Sunday, December 22, 2013

Cerpen - Pesawat Kertas

Aku selalu suka saat-saat di mana aku merasa dekat dengan Sang Maha Cinta. Dalam pekatnya malam, saat mentari pagi tersenyum cerah, atau mungkin ketika hujan turun. Alasannya singkat: aku bisa bercerita banyak pada-Nya tentang dia. Ya, sesederhana itu aku mencintainya—dalam diam dan doa.

Aku tidak pernah jenuh berjalan. Sesekali kerikil membuat hidupku tersandung, mematikan nyala harapan-harapanku. Tetapi selalu saja ada yang membuat api harapan itu tersulut kembali, dan semakin aku memaknainya lebih dalam, kutemukan sendiri jawabannya: keyakinan.

Aku tidak percaya denganroman-roman picisan negeri dongeng. Aku tidak percaya sinetron—atau drama dengan sandiwara hebatnya. Ini ceritaku dengan keelokannya sendiri, aku percaya cinta akan menjemputku menuju kehidupan yang nyata.


***


Senja di sore hari itu kembali hadir dengan garis-garis tipis berwarna oranye di atas langit tempatku berdiri. Angin sepoi-sepoi menyibak seluruh permukaan kulitku dengan halus seakan ingin berkawan denganku. Burung-burung berkicau dengan riang, seperti sedang berdendang untukku. Senja yang sempurna.

Tujuh tahun silam, di tempat ini. Dengan hamparan danau yang jernih dan senja yang setia menemani, aku bersama segelas teh hangat dan setumpuk buku di sampingku. Duduk di atas rerumputan yang hijau, kuambil pena dan selembar kertas lalu kutulis sebait puisi di atasnya. Setelah selesai, kulipat kertas tadi membentuk sebuah pesawat lalu kuterbangkan ke arah utara. Pesawat itu terbang ke sana kemari dibawa oleh angin, hingga jatuh tepat di depan seorang gadis berkerudung merah muda bermata coklat. Ayu, seayu wajah dan hatinya.

Aku menari di atas awan
Membawa rindu dalam sebuah cawan
Demi senja yang mewakili cakrawala,
Kutitip pesan pada SangMaha Cinta
Untuk Kau jaga dia—bidadari tanpa sayap

Gadis itu menghampiriku dengan pesawat kertas yang kubuat di tangan kanannya. Bibirnya melengkung tipis dengan kedua cawak di pipinya sambil menyodorkan pesawat kertas itu kepadaku. Entah mengapa saat itu waktu seperti berhenti berjalan, membiarkanku terhanyut di dalamnya. Aku seperti sebuah patung, atau mungkin mayat hidup. Terbujur kaku dan pucat.

“Ambillah.” Kataku dengan suara yang serak. Susah payah kukumpulkan tenagaku untuk bisa mengucapkan satu kata saja untuknya.

“Benarkah?” Ia menimang pesawat kertas itu selama beberapa detik. “Terima kasih.” Katanya lembut sambil tertunduk malu, kedua pipinya memerah dengan senyum yang berseri-seri. Wajah putihnya yang oval semakin bersinar diterpa mentari senja. Kemudian ia berlalu dengan pesawat kertasku di tangannya yang kini menjadi miliknya.

Aku terdiam beberapa saat sambil memandangnya dari kejauhan hingga ia benar-benar hilang dari pelupuk mataku, begitu pun senja yang menemaniku sedari tadi kini mulai berganti warna. Gema azan berkumandang di angkasa, menyeru kepada setiap insan untuk menghadap pada Penguasa Alam. Kujawab dalam hati panggilan-Nya, tak lupa kuselip nama gadis tadi dalam doaku sembari berharap dijabah oleh Sang Maha Cinta.


***


“Kalian berdua ini, serasi sekali.”

Kalimat singkat nan menggetarkan hati itu tak asing lagi di telingaku. Entah sudah berapa kali kudengar dari mulut teman-temanku kala mendapatiku sedang bercengkerama dengan Ayu—gadis ayu yang hobi mengoleksi pesawat kertasku. Setiap kalimat itu lewat di pendengaranku, sebait doa terucap pula dalam hatiku. Kemudian aku mengamininya dengan penuh pengharapan dan keikhlasan, berharap agar doa-doa itu menjadi nyata dan tak lupa kusisipkan rasa ikhlas atas segala keputusan Sang Maha Cinta.

Bila benar ia masa depanku, maka jagalah api cinta ini di bawah lindungan-Mu. Pertemukan pula kami di saat yang benar-benar tepat. Bila bukan, berikan hati yang lapang untukku dan aku yakin, penggantinya akan jauh lebih baik. Amin.

Ya, sesederhana itu aku mencintainya.


***


Aku selalu suka saat-saat tengah malam, di mana aku bisa berdialog sepuasnya dengan Tuhanku. Atau ketika hujan turun, dan aku akan berdoa sebanyak mungkin. Di dalam kepercayaanku, berdoa pada saat-saat itu akan lebih mudah dikabulkan. Maka tidak kusia-siakan nikmat ini begitu saja, kucurahkan segalanya hanya kepada Yang Maha Mendengar—tidak terkecuali tentang gadis itu.

Hingga pada akhirnya doaku benar-benar terjabah. Lima tahun yang lalu dengan sepenuh hati, dibimbing oleh penghulu dan disaksikan beberapa hadirin, kuucapkan ijab kabul dengan mantap. Rasa syukur dan bahagia tiada tara ada dalam diriku kalapara saksi mengucapkan kata sah. Ditambah lagi ketika kupasangkan cincin emas di jari manis Ayu, semakin besar rasa cintaku pada Tuhan yang telah menyentuh doa-doaku.

“Masih belum puas menikmati senjanya?”

Aku terlalu sibuk dengan lamunanku sehingga tanpa kusadari sejak dari tadi Ayu berdiri di belakangku. Senyum tipis itu kembali tersungging dengan manis tatkala ia duduk di sampingku dengan beberapa buah pesawat kertas di pangkuannya. Lalu kami bercengkerama bersama, menghabiskan senja di hari ulangtahun pernikahan kami yang kelima.

“Fahran…”

Aku menoleh ke arah istriku itu. Ia lalu menggenggam tanganku dengan lembut.

“Aku seperti perempuan paling beruntung di dunia yang menjadi istri dari seorang suami yang selama ini kucintai dalam diam,”

“Aku selalu suka saat-saat di mana aku merasa dekat dengan Sang Maha Cinta. Baik itu di sepertiga malam, atau ketika hujan turun. Alasannya singkat, Fahran: Karena aku yakin seluruh munajatku tentangmu akan dikabulkan,”

Aku terdiam beberapa saat. Kubiarkan Ayu menggenggam erat kedua tanganku.

“Aku diam bukan berarti aku tidak peduli. Aku hanya mendoakanmu, sesederhana itu cintaku.”

Lalu kucium kedua punggung tangannya, kemudian kubenamkan wajahku di sana. Ada air mata bahagia yang mengalir di pipiku. Rasa syukur tiada henti-hentinya kuucapkan pada Sang Maha Cinta atas segala karunia-Nya.

Ana uhibbuka fillah, Fahran.”

Kuangkat wajahku pelan, lalu kukecup keningnya. Kemudian mataku beralih pada pesawat-pesawat kertas yang dibuatnya tergeletak begitu saja. Kuambil satu persatu, dan kuterbangkan ke udara. Ayu tersenyum kecil dan ikut menerbangkan pesawat-pesawat kertas itu. Hingga pada pesawat yang terakhir, kubiarkan ia menerbangkannya dengan sebait puisi di sana,

Cintaku tidak berbuah semu
Tidak sendu, tidak pula ragu
Dan demi senja yang selalu kurindu
Kukirimkan pesan pada Sang Maha Cinta
Untuk Kau abadikan kami dalam surga


“Ayu…”

Wajah lembutnya menoleh ke arahku, masih dengan senyumnya yang khas. Manis.

Wa ana uhibbuki fillah.”

Pesawat kertas itu menari-nari di udara.

No comments:

Post a Comment