam sehingga tak akan ada perpisahan, dirimu kurangkul erat selamanya. Cinta kita abadi...

Oh negeri dongeng, indah nian di pelupuk mataku. Hanya dengan berada di sana aku bisa menyentuh cintanya, hanya dengan berada di sana aku dapat memadu kasih dengannya. Oh negeri dongeng, andai selamanya dapat ku tempuh hidupku di sana…

Ah, realita. Aku bosan dengan euforia kepalsuanmu. Di saat segala hal menjadi serba tidak mungkin, aku turut bertekuk lutut. Di saat mereka menendang dengan kasar, aku terhimpit di antara puing-puing harapan. Apa lagi yang menarik? Nyaris tak ada. Realita terlalu suram untuk ku tempati berpijak.

Tapi kenyataannya, aku adalah realita dari kehidupan yang selama ini ku jalani. Ya, ini memang realita, dan negeri dongeng hanya akan menjadi bualan belaka.

Buta

Ia mendengar bahwa kekasihnya sedang memeluk bunga melati sebagai tanda akan cintanya kepada perempuan lain,

Ia mendengar kekasihnya akan menanam bunga melati itu di hatinya.

Ia mencoba untuk tetap berdiri di atas garis yang telah ia buat, namun angin kencang yang menerpanya barusan membuat dirinya goyah. Ia terjatuh, namun belum juga beranjak. Ia masih di sana, dengan nafas yang dibuatnya untuk bertahan hidup. Sebisa mungkin ia mencoba untuk terlihat baik-baik saja, namun siapa yang tahu akan isi hatinya?

Ia menangis, hatinya meraba sebuah perasaan yang hampir mati. Di mana cinta yang pernah berkobar-kobar itu?

Padahal baru saja ia menjadi seekor kumbang yang riang dalam tawa. Seekor kumbang yang baru saja menemukan kuncup bunga yang indah nan harum dan menjadi tahtanya layak seorang ratu semalam. Mengapa kini ia harus terluka?

Ia bahkan tak bisa melihat sisi mana ia akan terus berpijak. Semuanya terlihat begitu gelap, kosong, hampa, ia menjadi buta.

Ia menjadi buta…

Saturday, June 8, 2013

Rindu

Hati mana yang tak sedan
Melihat kekasihnya memeluk rembulan
Memadu cinta dalam senja
Merajut benang-benang asmara

Hati mana yang tak pilu
Mellihat kekasihnya merintih rindu
Mencumbu sendu di malam biru
Pada insan yang tak kau tahu

Hati mana yang tak risau
Melihat kekasihnya terus berkicau
Menggenggam hampa dalam candu
Pada setiap bait-bait lagu

Ku tengadahkan kedua tangan
Menitip doa pada Tuhan
Untuk kekasih yang bersemayam
Dalam penghias tidur di setiap malam

Ku rengkuh angin ribut
Bersama perasaan yang kalang kabut
Ku harap jua namaku kau sebut
Dalam sujudmu di setiap tahajjud

----

Ia selalu berteman dengan malam. Mengapa? Karena hanya rembulan yang tahu akan kerinduan yang ia pendam dalam kotak hatinya.

Ia hampir letih ketika menghitung jarum jam tiba di saat yang ia nantikan. Ia nyaris tak berdaya memeluk angin yang membawanya dalam helaan rindu di setiap desahannya. Perjalanannya masih panjang. Ia bahkan belum memakai kostum kehidupannya yang sementara dirajutnya.

Jika mereka ingin bertanya, masih adakah cinta di sana?

Ia bahkan menutup matanya erat-erat dari kemilau cahaya yang ia tahu akan membawanya jauh pergi. Ia mengikat tangannya, kakinya, bahkan hatinya. Ia tetap berdiri, menapaki tanah dengan garis abu-abu yang ia lukis sendiri. Dan ia tak paham akan itu.

Namun, ada setitik keraguan dalam bola mata yang tajam itu, walau hatinya tak henti-hentinya menguatkan akan cinta yang tak kenal lelah. Ada peluh yang menetes di sana, walau kesetiannya masih dalam—tidak berubah.

Sampai kapan?

Sampai ia benar-benar merasa layak.

Akankah?

Waktu, kau berhak menjawabnya.

Tuesday, May 7, 2013

Surat dari Mesir

Suasana Alexandria pada subuh itu dingin sekali dengan Laut Mediterania yang menghiasi keindahan salah satu Kota di Mesir ini. Di sekitar pesisir, banyak turis maupun penduduk lokal yang berjalan-jalan hanya sekadar untuk menikmati indahnya karya Tuhan yang Maha Agung ini. Memang, Kota Alexandria selalu diagung-agungkan bagi setiap pengunjung Negara Seribu Menara.
Sally terbangun dari tidurnya. Kenapa semuanya tiba-tiba gelap? Mungkinkah… ah ternyata hanya mimpi. Ia terduduk lesu di atas kasurnya. Mimpi yang indah, apakah kesempatan itu benar-benar ada? Kesempatan untuk bersama-sama dengan orang yang dicintainya, orang yang selalu terselip namanya dalam doanya, orang yang menjadi penyemangatnya hingga kini. Entahlah, pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya enggan terjawab sekarang. Mungkin di lain waktu.
Sally bangkit lalu mengambil air wudhu. Dibasuhnya tangan, wajah, lengan, rambut, telinga dan kakinya dengan air dingin. Setelah itu digelarnya sajadah hijau di samping tempat tidurnya. Dalam sujud terakhirnya, ia berdoa lama sekali. Segala keluh kesah ia tumpahkan kepada Yang Maha Mendengar. Tentang keluarganya, kerabatnya, pendidikannya, dan si pemuda itu. Setelah selesai salam, kembali ia tengadahkan tangannya, memohon doa kepada Yang Maha Mengabulkan.
Dan sosok pemuda itu kembali hadir dalam tahajjudnya.
***

Fahmi menutup laptopnya. Ia terlihat gelisah dengan e-mail yang baru saja diterimanya. Lebih tepatnya, yang baru saja ia baca. E-mail itu sudah lama berada di dalam kotak masuknya, namun baru ia baca setelah setahun berlalu. Dari jendela apartemennya, terlihat kolam renang di lantai dasar dan pemandangan indah Kota Makassar. Ia menatap kosong.
“Fahmi, kamu belum makan siang, nak?” Bu Rara mengagetkan Fahmi.
“Eh, belum, Bu.”
“Fahmi, kamu kan sudah menyelesaikan program magistermu. Apa rencana hidupmu ke depannya?” Bu Rara membelai rambut anaknya.
“Fahmi rencananya mau membuka perusahaan baru lagi di Singapura, sambil kuliah mengambil S3.”
“Lalu?”
“Lalu…”
“Kau tidak berpikir untuk menikah?”
Menikah? Ya. Semua orang pasti ingin menikah. Namun permasalahannya, calon itu belum ada.
“Tapi, Bu…”
“Ibu tahu.” Lirih Bu Rara. “Ibu punya teman, anaknya baru saja menyelesaikan program sarjana di Universitas Al-Azhar. Sebentar lagi ia kembali ke Indonesia. Kalau kau mau, Ibu bisa memintanya untuk menjadi calon istrimu.”
“Ibu sudah pernah melihat orangnya?”
“Ya. Waktu Ibu berkunjung ke Mesir menemui teman Ibu itu. Dia cantik, santun, rajin, cerdas, dan tentu saja shalehah.”
“Siapa namanya?”
“Aisha Farhana.”
Hmm, nama yang indah. Tapi apakah ia mau menikah dengan pria sepertiku?
“Kau shalat istikharah dulu kalau masih bingung. Kalau sudah ada jawabannya, segera hubungi Ibu.”
“Baik, Bu.”
Bu Rara lalu meninggalkan Fahmi sendirian. Aisha Farhana. Jika aku menikahi Aisha, bagaimana dengan perempuan yang mengharapkanku selama delapan tahun itu? Apakah ia sanggup melihatku bersanding di pelaminan dengan perempuan lain?
Fahmi bangkit. Ia merebahkan dirinya di atas kasur nan empuk miliknya.
E-mail itu. Surat cinta yang terpendam dalam diam dan hening. Mengapa aku baru mengetahuinya sekarang? Mengapa waktu kita selalu salah?
Dan mengapa aku tak pernah bisa mengungkapkan perasaan itu?
Pergolakan dengan batinnya membuat Fahmi tertidur pulas.

***

Alexandria International Airport terlihat ramai. Raihan berjalan menuju salah satu taksi dengan sebuah koper besar yang dibawanya.
“Amoun Hotel Alexandria.” Ujarnya lalu taksi itu melaju kencang.
Sesampainya di hotel, ia menuju sebuah restoran di pinggir Kota Alexandria. Sesaat matanya menangkap seorang sosok yang dikenalnya.
“Sally!” Seru Raihan.
Perempuan berjilbab ungu itu berbalik ke kanan. “Raihan!” Sally berjalan pelan ke arah laki-laki yang memanggilnya itu.
“Assalamu’alaikum.” Sally menyapa.
“Wa’alaikum salam.” Raihan menjawab. “Mengapa kau ada di sini?”
“Aku kuliah di sini, baru saja aku selesai diwisuda dua minggu yang lalu. Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?”
Raihan terdiam sejenak. “Aku mencari seseorang.”
“Oh, siapa? Apakah aku mengenalnya?”
“Ya. Kau sangat mengenalnya.”
“Kau tidak ingin memberitahuku? Mungkin saja aku bisa membantumu…”
“Tidak. Tidak perlu, terima kasih. Tanpa kau cari tahu pun, kau telah menemukannya.”
Sally mengerutkan keningnya. “Maksudmu?”
“Ah, sudahlah. Bagaimana kabarmu?” Raihan mengalihkan pembicaraan.
“Alhamdulillah, seperti yang kau lihat sekarang. Aku baik-baik saja.”
“Syukurlah. Delapan tahun kita tidak bertemu, aku tiba-tiba teringat masa-masa kita semasih SMA…”
Sally mampu menangkap sinyal itu. “Sudahlah, Raihan.” Sally melanjutkan, “Ngomong-ngomong, kau kuliah di mana?”
“Ternyata kau masih sama seperti dahulu, selalu mengalihkan pembicaraan yang tidak ingin kau bahas.” Raihan tersenyum.
“Aku ingin memintamu satu hal…” Raihan kemudian teringat tujuannya datang ke Mesir.
“Aku…” ia lalu terdiam, tak mampu meneruskan perkataannya. Semilir angin di Pantai Mediterania menambah suasana ketegangan. “Hm?” Sally mengangkat bahunya.
“Aku…”
“Oh iya, aku ingin memberikanmu sesuatu.” Sally lalu teringat sebuah undangan yang berada di dalam tasnya. “Ini untukmu.”
Raihan menerima undangan berwarna merah itu dengan tangan gemetar. Dibukanya perlahan, lalu dibacanya isinya.
“Sally… Kau… ingin menikah?” tanyanya pelan-pelan.
“Ya.” Sally tersenyum. “Ku harap kau akan datang di hari bersejarahku ini.”
Raihan menatap undangan itu dengan mata berkaca-kaca. “Sasaki Hiroto? Dia…”
“Begitulah.” Sally menjawab. “Maaf, Raihan. Aku harus pamit sekarang. Aku ingin menghubungi rekan-rekanku yang lain mengenai pernikahanku ini. Assalamu’alaikum.” Sally berdiri dari kursinya lalu berjalan pelan-pelan. Pandangan Raihan masih tertuju pada undangan itu. Ah, Sally, baru saja aku ingin memintamu menjadi istriku, ternyata minggu depan kau akan menikah. Raihan tertunduk. Mengapa dulu aku menyia-nyiakan perasaannya? Ah, semuanya kini sudah terlambat.
Maafkan aku, Raihan. Aku sudah tahu maksud kedatanganmu ke sini. Aku hanya bisa berdoa, semoga kau cepat menyusulku dengan menikah bersama perempuan yang pantas denganmu. Aku hanyalah masa lalumu, dan aku telah menemukan masa depanku. Sally berjalan cepat menyusuri El-Bitash Street dengan airmata yang membasahi pipinya.
Sementara itu di Kota Makassar, Indonesia…
“Kau bahagia kan, nak?”
Fahmi tersadar dari lamunannya. “Eh, tentu saja, Bu. Kenapa Ibu tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“Akhir-akhir ini Ibu sering melihat kamu murung. Kamu sedang tidak dalam masalah, kan?”
“Tidak, Bu. Mungkin Fahmi hanya sedikit gugup. Ibu tidak perlu khawatir, Fahmi baik-baik saja.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Fahmi tiba-tiba teringat pembicaraannya dengan ibunya seminggu yang lalu…
“Kau yakin, nak?”
“Fahmi sudah istikharah, Bu. Dan ini jawaban Fahmi.”
“Alhamdulilllah. Kau tidak ingin menemui calon istrimu dulu?”
“Tidak usah, Bu. Itu memakan waktu lama lagi. Fahmi boleh melihat fotonya?” Bu Rara lalu mengambil ponselnya kemudian memperlihatkan sebuah foto perempuan bercadar biru.
“Ibu juga punya fotonya Aisha sewaktu ia membuka cadarnya…”
“Ini saja sudah cukup, Bu.” Fahmi menolak. “Insya Allah, dia perempuan yang baik untuk Fahmi.”

Bu Rara memeluk putranya. Amin ya Rabbal Alamin. Maha Suci Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan.

***

Sally duduk di kursi yang terletak di samping jendela. Pesawat yang ia tumpangi ini akan mendarat di Sultan Hasanuddin International Airport, Makassar, Indonesia. Tujuannya pulang ke kota ini untuk bertemu dengan sanak famili, dan tentu saja melangsungkan sebuah acara yang tak akan pernah terlupakan dalam hidupnya.
Sally tiba-tiba teringat sebuah surat yang ia kirimkan beberapa bulan yang lalu. Surat yang mengungkapkan isi perasaannya selama delapan tahun terpendam. Surat usang yang kini tiada artinya lagi. Ah, Fahmi, betapa aku berharap kaulah yang akan memasangkan cincin pernikahan itu di jari manisku ini. Tiba-tiba pesawat yang ditumpanginya bergoncang keras dan menyadarkan lamunannya. Astaghfirullah, seharusnya aku tidak boleh berpikiran seperti itu. Sally berkali-kali mengucapkan istighfar dalam hati, lalu menghibur dirinya sendiri dengan mengambil Al-Qur’an dan membacanya.

***

Ahad, 10 Juli 2011…

Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Aisha berada di dalam kamarnya dengan mengenakan gaun muslimah putih bersama Ibu dan beberapa sahabatnya. Dari luar, ia mendengarkan suara seorang laki-laki sedang mengucapkan ijab kabul dengan mantap.
“Alhamdulillah, sah.” Seluruh saksi yang hadir dalam ruangan itu lalu memanjatkan doa kepada kedua mempelai. Fahmi yang tampak gagah dengan kemeja putihnya menitikkan air mata. Entah air mata bahagia karena kini ia memiliki seorang istri, atau sedih karena istrinya bukanlah seorang perempuan yang ia harapkan.
Barakallahu laku ma wabaraka ‘alaikuma wal jama’ah bainakuma fii khair.” Raihan yang hadir dalam acara itu memeluk Fahmi. “Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah, Amin.”
Syukran yaa akhi.” Fahmi membalas pelukan Raihan dengan senyum yang tersungging di bibirnya.
Fahmi menuju sebuah kamar yang terletak di lantai atas. Pintu kamar itu dihiasi bunga mawar berwarna merah di setiap sisinya. Begitu ia membukanya, seorang perempuan sudah menunggunya di dalam. Ibu dan beberapa kerabatnya sudah sedari tadi meninggalkannya sendirian.
“Assalamu’alaikum.” Sahut Fahmi lalu menutup pintu.
“Wa’alaikum salam.” Perempuan itu menyahut dengan wajah tertunduk. Ia tidak bisa menatap wajah lelaki yang kini menjadi suaminya itu.
“Boleh aku membuka cadarmu?” tanya Fahmi pelan.
“Silahkan. Kau adalah suamiku, kau berhak melihat wajahku.”
Fahmi menyingkap cadar putih itu perlahan. Kemudian Aisha mengangkat wajahnya, dan betapa kagetnya ia melihat siapa orang yang kini berada di hadapannya.
“Kau…”
“Sally…”
“Kau kah itu… Muhammad Fahmi Al-Salam?”
“Kau… Sally Whitney Finch?”
Keduanya sama-sama kaget dengan situasi yang dialaminya sekarang.
“Bukannya namamu Sasaki Hiroto?” Sally mencoba mencairkan suasana.
“Ya. Namaku memang Sasaki Hiroto, sewaktu aku dilahirkan di Tokyo, sebelum aku pindah ke Indonesia saat SMP dan memeluk Islam.”
“Oh, begitu…”
“Kau sendiri? Mengapa namamu juga berganti?”
“Kau tahu sendiri, aku kuliah di Mesir. Sally Whitney Finch tidak ada dalam ejaan Bahasa Arab, jadi Aisha Farhana adalah nama yang ku gunakan selama di sana.”
“Aku pikir kau akan kembali ke London setamat SMA. Lalu mengapa kau memilih Al-Azhar?”
“Aku ingin memperdalam ilmu agamaku.”
Keduanya lalu sama-sama terdiam. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing.
“Sally, apakah kau benar-benar mencintaiku?” tanya Fahmi sambil menatap kedua bola mata biru itu.
“Aisha. Aku ingin kau memanggilku dengan nama itu.”
“Baiklah, Aisha…”
Sally terdiam sesaat. “Kalau aku tidak mencintaimu, lalu apa tujuanku mengirimkanmu surat itu? Sudah lama, sejak kita masih duduk di bangku SMA…”, Sally menundukkan kepalanya. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu. Kau tidak pernah membalas suratku walau hanya sepenggal kata, ku pikir kau tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapku, sehingga tidak membalas suratku adalah keputusanmu untuk tidak menyakiti hatiku…”
“Kau salah, Aisha…”
“Maksudmu?”
“Kau pikir aku tidak membalas suratmu karena aku tidak mencintaimu, sehingga aku tidak ingin melukai hatimu? Tidak, Aisha. Aku baru membaca suratmu, setahun setelah kau kirim. Aku terlalu sibuk untuk mengecek e-mailku. Lalu setelah aku membaca suratmu itu, Ibu datang kepadaku untuk meminangmu, yang pada saat itu belum ku ketahui siapa dirimu. Ku pikir perasaanmu itu telah hilang, jadi aku tidak membalas suratmu. Lagipula aku akan menikah, aku tidak ingin membuat kekacauan, padahal sebenarnya tiap malam aku terus memikirkan suratmu itu…”
“Kau mencintaiku?”
“Seandainya kau tahu, aku juga menyimpan perasaan itu bertahun-tahun lamanya. Aku hanya tidak berani mengungkapkannya, karena ku pikir kau masih mencintai Raihan…”
“Ssst… sudahlah. Itu masa lalu. Yang aku cintai sekarang adalah kau suamiku, Sasaki Hiroto—Muhammad Fahmi Al-Salam.” Sally tersenyum, wajahnya memerah.
Fahmi lalu mengambil sebuah kotak hitam di atas meja di samping tempat tidur Sally. Dipakaikannya cincin emas itu di jari manis Sally, setelah itu Sally yang memakaikan cincin yang satunya di jari Fahmi. Setelah selesai, Fahmi mengambil kedua tangan Sally, lalu dikecupnya kening istrinya itu. Keduanya sama-sama menitikkan air mata, namun bukan lagi airmata kesedihan melainkan kebahagiaan yang menyelimuti hati kedua insan tersebut.
“Aku mencintaimu, istriku…” bisik Fahmi pelan.
“Aku juga mencintaimu, suamiku…” balas Sally.
Seorang lelaki yang berdiri di balik kamar pengantin mengusap airmatanya. Tidak sepantasnya aku menangisi perempuan yang kini menjadi istri orang lain. Raihan berjalan pelan sambil berucap istighfar dan doa dalam hati. Ya Allah, aku tahu rencana-Mu selalu lebih indah dari bintang di langit dan lebih manis dari madu lebah. Ihdinasshiratal mustaqim, tunjukilah aku jalan yang lurus.

***

Sunday, May 5, 2013

Hilang

Siapa bilang aku tidak mencarimu?

Kutemani siang dan malam, bergandengan bersama waktu
Ku hitung bintang dengan jemariku
Matahari tertawa melihat tingkahku
Siapa bilang aku tidak mencarimu?

Pun langit seakan berbisik halus
Merangkul jiwa yang tenang dengan kesepian
Hampa
Merangkai kata dalam irama
Siapa bilang aku tidak mencarimu?

Kakiku lelah melangkah kosong
Sunyi
Jarum jam memelukku
Bersama peluh yang menjadi kawanku
Siapa bilang aku tidak merindukanmu?

Pulanglah, senja telah tiba
Kemarilah, aku letih bersama bunga tidurku

Siapa bilang aku tidak mencarimu?
Siapa bilang aku tidak merindukanmu?

Monday, April 29, 2013

XXIX

Senin, 4 Juli 2011

Masih teringat dengan jelas ketika aku mengenakan seragam putih abu-abu di dalam sebuah ruangan dengan siswa yang se-angkatan denganku berjumlah 28 orang. Ku lirik ke kanan dan kiri, sebagian dari mereka ku kenal baik, sebagian lagi terlihat asing di pelupuk mataku. Oh, jadi mereka ini yang akan bergelut di satu organisasi denganku nanti? Bagaimana caranya menyatu dengan mereka? Itulah yang tersirat dalam pikiranku saat itu, betapa sulitnya (harus) beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang baru.
Memasuki hari terakhir, kami semua berpelukan dalam tangis. Lima hari empat malam, waktu yang cukup singkat untuk menyatukan 28 orang asing yang pada mulanya tidak saling mengenal. Tawa, tangis, susah, senang, bersama-sama dilalui hingga kami dinyatakan ‘LULUS’ dari pengkaderan itu. Dari sinilah, ‘semangat baru’ itu menyala. Dari sinilah, lahir sebuah keluarga sederhana yang selalu bahagia. Dari sinilah, rumah kecil berukuran tiga kali empat meter itu selalu riuh akan tawa. Dari sini pulalah, cerita tentang kami dimulai. We are always together…

Senin, 21 November 2011

Akhirnya, kami dilantik sebagai pengurus harian periode baru, 2011-2012. Dengan mengenakan seragam putih abu-abu pada barisan khusus di lapangan upacara, nampak 15 orang perempuan terlihat cantik dan 13 orang laki-laki yang gagah. Dipandu oleh seorang protokol, satu persatu dari kami maju ke atas podium dan menyalami kepala sekolah. Semenjak hari itu, rumah kecil nan mungil yang berada pada sisi belakang sekolah resmi milik kami. Tiap hari, baik ketika jam istirahat maupun pulang sekolah, rumah ini selalu saja ramai. Walau sangat sederhana, namun kenyamanannya selalu terjaga. Suatu hari, kami merenovasi rumah kecil ini dan ketika selesai, betapa bahagia dan senangnya kami. Rumah kami makin cantik.
Waktu demi waktu berlalu, roda terus berputar menyusuri aspal. Terkadang batu-batu kecil menghentikan langkah kaki kami, membuat kami tersandung, kesakitan, namun hal yang terpenting adalah bangkit dan terus berjalan. Begitu pula alur cerita yang kami tempuh, tak selamanya tawa yang terlihat. Duka, sedih, tangis pun acapkali kami rasakan. Tapi selalu saja ada yang menghibur, memberikan motivasi dan semangat untuk bangun dari kesedihan-kesedihan itu sehingga yang lebih mendominasi kehidupan kami adalah hal-hal yang positif.
“Kita ini ibarat tubuh seorang manusia. Jika satu saja anggota tubuh yang hilang atau rusak, kita akan cacat.” Aku beruntung, sangat beruntung telah menjadi bagian dalam keluarga ini.

Senin, 25 Juni 2012

“Waktu kita tidak akan lama lagi, tinggal menghitung bulan.”
Ah, rasanya cepat sekali waktu berlalu. Baru saja setahun yang lalu kami berada pada bangku-bangku yang mereka tempati, kini kami akan melahirkan kader-kader baru. Ya, merekalah yang kelak akan menggantikan posisi kami. Mereka yang akan memegang tongkat estafet kepengurusan selanjutnya. Jikalau bisa, ingin rasanya aku kembali pada masa itu, bertemu dengan 28 orang asing, dididik dan dibina bersama-sama. Aku rindu momen itu.
Suatu malam, kami duduk membentuk lingkaran. Sebuah botol diputar di tengah-tengah kami searah jarum jam. Satu persatu dari kami yang mengenai ujung botol itu akan diberikan berbagai pertanyaan dan harus dijawab dengan jujur. Salah seorang dari kami memberikan sebuah nasihat yang hingga saat ini belum terlupakan olehku,
“Coba lihat ini,” ia menghadapkan kedua telapak tangannya dengan sejajar, lalu membengkokkan kedua jari tengahnya dan menghimpitnya satu sama lain sehingga ibu jari, telunjuk, jari manis dan jari kelingking saling bertemu ujungnya yang kanan dan kiri. “Jari tengah ini anggap saja orang yang sedang bertunangan. Jari manis, anggap orang yang telah menikah. Ibu jari, jari telunjuk, dan jari kelingking anggap orang yang sedang berpacaran. Coba kalian pisahkan si jari manis, bisa?”
Kami mencobanya. Sulit, namun bisa.
“Sekarang, coba pisahkan ibu jari, jari telunjuk, dan jari kelingking. Bisa?”
Tentu saja, dengan mudah kami melakukannya dibanding pada jari manis tadi.
“Yang jari tengah tidak usah dipedulikan.” Lanjutnya. “Kalian tahu apa kesimpulannya?”
Kami menggeleng.
“Si jari manis, walau sulit untuk dipisahkan, namun bisa. Sedangkan si ibu jari, jari telunjuk, dan jari kelingking tadi dengan mudahnya dipisahkan. Artinya, mereka yang telah diikat tali pernikahan saja masih bisa berpisah, apalagi mereka yang hanya berpacaran. Gampang sekali untuk dipisahkan.”
Kami mengangguk mengerti, lalu mengulangnya berkali-kali. Nasihat yang pas untuk teman kami yang sedang dilanda galau pada malam itu.

Jumat, 28 September 2012

“Mari berdoa bersama-sama, agar laporan pertanggung jawaban kita hari ini dapat berjalan dengan lancar.”
Kami berdiri membentuk sebuah lingkaran besar dengan kepala tertunduk. Setelah selesai, kami saling merangkul satu persatu, beberapa diantara kami menitikkan air mata. Sedih karena pada hari ini kepengurusan kami akan berakhir, senang karena program kerja yang dilaksanakan selama satu tahun ini berjalan dengan baik.
“Apakah kita akan terus bersama-sama?”
“Tentu saja. We are always together.”
“Tapi sebentar lagi, kita tidak akan tinggal di rumah ini. Tak ada lagi yang tinggal sampai malam, tak ada lagi yang permainan-permainan konyol yang dilakukan, tak ada lagi yang selalu melawak hingga perut kami benar-benar terkocok, tak ada lagi yang bernyanyi untuk menghibur kami, tak ada lagi cerita yang akan kami dengarkan, tak ada lagi…”
Ah, mengapa waktu cepat sekali berlalu? Padahal aku belum puas menikmati masa-masaku bersama mereka. Mengapa satu tahun terasa begitu cepat? Apakah setelah ini, kami masih akan terus bersama-sama? Apakah… Mengapa… Bagaimana…

Beberapa bulan kemudian…
Kami masih terus bersama-sama. Suatu hari, kami berkumpul di rumah salah seorang dari kami seusai ujian akhir semester satu. Malam kami habiskan dengan canda dan tawa riang yang menggema di udara. Suasana seperti ini yang sangat aku rindukan, sekarang… Waktu terus bergulir, mengalir layaknya air sungai. Tapi, ke mana arus akan membawa kita? Di mana muara itu?
Kawan, aku tidak pernah peduli dengan apa yang orang-orang katakan tentang kita. Yang aku tahu, kita adalah satu. Yang aku rasakan, kita adalah keluarga. Aku tahu, kalian juga menyimpan perasaan itu. Perasaan rindu yang menusuk akan kebersamaan kita, perasaan untuk ingin mengulang apa yang telah kita lalui bersama-sama. We are always together.
Kawan, cobalah kalian tengok di saat wajah kita masih terlihat baru oleh teman-teman yang lain, lalu pindahkan ingatan kalian kepada saat di mana wajah-wajah itu mulai akrab pada pandangan kalian. Hal-hal yang telah kita lalui bersama-sama, susah, senang, sedih, tawa, canda, tangis, suka maupun duka. Kalian akan membiarkan momen indah itu lewat begitu saja? Lusuh? Tak terawat? Terlupakan? Lalu apalah arti kebersamaan yang telah kita lalui selama ini? Aku sangat tidak ingin hal itu hanya sebuah ilusi belaka yang hanya terbayang dalam imajinasi. We are always together.
Kawan, di mana pun kalian nanti, siapa pun teman kalian nanti, aku hanya ingin kalian tahu satu hal, bahwa aku, sangat bersyukur kepada Yang Maha Kuasa karena aku telah mengenal, bersama, dan menjadi bagian dari kalian. Kita tak akan pernah terpisahkan, kita adalah keluarga, kita adalah satu tubuh. We are always together.
Kawan, ingatlah rumah kecil kita. Ruangan yang amat sangat sederhana, namun penuh akan kenangan dan cerita indah tentang kita. Biarlah sisi-sisi temboknya menjadi saksi bisu akan kebersamaan kita dahulu. We are always together.
Kawan, apakah kalian juga merasakan hal yang sama dengan sepertiku? Sepi, sunyi, dan hampa. Aku rindu kalian. Aku rindu menghabiskan detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, dan hari demi hari bersama kalian. We are always together.
Kawan, kalian telah melukis warna warni di atas kanvas hidupku selama aku mengenakan seragam putih abu-abuku. Terima kasih ku haturkan kepada kalian, keluarga kecilku.
Kawan, kita always together, kan? Walau nanti kita terpisahkan oleh jarak, aku yakin, ikatan tali persaudaraan yang pernah terjalin itu tak akan putus.
Kawan, kita always together, kan? Katakan ‘Ya’, agar ku rangkul dirimu semua sebagai tanda bahwa kita akan selalu bersama-sama. Katakan ‘Ya’, agar airmata yang ku teteskan bukanlah sebuah ratapan kesedihan. Katakan ‘Ya’, agar kita akan tetap selalu bergandengan tangan.
Kawan, kita always together, kan?
Yes, we are always together, my lovely twenty nine


Monday, April 15, 2013

XII IPS 2

Ini tentang sebuah kelas yang berpenghuni oleh orang-orang autis, aneh, konyol, tapi menyenangkan. Banyak cerita di dalamnya selama kurang lebih satu tahun bersama-sama. XII IPS 2 SMUNEL, berikut di bawah ini adalah penghuni-penghuninya. (pssst, maaf ya tidak sesuai absen, saya tidak hafal :D)
1. Rahmat Andika
Anaknya baik, pendiam, pintar, dan penyuka novel. Diantara kami semua, dialah yang paling jauh rumahnya dari sekolah :P saking jauhnya, ke sekolah tidak pernah bawa tas, hanya buku, dan tidak pernah terlambat maupun bolos :P
2. Adiatma Rizky Prasha
Cowok paling cucok, mirip Bruno Mars :P sangat tidak menyukai laba-laba, masa filmnya Spiderman dibilang film horror :’( ini anak juga agak aneh kalau ketawa, suka di rem, terus dilanjut lagi-_-
3. Ahmad Maulana
Ini dia jagonya musik, paling mahir main gitar, bahasa inggris, dan debat. Ups, sempat sih terjebak cinta lokasi sama si ehmmm :P Takut sama suara tutup minyak kayu putih, sama seperti Wiwi :P
4. Muh. Fachri Risal
:’( Orangnya agak autis, pacarnya si Kiki. Berbagai lagu ciptaannya: “Apanah we” dan “I Feel Good’. Paling sering kasih kaget orang-_-
5. Muh. Raihan Al-Biruni
Entah kenapa, dia dipanggil H. Muhidin :D kayaknya ini cowok paling rajin kerja tugas di kelas, sampai dijuluki sama anak-anaknya cowoknya “si rangking 3” :P
6. A. M. Ihyan
Orangnya baik, slow, agak pintar Bahasa Inggris juga. Teman duduk sama H. Muhidin :P
7. A. Fitrahdiansyah
Gusep :’( orangnya baik, tapi agak ngeselin dikit-_- tidak pernah marah, dan apapun yang dia lakukan selalu tertawa :D ups, waspada barang-barang anda ketika pelajaran Seni Budaya. Kalau Gusep sudah berkeliaran, kemungkinan besar alat tulis menulis anda akan lenyap dalam sekejap :P
8. Syaiful Akbar
Sang fotografer. Penampilannya ke sekolah seperti seorang manager perusahaan besar. Kalau ngomong kadang logat :P
9. Muh. Rifqi Zulfikar
Paling pendiam, rajin, dan pintar. Kadang suka main game di kelas. Anaknya baik dan slow.
10. Satria Dwi Cahya
:’( Manusia ter-alay dan ter-lebay di dunia :’( ketua kelas yang suram :’( hobbi-nya mendengarkan musik galau, kemudian menyanyikannya :’( oh my God :’( suaranya lebih seram daripada petir :’( kasihan sekali Rifqi yang duduk sama Satria :’(
11. Zaldy Akbar
:’( Manusia ini juga agak autis :’( Takut sama balsem-_- Zaldi, Paccul, Agung, dan Ahmad punya bisnis tersendiri, namanya OSM (Our Shop Makassar). Mereka menjual binatang hamster :D
12. Muh. Fadzlurrahman K.
Astaghfirullah :’( Ini adalah manusia ter-autis :’( Hobbinya menindas setiap umat XII IPS 2, terkhusus Widya dan Indah. Lebih sering dipanggil “Pesek” daripada “Paccul”. Sama seperti Eky, takut minyak kayu putih-_-
13. Ahmad Muhammad
Orangnya baik, slow, tegas, dan pencinta alam. Hobbinya mendaki gunung. Walaupun jarang masuk sekolah dan sering terlambat, tapi Ahmad ini orangnya cerdas. Ups, kalau bicara tidak pernah melihat :P lebih sering dipanggil “Cina” daripada namanya sendiri :P
14. Anak Agung Irfan
Anak baru di kelas, tapi cepat akrab dengan kami. Agung ini, manusia paling besar di XII IPS 2 :P Kadang suka dijadiin Spring Bed/Sofa sama cowok-cowoknya di kelas :P
15. Hardiyanti Pertiwi
My chairmate^^ Orangnya baik, penyuka basket, dan penggemar jauhnya Kak ehmmm :P paling pintar Bahasa Jepang di kelas. Hobbi-nya mencari wifi di manapun dia berada :P Takut sama suara tutup minyak kayu putih, sama seperti Maulana :P
16. Selvy Annesa Putri
Apa yah? :P
17. Indah Iriani
Manusia terkecil di XII IPS 2, bahkan di Smunel :P hobbi-nya sama dengan Wiwi, yakni mencari jaringan wifi. Suka baca novel juga. Orangnya cerewet, baik, dan periang. Paling pintar matematika. Kalau berteriak, kadang bisa mengalahkan suara speaker yang ada di kelas :P
18. Rezky Aditya
Cewek ganteng yang bermental cowok :P orangnya baik, slow, suka sekali sembunyikan barangnya orang dan main super trap -_- dan kadang suka tegang :P Paling takut sama minyak kayu putih dan durian-_-
19. Rahayu Rizky Razak
Orangnya baik, jago basket dan berbagai olahraga lainnya. Teman duduk sama si Uni :D
20. Sri Wahyuni
Anak baru juga, tapi lebih duluan dari Agung. Orangnya baik dan lucu, karena kalau bicara kadang suka logat :P
21. Risky Dwiyanti
:’( Anaknya agak sedikit aneh dan autis. Pacarnya Fahri. Kadang suka menyanyi di kelas :P oh iya, anak ini punya satu keanehan tersendiri. Takut sama balon  Kiki juga partner dalam bertutorial hijab B-)
22. A. Helsa Adilah
Anaknya baik, slow, agak sedikit aneh dan autis juga :P Kalau bicara cepat sekali :P upsss, Helsa ini calon turis Inggris :P
23. Herlina Husain
=D Partner dalam tutorial hijab juga B-) kalau ketawa, muhammadarrasulullah rasanya kelas seperti mau pecah =D apalagi kalau dikolaborasikan dengan Adiatma dan Ayu =D upssss, Herlina ini guru mengaji :P
24. Widya Wiratama
Ibunya XII IPS 2 :P Anaknya baik, entah dosa apa dia selalu ditindas oleh Paccul dan Adiatma :’( Orangnya perasa banget. Partner dalam membawa bekal ke sekolah bersama Indah dan Wiwi^^
25. Faeka Angryani
Toeng neo neo :P kayaknya cowok-cowok di kelas takut sama Anggi :P tapi anaknya baik dan lucu =D Paling sering ganggu rifqi :P dan Ipul apalagi kalau lagi menelfon =D
26. Aisyah Aulya Shabir
Upssss, pernah terjerat cinta lokasi sama Maulana :P anaknya baik, santai, dan pintar Bhs. Inggris :D
27. Sri Ayu Suhartina
Cucok rempong cyin~ :P kalau ketawa seperti parut kelapa yang tidak bisa berhenti =D anaknya baik dan cerewet, upsss Ayu ini salah satu murid mengajinya Herlina :P
28. Treasi Natalia Rapar
Anaknya baik, slow, teman duduknya Ayu. Pintar pelajaran Bhs. Indonesia juga. Suaranya lumayan bagus, cocok jadi penyanyi :D
29. Yeni Amaliah
:’( Entah dosa apa, anak ini selalu ditindas di kelas :’( Di antara kita semua, Yeni-lah yang paling tua. Anak ini selalu menjadi bulan-bulanan anak cowoknya untuk dikerjai setiap saat dan setiap waktu. Pray for Yeni :’(
30. Vivit Aprilia
Anaknya baik, agak autis, dan mempunyai suara yang bagus. Pokoknya kalau Vivit sudah menyanyi, semua orang harus diam untuk mendengarkan suara merdunya :P hobbi-nya membaca dan meminjam novel dari perpustakaan. Partner sejatinya si Indah :P
31. Reza Zairah Nur Putri Alwiwikh
Anaknya baik, dan tentu saja paling cantik di kelas ini. Iyalah, dia kan model :P kadang kalau jam olahraga dan sudah gilirannya, anak cowok-cowok di kelas sering menyorakinya :P kalau main super trap, Eca paling tidak berani diganggu :P paling sering terlambat dan menjadi bulan-bulanan wali kelas, bersaing dengan Vivit dan Wiwi :P
Well, itulah tadi sekilas info mengenai rekan-rekan XII IPS 2. Want to know more about us? Follow on Twitter @XIIsoc2_smunel  Teman-teman, demikianlah yang bisa saya post. Kurang lebihnya dimaafin yah :P kita kan udah mau pisah, jadi harus saling memaafkan^^

Monday, February 25, 2013

Coretan Anak Kecil

Sudah hampir lama rasanya tanganku tidak menari di atas keyboard, membentuk suatu deret kalimat yang isinya coretan hati belaka, sangat tidak penting namun sesungguhnya meredam setiap emosi yang menyala. Dan kini, aku kembali punya kesempatan itu.
Waktu demi waktu bergulir. Mengalir terus, bagai arus sungai yang terus menghantam batu-batuan. Telah hampir satu tahun. Namun mengapa kian lama kian membara perasaan yang ada di dalam hati ini tetapi wajah seakan-akan tertutupi oleh tembok raksasa?
Semakin dekat jarak antara kita, semakin jauh aku menggapainya. Mengapa waktu kita selalu salah?
Aku masih tidak mengerti. Ini bukanlah suatu kesengajaan, ini sama sekali di luar kendala. Mengapa selalu ada hambatan? Padahal setiap hari aku menunggu saat itu, siang malam ku hitung waktu. Apakah hanya sekadar tantangan belaka? Atau sebuah petunjuk yang pada akhirnya menyayat hati?
Tapi aku belum bosan. Aku masih ingin menikmati indahnya menunggu detik-detik pertemuan itu. Aku masih menyimpan sebuah harapan di dalam kotak hati kecilku. Setidaknya, kita masih menghirup nafas yang sama, menatap langit yang sama, dan berpijak di tanah yang sama pula.