Tuesday, December 8, 2009

Cerpen - Pacarku Penghianat

Siang itu aku sedang berada di sebuah taman, mataku tertuju pada kendaraan – kendaraan yang terparkir secara seri di hadapanku itu. Taman ini sangat sejuk, bebas rokok, pepohonan yang rindang turut memperindah suasana taman ini. Kursi – kursi tertata rapi, serta jarang ku temukan sampah – sampah yang berserakan. Diam, sepi, sunyi, Aku suka tempat ini! Disini aku bisa menangis sepuasnya, tanpa seorang pun yang berani menggangu. Burung – burung berkicau melantunkan lagu – lagu indah, menghibur setiap para insan yang hatinya sedang dilanda gundah. Bunga – bunga bermekaran semakin membuat tempat ini terlihat asri. Refleks kejadian 2 hari yang lalu terbayang di pikiranku,
" Ehh, liat tuh, si Rika! Ngapain coba, dia megang – megang tangannya Tora. Gatal banget sih! ", Kian yang duduk di sampingku segera membuat heboh seisi kelas.
" Lho...Re, loe kok diem aja! Tora itu kan cowok loe. Masa loe tega sih ngebiarin tangan cowok loe di pegang – pegang ama cewek laen? Apa loe nggak marah, Re? ", Misa yang duduk dibelakangku mengagetkanku. Ku lihat dari balik jendela, memang benar. Aku hanya menatapnya geram, tak bisa berbuat apa – apa karena guru biologi di kelasku sedang memeriksa tugas – tugas kami.
" Idiih...Tora-nya juga nggak mau ngelepasin lagi! Buaya banget sih jadi cowok. Re, loe jangan tinggal diam gitu dong! ", Fia ikut – ikutan heboh.
" waouw...bakalan ada perang hebat nih! ," teman – teman yang lain turut meramaikan suasana.
" Rere, loe kenapa sih? Kok daritadi diem aja! Re, loe sakit ya? Rere...", belum sempat Mimi selesai bicara, aku yang sedari tadi memperhatikan adegan tersebut spontan melempar buku tugas biologiku yang berwarna kuning itu ke lantai. Entah apa yang berada di pikiranku saat itu, kacau!
" Ada apa ini? Kenapa kalian ribut – ribut? ", suara Pak Syahru membuat tenang seisi kelas.
" Ngg...maaf pak. Buku saya tadi terjatuh. Sekali lagi...maaf pak ", terpaksa aku berbohong pada guru biologiku itu. Pak Syahru hanya menggeleng, sepertinya ia tak peduli dengan kejadian barusan. Terbukti, ia masih saja sibuk memasukkan nilai tugas – tugas kami ke dalam daftar nilainya.
Tak terasa bel pulang pun berbunyi, aku segera menghambur keluar kelas mencari sahabatku, Nindy, 9.1. Akhir – akhir ini aku dan Nindy sering pulang bersama. Biarpun jaraknya jauh, tapi biaya transportasinya lebih murah, begitu kata Nindy. Sedang teman – temanku yang lain sedang sibuk mencari murid kelas 9.3 yang bernama Rika itu. Tapi aku tak peduli, bodoh amat!
" Ahh...Rika itu emang nyebelin. Gini nih ya, gue pernah ketemu ama dia di warnet. Nah waktu itu kan warnetnya lagi full, gue aja yang pengen browsing terpaksa harus nunggu. Tiba – tiba si Rika itu datang ama temen – temennya, dia nanya ke gue, warnetnya full ato nggak. Yaah gue bilang full. Tapi dia tetep nekat masuk ke dalam. Pas keluar, dianya langsung marah – marah ke gue. Katanya tadi gue bilang kalo warnetnya nggak full. Nah lho? Orang gue bilang full! Tu anak bego apa tuli, sih? Yaa gue langsung semprot aja tuh anak, rese banget. Waktu ngomel – ngomel juga gayanya alay banget deh, ihh illfeel gue ama dia ", Rani yang juga teman sekelasku di 9.2 ikut – ikutan nimbrung.
" haha bego banget sih tu anak, " teman – teman yang lain tertawa setelah mendengar cerita Rani barusan. Aku cuma diam aja, malas ngomong. Aku mau pulang, tapi keburu ditahan sama teman – temanku yang ada di situ. Nyuruh Rika minta maaf, katanya.
" Ohh...jadi loe yang namanya Rere? Pacarnya Tora? ", tanya Rika menghampiriku.
" Kalo iya emangnya kenapa? ", jawabku ketus.
" Gini yahh...kejadian tadi tu cuma maen – maen aja. Gue ama Tora lagi bercanda, makanya gue megang tangannnya, " jelas Rika kepadaku.
" Ohh...gitu. Yaudah...", kataku acuh.
" lagipula...gue juga nggak mungkin mo ngerebut Tora dari loe. Gue juga nggak tau kalo Tora itu pacar loe ",
" Iya...yaudah kalo gitu," kataku cuek. Tiba – tiba Tia yang berada dibelakangku langsung menyemprot Rika.
" Ehh...loe gimana sih? Udah tau salah...kok diem aja? Minta maaf gih, ama temen gue! ",
" Yaudah...gue minta maaf ama loe ", Rika mengulurkan tangannya dengan kasar.
" Ehh...ikhlas nggak sih loe, minta maaf ama gue? Kasar banget, sih! ", emosiku kembali meluap.
" Iya dehh...gue ikhlas minta maaf ama loe, "
" Yaudah kalo loe ikhlas, gue juga ikhlas maafin loe. And gitu juga sebaliknya ", aku pun menyambut uluran tangan Rika, kemudian di pergi.
" Re...gue minta maaf ama loe ", Tora kemudian langsung menghampiri aku yang mencoba untuk menenangkan emosiku.
" Iya...", jawabku singkat tanpa melihat ke arahnya.
" Re...loe maafin gue kan? ", Tora bertanya lagi.
" Gue bilang iya, yahh iya! ", kataku menahan emosi. Ku lihat Sutejo, Panjul, dan teman -teman yang lain sedang sibuk menaruh pot – pot bunga di dekatku. Kayak gue mau mati aja, pikirku dalam hati.
" Hehhh...Tejo! Itu kan pot bunga kelas gue! Nah loe Panjul, ngapain loe ambil trus loe naruh disitu? Balikin nggak, pot bunga gue! ", Nindy setengah emosi berusaha mencegah tingkah laku Sutejo.
" Biarin...ahh...peduli amat gue!," Sutejo dan Panjul mencibir. Mereka pun saling beradu mulut, dalam hati aku tertawa melihat tingkah konyol mereka.
" Re...loe kok diem trus? Re...sorry banget yaah...gue minta maaf banget ke loe, sumpah tadi itu cuma main – main aja...swear! ", Tora memohon harap padaku, senyum yang sedari tadi menunggging di bibirku lenyap sudah, berganti dengan amarah yang meluap – luap dalam diriku.
" Loe maunya apa sih? Tadi gue bilang iya, yah iya! ", jawabku penuh emosi kemudian berlalu meninggalkan tempat yang menurutku neraka jahannam ini. Hingga akhirnya sampailah aku di taman ini, tempat yang penuh dengan kesunyian. Aku merasakan, ada seseorang yang mengikutiku dari belakang, entah siapa. Sekitar 10 menit aku disini, barulah seseorang itu datang menghampiriku. Risa, untuk apa dia datang kemari? Dia kok tau kalo gue ada disini? Apa dia ngikutin gue? Batinku dalam hati.
" Re...loe nggak pulang? ", Risa bertanya lalu duduk di sampingku.
" Males ahh...gue masih mau disini! ", jawabku ketus.
" Ngapain juga loe disini? Percuma tau...nggak ada gunanya! Lagian apa pikiran loe bisa tenang kalo loe disini trus? "
" Bisa kok ", aku memandang lurus ke depan, tak menatap wajah Risa sedikit pun.
" Terserah kalo itu mau loe! Tapi apa loe nggak kasian sama bonyok loe? Apalagi bokap loe! Masa sih di hari ulang tahunnya bokap loe, loe malah bikin dia pusing nyariin loe? Harusnya loe bisa nyenengin dia, bukan malah nyusahin! ", Risa terus saja membujukku untuk pulang ke rumah. Aku terdiam. Tak bisa berkata apa – apa. Bener juga yang dibilang Risa, pikirku dalam hati.
" Emang sampe kapan sih loe disini terus? "
" Sampe perasaan gue bisa tenang! ", jawabku singkat
" Tau nggak loe bakalan diapain ma nyokap loe kalo loe sampe pulang kemaleman? "
" Paling diomoelin! "
Risa menghembuskan nafas kecewa. Nampaknya usaha yang ia lakukan untuk membujukku pulang ke rumah sama sekali tak ada hasil. Nihil.
" Ya sudah deh kalo itu mau loe, gue turut prihatin juga. Kalo gitu gue pulang duluan, yah! Dah sore nih, ntar dicari ma nyokap gue. Loe hati – hati yah disini, bye! ", Risa kemudian pergi meninggalkanku. Ku lihat dua sosok manusia bersembunyi dibalik pohon beringin yang sejuk itu. Tika, Lestari. Ngapain dia? Tapi aku tak peduli, mataku terus saja menatap air mancur yang kering dihadapanku. Burung – burung terbang rendah, seraya melantunkan lagu – lagu indahnya. Hari semakin sore, sebentar lagi matahari akan terbenam di ufuk barat. Saatnya untuk pulang. Aku kemudian meraih tas ku lalu berjalan meninggalkan taman yang penuh dengan keindahan itu.

***

" Re...ada yang gue mo omongin ma loe. Penting banget!!! ", Panjul setengah berbisik memanggilku saat aku sedang sibuk menyalin rumus matematika yang tertera di papan tulis.
" Ngomong apaan sih? Bentar aja ya, ntar kalo gue ketahuan Pak Komar ada di bangku loe, bisa apes gue! ", jawabku pelan.
Kriinggggg.......!!!!!!!!! Bel panjang berbunyi, pertanda pelajaran hari ini telah usai. Segera ku bereskan buku – bukuku, kemudian tak lupa memeriksa laci bangkuku, siapa tahu ada barang yang ketinggalan. Kemudian ku teringat kata – kata Panjul barusan, maka segera ku hampiri bangku Panjul.
" Jul...loe mo ngomong apaan sih? ", tanyaku tanpa basa – basi
" Tapi loe jangan marah, ya? Lagian...gue ngomong beneran kok. Gue juga nggak ada maksud bikin loe sakit hati ",
" Iya...tapi loe mo ngomong apaan sih? Cepetan gih...gue mo pulang nih! ", kataku sambil melirik arloji hitam di tangan kiriku. Pukul 13.15, matahari sudah ada di atas kepala.
" Gini nih ya...kemaren tuh si Rika cerita ama gue, katanya dia abis telfonan gitu deh ama Tora. Pasa gue tanya mereka ngomong apaan, ehh dia nggak mau ngasih tau. Rahasia katanya. Gitu....",
Perasaanku yang sedari tadi sudah stabil, kini memuncak lagi. Pikiranku kalang kabut, tekanan darahku mulai meninggi. Ku rasakan hawa panas menyelimuti diriku, diiikuti dengan amarah yang memuncak dalam jiwaku.
" Penghiaaanaaatttttt......!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! ", kataku berteriak memecah keheningan. Amarahku sudah tak lagi tertahan, segera aku berlari menuju ke suatu tempat yang ku kunjungi 2 hari yang lalu. Taman itu. Iya. Mungkin perasaanku akan lebih baik jika aku pergi ke sana. Segera ku raih handphone ku lalu ku tulis sebuah pesan singkat.

Thanks atas smua yg udah loe beriin ma gw. Loe jga udh ngisi hari2 gw dgn cnta dan ksh syg yg loe kasih ke gw. Mgkn gw bkan yg trbaik untk loe, dan loe jga bkan yg trbaik untk gw. Kta udh nggk ccok lgi, ckup hbngan kta berkahir smpe dsni aja. Thanks bwt smuany...
Sending Message...

Aku menghembuskan nafas, mencoba untuk tenang. Segera aku duduk di salah satu kursi panjang yang berada di taman ini. Ku tutup wajahku dengan kedua telapak tanganku, kemudian beristighfar. Mataku menatap sepasang sahabat yang berada tak jauh dariku, kira – kira 10 meter dari tempatku duduk. Getaran handphone-ku yang ku taruh dalam saku rokku, tiba – tiba mengagetkanku. Sebuah pesan singkat, dari Tora.

Ehh loe serius? Kalo itu mw loe sih, trserah, gw baik2 aj kok. Yg pntg kta nggk saling musuhan....
Glegarrr....!!!! Seakan petir menyambar tubuhku, tentu saja aku kaget dengan apa yang barusan dia katakan. Baik – baik saja? Dengan santainya dia mengatakan 'baik – baik saja?'. Berarti dia memang ingin hubunganku dengannya segera berakhir. Aku terduduk lesu, masih tak percaya dengan perkataannya. Kalau memang dia mencintaiku, kalau memang dia benar – benar sayang denganku, tidak mungkin segampang itu dia berbicara. Pasti dia menanyakan terlebih dahulu alasan mengapa aku segera memutuskan hubungan dengannya. Tapi ini? Dia malah membiarkanku, dan sama sekali tak mau peduli dengan perasaanku? Tanpa terasa butiran – butiran airmataku terjatuh, dan sepertinya langit juga turut merasakan apa yang sedang ku rasakan saat ini. Terbukti, tetesan – tetesan hujan perlahan membasahi tubuhku. Aku berjalan di atas aspal yang basah, dibawah langit yang mendung, ditemani dengan hujan dan angin. Dingin menyelimuti tubuhku, namun aku tak peduli. Dalam derasnya hujan ini, aku menangis. Hingga aku tak lagi bisa membedakan airmata dan air hujan yang menyatu di wajahku. Sungguh, aku sama sekali tak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Orang yang selama ini aku cintai, orang yang selama ini aku sayangi, orang yang selama ini menjadi pendamping dalam hari – hariku, tega berbuat seperti ini kepadaku? Jadi...kebersamaanku dengannya selama 1 bulan 7 hari itu hanyalah semu? Sama sekali tak berarti apa – apa? Aku pun mulai menyesali semuanya. Tapi apa boleh buat...aku sudah terlanjur larut ke dalam permainan cinta ini.

***

" Brengsek!!! Keparattt...!!!! Sialan tuh si Tora, bentar lagi bakalan mampus tuh anak! Gue baru liat kemaren di facebook, dia ngatain gue anjing betina, lagi! Shit! Emang gue salah apa sih ma tuh anak? Liat aja...abis pulang sekolah, mampus dia! ", dengan nada berapi – api Sutejo mengeluarkan kata – kata yang sangat tidak pantas. Aku, Panjul, Andra, dan teman – temanku yang lain hanya mengangkat bahu. Pasrah dengan apa yang terjadi sebentar siang.
" Tejo, please deh...loe jangan main hakim sendiri gitu dong! Yahh si Tora tuh emang salah, tapi setidaknya loe bisa mikirin ini semua. Masalah itu...kalo diselesaikan pake otot, nggak bakalan ada abisnya! ", Nindy mulai memberikan solusi.
" Alahh...tebas aja langsung, Tejo! Kalo perlu, loe bunuh aja sekalian! Emang dasar tuh anak suka nyari masalah! ", Panjul malah memanaskan suasana.
" Jul...loe jangan gitu dong! Ntar kalo Sutejo masuk BK, kan bisa ribet jadinya! ", Andra ikut – ikutan menimpal.
" Pokoknya nggak ada alasan yang bisa bikin gue berubah. Gue tetep niat mo hajar tuh anak, biar dia tau rasa! Dasar bencong keparat! ", Sutejo tampaknya sudah tak bisa dicegah lagi. Keputusannya untuk menghajar Tora seusai pulang sekolah nanti, memang benar – benar tidak bisa diganggu gugat.
" Tejo...please loe jangan gitu dong! Berkelahi itu nggak baik, Tejo! ", aku yang sedari diam saja, mencoba untuk membujuk Sutejo agar ia mengurungkan niatnya.
" Sudah...biarin aja Tejo nyelesain semuanya, toh dia bakalan puas kalo keinginannya terpenuhi. Biarin aja lah...", Alam berbicara setengah berbisik padaku.
" Tapi kan Tejo teman kita juga? Masa kita tega sih ngebiarin dia ngelakuin hal yang nggak – nggak ? ", aku mulai curiga pada temanku yang satu ini.
" Bukan begitu...dia kalo punya keinginan yahh mesti diturutin. Kalo nggak bakalan ribet jadinya. Ya sudah biarin aja, biar dia puas! "
" Ya sudahlah kalo begitu...", aku mengangguk pasrah. Dalam hati aku khawatir dengan tragedi sepulang sekolah nanti. Sahabat v.s Mantan Pacar.
" Re...gue mo ngomong ama loe! ", Kian kemudian menarikku ke luar kelas. Dari raut wajahnya, tampaknya Kian sedang serius.
" Ngomong apaan sih, Ki? ", tanyaku memulai pembicaraan.
" Gini ya...kemaren gue sempet online, pas gue buka facebook-nya Ruli, gue baca statusnya, gue liat semua comments-nya, trus gue juga sempet baca wall-nya, kayaknya Ruli bakalan back sama Tora deh...", Kian mulai bercerita.
" Back??? ", kataku tidak percaya.
" Iya...tapi loe jangan emosi dulu. Mungkin aja yang dia maksud tuh bukan Tora...",
Segera ku ambil handphone-ku lalu menuju ke aplikasi opera mini, aplikasi web yang memudahkan pengguna untuk mengakses internet secara cepat dan mudah melalui mobile. Langsung ku masukkan URL facebook, kemudian log in dengan email dan password yang kumiliki. Pada kotak pencarian, segera ku tulis RULI ANASTASIA. Setelah akun milik Ruli terbuka, ku lihat statusnya beserta komentar – komentar yang diberikan padanya. Sudah jelas...itu untuk Tora. Setelah ku log out akunku, segera ku menuju kelas 9.1, menemui Nindy.
" Nin...ada yang gue mo omongin mo loe. Tapi bentar aja....kalo loe udah nyelesain tugas loe ", kataku sedikit lesu.
" Ohh...OK lah! ". Aku kemudian menuju ke kelasku, dan emosiku pun tak lagi bisa tertahankan,
" Cowokkkkkkk Brengsekkkkkk........!!!!!!!!! ", kataku berteriak, membuat orang – orang yang ada di kelasku terheran – heran.
" Re...kenapa loe? ", Sutejo, Ancha, Fahri, dan teman – temanku yang lain menghampiriku.
" Tejo...gue mo ngomong sama loe...", kataku menarik tangan Sutejo, membawanya keluar kelas.
" Loe mo ngomong apaan sih? ", Sutejo bingung dibuatku.
" Loe mau nggak nolongin gue? ", aku balik bertanya.
" Nolongin apaan? ",
" Loe jadi nggak berantem ama Tora abis pulang sekolah? "
" Iya...emang kenapa? "
Aku pun membisikkan sesuatu di telinga Sutejo. Sutejo hanya mengangguk pelan, tampaknya ia mengerti dengan apa yang baru saja ku katakan. Kemudian kami pun kembali ke kelas, dengan senyum sinis yang tersungging di bibirku.

***

" Re...loe di panggil ama Nindy, tuh! ", Panjul memberiku isyarat agar segera mengunjungi kelas 9.1. Lewat jendela, Nindy berbicara denganku.
" Re...mo ngomong apaan? ", Nindy memulai pembicaraan.
Seketika raut wajahku berbalik menjadi 180 derajat. Sedih, kecewa, tampaknya Nindy bisa membaca pikiranku.
" Tora? "
Aku terdiam. Mataku mulai berkaca – kaca. Nindy semakin membujukku agar aku menceritakan semuanya.
" Tora...Tora...kayaknya Tora bakalan back sama Ruli! ", kataku menahan tangisan.
" HAHHHH????? loe tau darimana? ", Nindy terkejut membelalakkan matanya.
" Buka aja akun facebook-nya Ruli....", kataku pasrah.
Nindy terdiam. Aku pun begitu. Suasana hening. Semua terlarut dalam pikirannya masing – masing.
" Dasar brengsek tuh si Tora! Berani banget dia mainin sahabat gue! Kampret tuh anak! Jahat banget sih, dia! Udahlah Re, loe yang sabar aja. Tora kok kelewatan banget, sih! Kurang ajar tuh anak! ", Nindy mulai geram, ia meremas – remas tangannya.
" Gimana gue mau sabar, Nin? Selama 1 bulan 7 hari, dia bohongin gue! Padahal gue udah terlanjur cinta ama dia. Keterlaluan banget, kan? Ternyata selama ini gue cuma jadi pelampiasannya doang! ". Airmataku pun jatuh membasahi pipiku, tak dapat lagi ku bendung.
" Udah dong Re, udah! Malu tau kalo diliat ama orang! Udah dong Re, emang si Tora itu brengsek! Loe nggak perlu nangisin cowok kurang ajar macam dia! ", Nindy berusaha menenangkanku, lalu cepat – cepat ku hapus airmataku.
" Re...kenapa loe nangis? Siapa yang udah nyakitin loe? Tora? ", Jose segera menghampiriku.
" Nggak kok, gue nggak kenapa – kenapa. Nin, gue cabut dulu, ya! ", aku segera berlari menuju toilet yang berada di sekolahku, membasuh wajahku dengan air dingin, menenangkan perasaanku yang kalang kabut, kemudian kembali bercanda tawa dengan teman – teman yang lain, seakan tak terjadi apa – apa pada diriku.
" Wid...muka loe kok muram gitu? Lagi ada masalah, ya? ", aku duduk disamping Wiwid, mencoba menghiburnya.
" Ahh...nggak papa kok, Re! ", kata Wiwid tersenyum ke arahku.
" Ohh...by the way, pertandingannya kok lama banget sih? ", tanyaku sambil celingak celinguk ke arah Sutejo.
" Iya nih...ehh kok bisa sih? ". Belum sempat aku menjelaskannya pada Wiwid, tiba – tiba Tora keluar kelas, dan sebuah pukulan melayang di pelipis kirinya. Tora pun tidak mau dikalah, ia lalu membalas pukulan tersebut di kening Sutejo. Teman – teman yang lain berusaha untuk melerai, namun Sutejo tetap membabi buta. Di satu sisi, aku yang masih sangat mencintai mantan pacarku itu, merasa khawatir terhadap keadaannya. Namun rasa kepedulianku itu tiba – tiba saja lenyap, berganti dengan rasa muak atas apa yang telah ia perlakukan terhadapku. Bagus, Sutejo. Ingat yang beberapa menit lalu ku katakan padamu, laksanakan dendamku pada makhluk brengsek itu, kataku dalam hati. Walau belum sepenuhnya, namun aku sudah cukup puas atas apa yang sudah Sutejo perbuat pada Tora barusan.

***

Hari – hari selanjutnya berjalan dengan lancar, dan aku pun sudah tak lagi memikirkan Tora. Beberapa hari sebelumnya, ku dapat kabar bahwa Tora memang betul – betul back sama Ruli, mantannya sebelum aku. Sakit...rasa sakit itu sangat terasa, dan rasa cinta itu masih juga menetap. Namun apa boleh buat? Mau tidak mau, aku harus menerima kenyataan pahit.
" Hey! Loe kok melamun sih? ", Andra menyapaku, disusul dengan Panjul, Sutejo, Nindy, Fahri dan Ancha.
" Haa..ohh..ehh...nggak kok ", kataku berbohong pada mereka.
" HEY KALIAN SEMUANYA !!! ", dari lantai dua, Faris, yang sempat menjalin hubungan tanpa status denganku selama kurang lebih 2 tahun, menyapa kami semua.
" Hey juga ", kami menyapanya sambil tersenyum.
" Huhh...sialan tuh si Faris. Setelah gue perhatiin, matanya tuh bukan tertuju ama kita. Tapi ama ini nih, si Rere. Huh! ", Fahri mengeluh.
" Heeehh...apa – apaan sih loe, Ri! ", kataku malu – malu.
" Re...kayaknya Faris naksir tuh ama loe, loe juga pernah bilang kan, kalo Faris pernah nembak loe, tapi loe tolak gara – gara loe malah milih si Tora brengsek itu. Loe mau nggak ama dia? ", Andra mulai menggodaku.
Aku terdiam. Sepertinya aku kembali ke masa lampau. Dejavu!
" Re...gimana, loe mau nggak ama dia? ", Andra membujukku agar mau berbicara.
" Heehh...loe apa – apaan sih? Yah nggak mungkin lah, Faris bisa suka ama gue! Ngaco loe ahh! ", kataku sambil membuang muka.
" Ya mungkin aja, apa sih yang nggak mungkin di dunia ini? ", Panjul ikut – ikutan menimpal.
" Alaaahh loe Re, bilang aja kalo loe emang masih ada rasa juga ama dia. Dia kan cinta pertama loe ", kata Fahri mencibir.
" Sok tau loe, Ri! ", kataku mengejek.
" Sok tau tapi emang bener, iya kan? ", Ancha pun angkat bicara.
" Wahh...langsung ada penggantinya Tora, nih! Ciee...ciee...kalo ama Faris sih, gue setujuuuuu banget! Ehh...ehh...liat tuh! Muka Rere kok jadi merah gitu yaa? Wahhh....gue curiga nih!!! ", Nindy membuatku semakin malu, malu, dan malu. Terpaksa aku menutupi wajahku yang sudah seperti kepiting rebus itu dengan kedua telapak tanganku.
" Re...loe ada acara nggak abis pulang sekolah? ", tanpa di duga – duga, Faris datang menghampiriku. Dan itu sukses membuat teman – temanku semakin mempermalukan aku.
" Ngg...nggak kok. Emang kenapa? ", tanyaku.
" Jalan yuk...ntar gue jemput. Gimana? Loe mau nggak? ", sesaat kemudian aku tersenyum, sambil mengangguk pelan. Kemudian Faris pergi, ku tatapnya hingga dia benar – benar tak terlihat olehku lagi.
" Cieehhhh.....gugur satu...ehhh malah tumbuh seribu! Kayaknya bentar lagi bakalan ada yang jadian, nih! ", Nindy membuyarkan lamunanku. Membuatku semakin malu, karena ulahnya.
" NINNNDDYYYYY...........awaaassss loeee yaaaaaa....!!!!!!!! ".



---SELESAI---

Cerpen - Sahabat dan Cinta

Belakangan ini Niken terlihat kurang bersemangat datang ke sekolah, entah kenapa, tak seorang pun mengetahuinya. Terbukti, tak satu pun Pekerjaan Rumah yang bisa diselesaikannya dengan baik. Atau, biasanya ia melamun dalam kelas, sehingga membuat guru – guru merasa dongkol, dan tak tahan untuk melemparinya sebuah penghapus papan tulis. Tetapi ia tetap saja melakukan aktivitasnya yang aneh itu, melamun.
" Niken, coba kamu selesaikan halaman 73 soal nomor 4 mengenai trigonometri! ", Bu Mira membuyarkan lamunan Niken, membuat ia tersentak, dan segera mengambil buku cetak matematikanya dan mencoba mengerjakan soal tersebut sesuai perintah Bu Mira. Namun baru saja ia melihat – lihat isi soal tersebut, wajahnya pucat bukan main, ia sama sekali tak mengerti dengan materi trigonometri. Terpaksa ia berdiri terpaku dihadapan papan tulis putih itu yang masih bersih, tanpa ada coretan spidol yang menghiasinya.
" Kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak paham dengan apa yang saya perintahkan? ", Bu Mira yang dikenal guru paling 'angker' seantero sekolah itu mulai menatap tajam Niken yang berdiri terpaku.
" Mm..maaf bu, saya tidak mengerti isi soal ini ", Niken menunduk malu, sorot mata yang tajam itu tetap saja memperhatikannya.
" Kalau begitu...mana pekerjaan rumahmu? ", Niken segera kembali ke tempat duduknya kemudian mengambil buku PR matematikanya yang disampul warna hijau, dan ketika ia membuka halaman demi halaman, ia pun menemukan sebuah soal yang kemarin ia salin, tapi...astagaaa! Ia lupa mengerjakannya. Kini lengkaplah sudah perasaan tidak enak Niken, berkecamuk dalam hatinya.
" Mana tugas kamu? ", Bu Mira tampaknya menaruh kecurigaan terhadap muridnya yang suka melamun itu, kemudian dengan wajah lesu, Niken akhirnya berkata jujur pada guru matematikanya itu,
" Mmm..maaf bu, saya lupa mengerjakan tugas saya ", Niken menggigit bibirnya. Mungkin ia sudah mengetahui apa yang akan diperbuat Bu Mira terhadap dirinya. Dan dengan jari telunjuk menghadap ke tiang bendera, tampaknya Niken mengerti dengan apa yang diperintahkan Bu Mira. Tanpa dikomando dua kali, Niken berjalan menuju lapangan upacara, menghadap ke tiang bendera sambil hormat dengan kepala mendongak ke atas.
" Aduh Nik...loe kenapa lagi sih? Kemaren gue liat loe lari keliling lapangan basket, trus sekarang loe hormat nggak jelas di depan tiang bendera! Emang ada apa sih? Guru – guru pada doyan yaa ngerjain loe? ", Tias, sahabat Niken dari SD, mulai menaruh kecurigaan pada cewek berambut panjang itu. Niken hanya diam saja, tampaknya ia sedang malas untuk berbicara.
" Nik, loe kenapa sih? Tumben loe diem terus daritadi! Ada apa sih? Kalo loe ada masalah, cerita dong! Siapatau gue bisa bantu ", Tias mulai menawarkan jasa. Karena dibujuk terus, akhirnya Niken pun luluh.
" Gini, Ti, ehhm...gue naksir ama Dirga....", Niken pun jujur kepada Tias.
" Hah? Dirga? Loe naksir ama dia? ",
" Iya, tapi....please yahh loe jangan bilang siapa – siapa tentang ini. Pleasseee...!!!!! ", Niken memohon harap pada Tias.
" It's OK! Tapi...yang gue mo nanyain, apa hubungannya dengan loe sering ngelamun nggak jelas di kelas? Loe kan lagi 'falling in love', harusnya loe seneng! Lagipula kan Dirga sahabatan ma kita, jadinya loe gampang PDKT ama dia! Emang aneh, loe! "
" Ti...Reni juga naksir ama Dirga!!! "
" Hah? Reni...anak IPA 2, naksir ama Dirga? Loe kok tau? ", Tias bertanya heran.
" Gue tuh udah sering ngeliat Reni jalan berduaan ama Dirga, ke kantin bareng, pokoknya mereka sering sama – sama lah! ",
" Ohh...gitu...!!!! ", Tias hanya manggut – manggut. Tampaknya ia mulai mengerti.
" Ti...loe janji yahh...loe jangan bilang siapa – siapa tentang ini, apalagi ama Dirga. Please yahhh...!!!! ",
" Udahlah loe nggak usah khawatir. Gue janji, gue nggak bakalan bilang ke siapa – siapa tentang ini, tapi...untuk kali ini, loe aja yaah yang bayar ni makanan gue, OK? Gue cabut dulu yaah, bye!!! ", Tias kemudian berlari dari kantin sambil tersenyum jahil ke arah Niken.
" Tiiiiaaaasss......kuraaangg ajaarr loeee....!!!!!!!!! "
***
Siang itu, Niken tampaknya sibuk sekali. Ia mengemasi seluruh pakaiannya ke dalam sebuah koper hitam. Hari ini ia akan berangkat ke Medan, karena pamannya akan melangsungkan acara pernikahan. Tiba – tiba pintu kamarnya diketuk,
" Masuk aja, nggak dikunci kok, "
Tias pun memasuki sebuah kamar berukuran 8x5 meter itu, lalu menjatuhkan dirinya di atas spring bed milik Niken. Tias memandang Niken heran, lalu bertanya,
" Nik, loe mo kemana? ",
" Hari ini gue mo ke Medan. Paman gue mo kawin, yaahhh maybe gue nggak masuk sekolah 3 hari. Izinin gue yahhh, ntar gue kasih loe suratnya ", Niken masih tetap saja sibuk membereskan pakaiannya.
" Yaudah...itu mah masalah gampang! Pokoknya, loe nggak boleh pulang ke Jakarta kalo loe nggak bawain gue oleh – oleh! Deal? ", Tias mengancam, membuat Niken tertawa.
" Hahahaha...emang loe maunya apaan sih? ", Niken masih terus saja tertawa.
" Kalo bisa makanan....."
" Hahahaha...udah gue duga sebelumnya! Loe kan doyan makan, tenang aja gue bakalan bawain loe makanan! Tapi kalo loe kepengennya sekarang, tuhh di luar banyak batu! ", Niken melirik ke arah luar jendela, sambil tersenyum mengejek. Tias cemberut, membuatnya tak tahan untuk melemparkan bantal – bantal ke arah Niken yang masih saja tertawa.
" Hahahahahaha......"

***

Pada saat bersamaan di green's cafe...
" Ren...gue mo ngomong sesuatu ama loe...", Dirga menatap mata coklat cewek berambut lurus yang ada dihadapannya itu.
" Mo ngomong apaan, ga? ", cewek bernama Reni itu masih saja mengaduk aduk cappuccino yang sedari tadi menjadi bahan permainannya.
" Gue...mmm...gue...gue suka sama loe. Loe mau nggak jadi pacar gue? ", Dirga mengambil sebuah cincin lalu memasangkannya pada jari manis Reni, lalu kemudian Reni mengangguk tersenyum, seraya mengecup kening Dirga. Tanpa mereka sadari, salah seorang cewek berambut ikal dan mengenakan t-shirt merah memperhatikannya dari balik kaca jendela, lalu mengambil sebuah handphone dari saku celananya dan beberapa menit kemudian ia tampaknya sedang berbicara serius dengan seseorang yang menjadi lawan bicaranya di telepon.

***

" Wahh...Nik, oleh – oleh gue mana, nih? ", Dirga bertanya seraya menghambur – hamburkan isi tas Niken.
" Sabar dong, Ga! Buat loe ada kok, tenang aja! Nih, kaos buat loe! Gimana, keren nggak? ", Niken menyodorkan sehelai kaos hitam bermerek 'Ripcurl' tersebut pada Dirga.
" Waahh...keren banget, Nik! Serius nih, buat gue? Thanks yaa...", Dirga lalu mengambil kaos tersebut dari tangan Niken.
" Curaaaanggg....!!!! Bagian gue mana, Nik? Waah....nggak asik loe, " Tias ikut – ikutan menagih Niken.
" Nih, gue bawain boneka kesukaan loe, teddy bear! Gimana, loe suka nggak? "
" Waahhh....lucu banget! Buat gue nih? Thanks yahhh....",
" Mm...Nik, Ti, ada yang gue pengen omongin ama loe...", pernyataan Dirga barusan membuat Niken dan Tias menghentikan aktifitasnya sejenak.
" Gue....mmm....4 hari yang lalu, gue jadian ama Reni...", ucap Dirga sambil tersenyum senang.
" Loe...loe beneran jadian ama Reni? ", Niken mencoba meyakinkan.
" Iya! Masa loe nggak percaya, sih! Ohh iya...hari ini gue ada janji ma Reni, mo nemenin dia shopping! Yaudah....gue cabut dulu, ya! Bye....", Dirga lalu keluar dari kamar Niken, setelah itu, Niken hanya terduudk lemas, wajahnya memancarkan raut kesedihan yang sangat mendalam.
" Loe bener, Ti. Semua yang loe ceritain ke gue yang waktu loe di green cafe itu bener, Dirga jadian ama Reni...", perlahan butiran – butiran airmata jatuh membasahi pipi Niken.
" Nik, loe yang sabar, yaah! Gue tau kok, perasaan loe sekarang kayak gimana. Ya udah lahh...mungkin Dirga emang nggak pantes buat loe....", Tias berusaha untuk menghibur sahabatnya itu.
" Tapi Ti, gue sayang banget ama Dirga. Perasaan gue ke dia itu, lebih dari sekedar sahabat, Ti. Gue juga nggak nyangka, kenapa gue bisa jatuh cinta ama dia...",
" Udah lah, Nik. Gue tau loe cinta ama Dirga, tapi mo gimana lagi? Emang takdirnya loe ama Dirga itu, diciptain nggak lebih dari sekedar sahabat, "
Niken terdiam. Tias pun begitu. Keduanya larut dalam pikirannya masing – masing, entah apa yang mereka pikirkan....

***

" Nik, loe udah nyelesain tugas kimia, belum? ", Dirga menghampiri bangku Niken yang terletak di sudut kanan belakang.
" belum...", Niken menjawab cuek.
" Ohh...ehh Nik, gue punya tiket konsernya Pee Wee Gaskins nih, loe mau nggak? ", Dirga meyodorkan sebuah tiket konser pada Niken.
" No, thanks! ", Niken kemudian pergi meninggalkan Dirga yang masih saja berdiri terpaku, membuat seorang Dirga Saputra terheran – heran.
Niken berjalan menuju arah taman sekolah. Ya, kalau sedang BT, biasanya Niken ke sini. Tumben tempat ini sepi, pikir Niken. Mungkin siswa – siswa yang lain sedang pergi ke kantin, ini kan sudah jam istirahat.
" Nik, loe ngapain di sini? ", tanpa di duga – duga, Dirga datang menghampiri Niken.
" Seharusnya gue yang nanya ke loe, ngapain loe disini? ", Niken bertanya galak.
" Yahh....gue nyariin loe ",
" Nyariin gue? Apa loe nggak salah? Udah sana pergi, gue lagi nggak mau digangggu! ",
" Nik, loe kenapa sih? Belakangan ini gue perhatiin, loe tuh kayaknya sensi banget deh...", Dirga lalu duduk disamping Niken yang masih saja cemberut.
" Emang penting ya, buat loe tau? ", Niken bertanya balik.
Belum sempat Dirga berbicara, tiba – tiba mucullah Tias, membuat Niken dan Dirga terdiam.
" Nahh...ternyata loe berdua ke sini! Ngapain sih, loe? Gue cariin loe ke kantin, nggak ada! Ke perpustakaan juga, nggak ada! Dasar kalian tuh emang aneh! ", semprot Tias lalu mengmbil salah satu kursi kemudian duduk di samping Dirga. Tapi Dirga malah diam. Niken pun begitu, tiba – tiba Niken berdiri, tanpa menatap Dirga ataupun Tias.
" Ti, gue cabut dulu, yah! Gue mo ke koperasi, mo beli pulpen ", ucap Niken kemudian pergi meninggalkan Tias dan Dirga yang masih bengong di tempatnya, terlebih Dirga.
" Ti, Niken kenapa, sih? Akhir – akhir ini kok sikapnya dingin banget ke gue? Apa gue punya salah ama dia? ", Dirga mencoba bertanya kepada Tias.
" Udah tau, nanya pula! Wajar lahh kalo belakang ini sikap Niken berubah ke loe, emang loe punya salah besar ke dia ", Tias mencibir.
" Masa sih? Emang gue salah apaan sama dia? ", Dirga mencoba untuk menginstropeksi dirinya.
" Yaiyalah...Niken tuh suka ama loe, ga! Pas dia tau kalo loe jadian ama Reni, dia tuh cemburu banget! Uupppss........", Tias lalu mengatup mulutnya. Tanpa sadar, ia telah membocorkan sesuatu hal yang tidak pantas untuk diketahui Dirga.
" Ga, sorry yahh...gue mo ke toilet dulu! Kebelet nih....", Tias lalu pergi meninggalkan taman itu. Kini tinggallah Dirga seorang diri, yang masih terkejut dengan pernyataan Tias barusan.

***

" Nik, gue mo ngomong sesuatu sama loe ", Dirga lalu menarik tangan Niken, membawanya ke halaman belakang sekolah.
" Ga, apa – apaan sih, loe! Ga, lepasin tangan gue! ", Dirga pun melepas genggaman tangannya, lalu terdiam. Ia menarik nafas panjang, kemudian mencoba untuk menenangkan diri.
" Nik, sekarang gue udah tau semuanya. Kenapa akhir – akhir ini sikap loe dingin ma gue, kenapa loe jutek banget ama gue, pokoknya gue udah tau semuanya. Sekarang gue minta penjelasan loe, apa bener, loe suka ama gue? Dan loe marah, karena gue jadian ama Reni? ", Dirga menyerang Niken dengan berbagai macam pertanyaan.
" Sok tau loe, Ga! ", Niken mencoba untuk menutupi semuanya.
" Gue harap loe mo jujur ke gue, Nik! ",
Niken pun terdiam. Mulutnya seakan terkunci untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya pada Dirga.
" Nik....",
" Iya, Dirga! Emang bener! Gue emang cinta sama lo, perasaan sayang gue ke loe lebih dari sekedar sahabat. Dan begitu gue tau kalo loe jadian ama Reni, gue marah! Gue cemburu, Ga. Gue cemburu! Tapi gue bisanya apa? Di mata loe, gue cuma sekedar sahabat loe aja....", mata Niken pun mulai berkaca – kaca. Perlahan demi perlahan, airmatanya jatuh membasah wajahnya yang polos itu.
" Gue ngerti kok, Nik, gue ngerti perasaan loe. Tapi, sorry banget, gue nggak mungkin ninggalin Reni demi loe, karena perasaan sayang gue ke loe, nggak lebih dari sekedar sahabat. Sorry, Nik..." ,
" Iya, Ga. Gue tau kok. Tapi gue janji, gue bakalan ngelupain loe....",
" Gue yakin loe bisa, Nik. Loe pasti bisa nemuin cowok yang lebih baik dari gue...",
" Iya, Ga. Maafin gue. Nggak seharusnya gue marah sama loe...",
" Udahlah...nggak apa – apa kok, Nik. Gue ngerti kok perasaan loe. Tapi, persahabatan kita tetap seperti dulu, ya? Gue nggak mau kalo loe terus – terusan marah ama gue...",
" Tenang aja, gue udah nggak marah, kok. Mungkin gue udah bisa nerima kenyataan...", Niken lalu tersenyum ke arah Dirga sambil menghapus airmatanya.
" Nahh...gitu dong! Ehhh...ngomong – ngomong, loe udah makan belum? Ke green's cafe, yuk! Tar gue trkatir...", ucap Dirga sambil menyalakan mesin motornya. Kemudian Niken mengangguk tersenyum, dengan sekejap mereka telah melupakan tragedi menyakitkan barusan.

***

" Pagi, Niken! ", sapa Tama, sang ketua OSIS ketika melihat Niken sedang berada di depan kelasnya.
" Pagi juga, Tama! ", balas Niken tersenyum. Kalau diperhatikan, Tama ini memang cakep. Postur tubuhnya yang tinggi, rambutnya yang jabrik serta wajahnya yang manis, membuat ia menjadi 'the most of the wanted boy' di sekolahnya. Apalagi dengan jabatannnya sebagai ketua OSIS dan kapten basket, membuat semua cewek – cewek seantero sekolahan tergila – gila dengannya. Tek terkeculi Niken, belakangan ini ia sering memikirkan cowok idaman para cewek – cewek itu.
" Nik, malam ini loe ada acara nggak? ", Tama kemudian memulai pembicaraan pada cewek yang ada di depannya itu.
" Nggak ada, emang kenapa? ",
" Malam mingguan, yuk. Sekalian nonton konsernya Pee Wee Gaskins. Mau nggak? ",
Niken seakan tidak percaya. Malam ini ia akan nge-date bersama cowok sekeren Tama, tentu saja ia menerima ajakan tersebut dengan sepenuh hati.
" Ya udah....tar jam 7 malam gue jemput loe, ya! Bye...", Tama lalu meninggalkan Niken yang masih saja tak percaya dengan kejadian barusan.
" Ti...ngapain loe bengong di depan pintu? Pamali, tau! ", kehadiran Tias membuat lamunan Niken buyar.
" Ohhh...eehhh..nggak kok. Ehh...entar malem gue mau nge-date ama Tama, lhoo...! ", ucap Niken menggebu – gebu, membuat sahabatnya menaruh kecurigaan terhadap seorang Niken Astianti.
"Hhhmm.....gue curiga nih, ama loe. Apa jangan – jangan, loe mulai naksir, ya, ama Tama? Ngaku aja deh, loe! ", Tias sepertinya tahu apa yang sedang Niken pikirkan.
" He-ehh...apa – apaan sih loe, Ti? ", Niken mencoba untuk menutupi rasa malunya.
" Alaaahhh....nggak usah bohong deh Loe, Nik! Emang bener, kan? Gue tau kok! ", Tias kemudian tertawa sambil terus mempermalukan Niken.
" ssstt.....ngomongnya jangan keras – keras dong, Ti! Ntar kalo ketahuan orangnya kan bisa gawat!!!!! ",

Cerpen - Penghuni Kamar 13

" Jalan Semanggi Nomor 45, nah ini dia nih! ", Tania akhirnya menemukan sebuah kos – kosan yang rencananya akan ia tempati. Sebuah bangunan berukuran 80x50 meter itu membuatnya yakin akan memilih lokasi ini sebagai tempat tinggalnya. Ia pun akhirnya mengetuk pintu, dan seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan menghampirinya,
" Permisi bu, " , sapa Tania ramah.
" Iya neng, ada yang bisa saya bantu? ", jawab perempuan itu.
" Perkenalkan, bu, saya Tania. Apa benar ini Ibu Lisa, yang katanya menyediakan tempat ini untuk kos? ", Tania mencoba meyakinkan.
" Iya, benar saya Ibu Lisa, dan memang tempat ini saya sediakan untuk kos. Namun, kamar yang tersisa sisa satu, letaknya pun di bagian belakang. Apakah kamu bersedia? ", Bu Lisa menjelaskan.
" Baik, bu. Itu tidak menjadi masalah bagi saya. ", ujar Tania tersenyum.
" Ohh...kalau begitu, mari nak, saya antar ke kamar nomor 13....", Bu Lisa lalu mengantar Tania menuju kamar yang ia akan tempati itu. Letaknya di bagian belakang rumah, bersebelahan dengan gudang. Begitu Tania melihat – lihat isi kamar tersebut, ia terkejut bukan main, debu bertebaran di mana – mana, sarang laba – laba menghiasi setiap sudut – sudut ruangan. Kotor sekali. Tampaknya kamar ini tidak pernah ditempati dan sangat jarang sekali dibersihkan.
" Maaf, nak. Penghuni terakhir kamar ini sudah pindah sejak 4 tahun lalu, dan semenjak saat itu, tidak ada lagi yang mau untuk menghuni kamar ini. Kamar ini pun jarang dibersihkan, dan neng Tania, adalah penghuni baru kamar ini. Semoga neng Tania senang....", Tania pun tersenyum. Kemudian ia memasuki kamar barunya itu, lalu membersihkannya. Sewaktu ia sedang merapikan baju – bajunya untuk dia simpan dalam sebuah lemari, ia menemukan foto seorang gadis yang berumur sekitar 18 tahunan terselip dalam lemari tersebut. Sejenak ia memperhatikan foto itu, cantik sekali gadis ini, Tania menggumam dalam hati, lalu menaruh foto tersebut ke tempat semula.

***
" Dit, malam mingguan, yuk? ", Roni mengajak Dita untuk pergi bersamanya malam itu juga.
" Malam ini kita kemana, sayang? ", Dita memeluk Roni manja.
" Gimana kalo kita ke diskotik aja, sayang? Kita habiskan waktu kita untuk senang – senang...", Roni lalu menghidupkan mesin motornya, lalu berangkatlah mereka menuju salah satu diskotik ternama di pinggiran Kota Jakarta.
" Sayang...aku mo beli minum dulu, ya. Kamu tunggu aja disini, " Roni lalu menuju bar, memesan satu gelas whisky lalu meneguknya. Tapi satu gelas rasanya tak cukup, ia pun memesan 3 gelas lagi, dan itu habis diminumnya. Setelah itu ia menemui Dita yang sedang asyik merokok dan main kartu bersama teman – temannya,
" Dit, kita ke hotel, yuk! Bosen niih, sayang! ", Dita mengangguk tersenyum, kemudian mengamit tangan Roni lalu menuju ke salah satu hotel yang letaknya tak jauh dari diskotik itu. Sesampai di sana, mereka memesan kamar nomor 113, lalu memasukinya. Roni yang sedang mabuk itu, tak kuat lagi menahan hawa nafsunya ketika Dita memeluknya. Dan....terjadilah sesuatu hal yang tidak selayaknya mereka lakukan di malam yang gelap itu.....

***

" Gimana, Tan, loe udah dapet tempat kos yang cocok? ", Fika bertanya pada Tania saat sedang berada di kantin.
" Udah kok, Fik. Ehh ngomong – ngomong, Dimas ke mana, ya? ", sepasang mata bulat Tania mencari – cari sosok Dimas.
" Dimas lagi di perpustakaan, katanya mo minjem buku, gitu...", Tania hanya manggut – manggut tanda mengerti.
" Ehh...Tan, boleh nggak kalo bentar gue maen ke kos-an loe? ", Fika bertanya sambil menyantap batagor yang ada dihadapannya itu.
" Boleh, kok. Emang loe mo ngapain? ",
" Yaa...gue cuman mo ngecek aja, kos-an loe aman apa nggak....",
" Ahh...Fik, bisa aja deh, loe! ", Tania tertawa, disusul dengan Fika. Tanpa mereka sadari, sekelebat bayangan putih memperhatikan mereka dari jauh, lalu menghilang.
Krreeekkkk....!!! Pintu kamar berdenyit saat dibuka. Tania dan Fika pun memasuki kamar tersebut. Seketika bulu kuduk Fika merinding, perasaan tidak enak berkecamuk di dalam hatinya. Sepertinya ia merasakan aura yang aneh di dalam kamar ini.
" Fik, loe sakit? Muka loe kok pucat gitu? ", Tania heran melihat perubahan ekspresi pada diri sahabatnya itu.
" Nggak kok, Tan. Gue nggak papa kok, " Fika sedikit berbohong pada Tania. Lalu, dibalik sebuah lemari coklat, yang berada tak jauh dari tempat tidur Tania, Fika melihat seorang sosok wanita berjubah putih. Sosok yang sedari tadi memperhatikan mereka sewaktu di kantin. Wajah sosok tersebut berlumuran darah, di kepalanya tertancap sebuah paku beton. Rambutnya acak – acakan, kuku – kukunya hitam dan panjang. Sepertinya sosok tersebut tak suka dengan kehadiran Tania. Fika yang memperhatikannya hanya terdiam bisu, tak mampu berucap kata sepatah pun. Seketika semuanya menjadi gelap gulita, kosong, tak ada cahaya seberkas pun. Fika pingsan.
" Fik....bangun Fik, " Tania terus saja membangunkan Fika dengan memberinya aroma balsem di sekitar indra penciumannya, ditemani oleh Dimas, pacar Tania. Perlahan Fika mulai membuka matanya, namun indra penglihatannya itu menjalar ke mana – mana, tampaknya ia mencari sosok yang sedari tadi ia perhatikan.
" Fik, loe kenapa sih? Loe sakit? ", Tania mulai khawatir dengan keadaan Fika. Namun Fika tetap terdiam membisu. Sepertinya ia berusaha untuk mengingat kejadian barusan yang dialaminya.
" Fik....",
" Tan, gue saranin, loe secepatnya pindah dari kos-an ini ", Fika akhirnya membuka mulut, dan itu membuat Tania dan Dimas heran.
" Maksud loe apaan, Fik? Kenapa loe nyuruh Tania buat pindah dari sini? ', Dimas heran dengan pernyataan Fika barusan.
" Mas, ini juga demi keselamatan Tania. Tan, pokoknya gue nggak mau terjadi apa – apa sama loe! Loe harus nyari kos-an laen. Atau kalo loe keberatan, biar gue yang nyariin buat loe ", Fika tetap bertekad untuk membawa Tania pergi segera dari tempat ini.
" Udah dong Fik, Mas. Gitu aja kok ribut. Fik, kenapa sih loe nyuruh gue pindah? Gue kan baru 3 hari disini, gue juga udah bayar buat bulan ini. Masa gue harus pindah gitu aja, tanpa alasan yang jelas? ", Tania pun mulai heran.
" Tan, ada yang nggak suka kalo loe disini," Fika berterus terang pada Tania yang sedari tadi bingung dibuatnya.
" Maksud loe? Emang siapa sih yang nggak seneng kalo Tania disini? ", Dimas mulai curiga.
" Dia bukan manusia, dia makhluk halus, abstrak.....", Fika lalu menoleh ke arah lemari tempat ia melihat setan tadi. Kosong. Tak ada apa – apanya. Sepertinya setan itu sudah pergi, namun Fika masih saja merasakan hawa dingin di sekujur tubuhnya. Padahal hari sedang panas, matahari tepat berada di atas kepala.
" Fik, loe yakin? ", Tania tampaknya tak setuju dengan kalimat Fika barusan.
" Ngapain juga gue mesti bohong ama sahabat gue sendiri? Ayolah, Tan, ini demi keselamatan hidup loe....", Fika memelas, berharap Tania mengikuti kehendaknya secepatnya. Meninggalkan kos-an ini yang baru saja ia tempati selama 3 hari.
" Ntar deh gue liat....", Tania lalu terdiam. Fika dan Dimas pun begitu. Semuanya terlarut dalam pemikiran mereka masing – masing. Dan hanya Fika yang menyadari, sekelebat bayangan putih itu memperhatikan mereka dari jendela kamar Tania, disusul dengan suara tangisan bayi yang hanya bisa dirasakan oleh batin Fika...

***

" Ron, gue mo ngomong sesuatu ama loe ", Dita berkata pada Roni yang masih saja mengisap rokoknya.
" Kamu mau ngomong apaan sayang? ", Roni kemudian memeluk Dita mesra.
" Ron, gue hamil.....", Dita kemudian jujur kepada pacarnya itu.
" Apa? Loe hamil? Nggak mungkin....", Roni terkejut seketika, melepas pelukannya pada Dita. Wajahnya pucat bukan main. Ia tak menyangka, kejadian di malam itu membuat pacarnya hamil.
" Gue serius, Ron. Gue positive hamil. Dan...gue minta supaya loe tanggung jawab atas perbuatan loe ke gue...", Dita akhirnya meminta pertanggungjawaban Roni.
" Loe pasti bohong, kan? Lagian bukan cuma gue yang pernah tidur sama loe, pasti ada cowok lain ", Roni berusaha menghindar.
" Ron, loe jangan sembarangan ngomong, ya! Satu – satunya cowok yang pernah tidur sama gue tuh cuma elo, Ron! Loe pikir gue pelacur, apa? Yang seenaknya aja mo tidur ama cowok laen? Sama pacar sendiri kok loe nggak percaya sih ama gue? ", wajah Dita memerah. Hatinya panas, seakan – akan martabatnya sebagai seorang perempuan diremehkan begitu saja oleh Roni.
" Dit, loe jangan asal, ya! Gue tau kok, siapa loe sebenarnya. Janin yang ada dalam perut loe sekarang itu, pasti bukan darah daging gue! Gue yakin! Loe cuman nyari alasan aja supaya loe bisa nikah sama gue, gitu kan? Nggak bakal, Dit. Gue nggak bakalan nikah sama cewek macam loe, " Roni tersenyum sinis.
" Brengsek loe, Ron! ", tiba – tiba sebuah tamparan melayang di pipi kanan Roni. Tangan halus Dita terpaksa melakukan itu, bagaimana tidak? Ia sama sekali tak tahan dengan perlakuan Roni barusan. Semuanya cukup jelas, Roni tidak mau mengakui bayi dalam kandungan Dita, tak mau bertanggung jawab pula.
" Berani banget loe nampar gue, dasar cewek murahan! ", Roni yang tak mau kalah, mengambil sebuah vas bunga yang berada di dekatnya kemudian melemparkannya tepat ke arah Dita. Seketika dari pelipis kirinya memancarkan darah yang segar. Tubuhnya terjungkai ke belakang, namun ia tetap berusaha meraih gagang pintu, lalu mencoba untuk melarikan diri dari Roni yang sedang membabi buta.
" Dit, mo kemana loe? Jangan harap loe bisa lari dari gue! ",

***

Sudah 13 hari Tania tinggal di kos – kosan yang baru saja ditempatinya, namun ia sama sekali belum merasakan keganjilan. Amanah dari Fika pun mulai terlupakan olehnya. Tampaknya Tania biasa – biasa saja, dan ia memang tak berniat meninggalkan tempat itu. Ibu kos-nya cukup baik, begitu pula teman – temannya yang satu kos dengannya. Mana daerah tempat tinggalnya strategis pula, membuatnya betah untuk tetap disini.
Tok tok tok! Pintu kamar diketuk dari arah luar, Tania yang sedang sibuk menikmati capuccino-nya merasa malas untuk membuka pintu. Ia hanya memberikan seruan dari dalam,
" Masuk aja, nggak dikunci, kok ", tiba – tiba pintu kamar Tania terbuka dengan sendirinya. Lama tak ada yang muncul, Tania dengan nekat menoleh keluar, tak ada sesosok makhluk pun.
" Siapa sih? ",
Sepi, diam, sunyi. Tak ada suara, kecuali beberapa ekor jangkrik yang berada di halaman luar. Jam menunjukkan pukul 12 malam, siapa juga yang berani bertamu pada malam – malam begini? Ahh mungkin saja itu Bu Lisa, tapi karena kebelet buang air kecil, makanya langsung ke WC. Terus langsung deh tidur, lupa kalo sempet singgah ke kamar gue, Tania berkata demikian dalam hati. Lalu ia pun menutup pintu kamarnya yang sedari tadi terbuka, kemudian kembali menikmati secangkir capuccino-nya yang sempat terabaikan.
Klik! Seluruh lampu padam seketika. Gelap. Udara yang dingin di malam yang pekat menemani Tania. Tiba – tiba saja jendela kamarnya terbuka dengan sendirinya, angin yang juga berhembus dengan kencang menggerak – gerakkan tirai biru penghias jendela yang terbuka. Namun saat Tania berusaha menutup jendela kamarnya itu, sepasang tangan yang kekar tiba – tiba muncul, mencekik leher Tania yang membuatnya sulit untuk bernafas. Baru saja beberapa menit, ia sudah tergeletak tak berdaya di atas lantai yang penuh dengan darah segar itu. Tania meninggal.

***

Di malam yang gelap nan pekat itu, Dita terus saja berlari menuju jalan semanggi nomor 45, tempatnya kos. Ia berusaha melarikan diri dari kejaran Roni, sang kekasih yang tidak mau bertanggung jawab atas pebuatannya. Sesampai di depan pagar kos – kosannya pun, ia masih saja terus berlari, menuju kamarnya yang bernomor 13 sehingga membuat Bu Lisa heran.
Tok tok tok! Ketukan pintu dari arah luar membuat Dita tersentak.
" Siapa? ", Dita bertanya dari arah dalam.
" Neng Dita, ada yang mo ketemu sama neng, " dari arah luar suara Bu Lisa terdengar jelas.
" Siapa, bu? Suruh masuk aja, pintunya nggak dikunci, kok...", Pintu pun akhirnya terbuka, dan Dita begitu terkejut saat mengetahui siapa tamu yang mengunjunginya.
" Ron, buat apa lagi loe ke sini? Apa loe masih belum puas? ", suara Dita begitu keras, membuat Roni terpaksa mengatup mulut Dita.
" Dit, sorry.... gue ke sini cuma mau minta maaf sama loe ", Roni kemudian melepas tangannya dari mulut Dita. Wajahnya memancarkan raut penyesalan yang amat sangat mendalam.
" Dit, bukan maksud gue bikin loe emosi. Gue...gue tadi tuh cuma shock aja, begitu denger kalo loe hamil. Sumpah, Dit. Gue nggak bohong. Gue janji, gue bakal tanggung jawab atas perbuatan gue ke loe ", Roni mencoba untuk menjelaskan semuanya, lalu menggenggam kedua tangan Dita.
" Ron, loe serius? ", Dita tampaknya tak yakin dengan pernyataan Roni barusan.
" Gue serius, Dit. Gue rela kok ngelakuin apa aja buat loe, asal itu yang ngebuat loe bahagia. Sekarang kalo emang loe masih cinta sama gue, dan loe tetep mau ngejalanin semuanya dengan gue, peluk gue sekarang, Dit....", Dita kemudian tersenyum, lalu merangkul erat tubuh Roni.
" Gue cinta sama loe, Ron ", ucap Dita sambil memeluk Roni dengan memejamkan matanya.
" Gue juga cinta sama loe, Dit...." , Roni pun berkata demikian, kemudian ia mengambil sebilah pisau dari saku celananya, lalu menancapkannya pada perut Dita. Perlahan tapi pasti. Seketika darah segar mengalir dari perut Dita, tubuhnya terkulai lemah tak berdaya, membuat Roni tersenyum puas. Ia berhasil membunuh Dita, lantaran tak ingin Dita dan anak dalam kandungannya tetap berpijak di muka bumi ini.
" Sekarang nggak ada lagi yang bisa halangin gue! Dan loe, Dit...selamat bersenang – senang di kehidupan baru loe sekarang ", Roni lalu membawa keluar tubuh Dita, lalu tepat disamping kamarnya, ia menggali tanah untuk menguburkan mayat Dita yang sudah tak bernyawa lagi.

***

Sebuah mobil ambulance membawa tubuh Tania ke rumah sakit untuk di otopsi. Jalan Semanggi Nomor 45, tepatnya di kamar 13 itu telah digaris polisi. Tak seorang pun diperbolehkan mengunjunginya, walaupun itu Bu Lisa sendiri. Karena pada lokasi tersebut akan diadakan pemeriksaan lebih lanjut oleh pihak kepolisian.
Setelah mayat Tania selesai untuk di otopsi, para kerabat pun membawanya ke pemakaman, tak terkecuali Dimas dan Fika. Tentu saja mereka merasakan kesedihan yang amat sangat mendalam, terlebih Fika. Ia merasa bersalah karena tidak berhasil untuk membuat Tania pindah secepatnya dari kos – kosan itu. Namun apa boleh buat, yang di atas lah yang menentukan garis kehidupan seseorang.
" Tan, gue masih nggak percaya kalo loe udah nggak ada....", Fika berkata demikian kala orang – orang sudah pergi meninggalkan pemakaman, sambil menaburkan bunga – bunga kamboja ke sekitar nisan Tania.
" Fik, loe yang sabar, ya! Apapun yang terjadi, kita harus tetep ikhlas atas kepergian Tania. Kalo nggak, dia nggak bakal tenang di alam sana ", Dimas berusaha untuk menenangkan Fika, walaupun ia sendiri juga amat merasakan kehilangan yang sangat mendalam.
" Iya, Mas. Loe bener. Tan, loe janji ya, loe akan tetap baik – baik di sana, dan gue juga janji, gue akan tetap baik – baik di sini, walaupun tanpa loe ", seketika angin berhembus perlahan, meyibakkan rambut Fika yang terurai. Sepertinya Tania mengiyakan permintaan Fika barusan.
" Tan, kita pergi dulu, ya. Laen kali, kita bakal mampir lagi kok, ke sini. Loe yang tenang, ya! ", Dimas berkata demikian, kemudian pergi meninggalkan makam tersebut, disusul oleh Fika. Dari balik pohon beringin, sosok bayangan perempuan memperhatikan mereka yang terus saja berjalan.
" Gue bakal menjadi penghuni kamar 13 yang selanjutnya. Dan gue nggak akan ngebiarin mereka selamat, kalo seandainya mereka ngunjungin kamar 13 sebanyak 3 kali. Supaya gue bisa tenang....", seusai berkata demikin, sosok bayangan itu pun menghilang, bak ditelan bumi.

Cerpen - Sahabatku

Saat itu Rita sedang berada sendirian di kamarnya. Ia tengah sibuk menggerakkan tangannya di atas kertas putih nan bersih yang berada di hadapannya itu. Sesekali butiran – butiran airmatanya terjatuh perlahan, membasahi pipinya yang lembut. Tak peduli dengan dinginnya malam yang gelap, kejadian barusan ter-flashback kembali dalam ingatannya.
" Brengsek loe, Rit! Loe tega ya, ngebohongin gue selama 3 bulan? Loe tega ya, ngelakuin semua ini ke gue! Apa loe nggak sadar, loe itu siapa? Loe sahabat gue, Rit! LOE SAHABAT GUE!!! ", pekik Amel waktu itu.
" Mel, gue berani sumpah! Gue ngelakuin hal ini demi kebaikan loe! Gue nggak mau kalo sampai impian loe itu hancur cuma gara – gara gue! Gue nggak punya jalan lain, Mel. Dan loe tau? Selama 3 bulan gue bohongin loe, gue terus dihantui perasaan bersalah. Gue seperti dikejar – kejar setan, Mel. Dan setelah gue pikir – pikir, mungkin gue harus jujur sama loe, walaupun gue tau, resiko yang mesti gue terima nggak sedikit ", Rita berusaha menjelaskan. Tak tahan ia memendam semua kejujuran palsunya selama berbulan – bulan, ia nekat jujur walaupun hatinya sendiri tak siap untuk menghadapi berbagai macam tantangan.
" Alasan loe, Rit! Kenapa nggak dari awal aja loe ngaku, kalo loe juga naksir Fasli? Kenapa sih loe tega sama gue, apa salah gue selama ini ke loe, Rit? Apa??? ", Amel tak tahan lagi. Ia tak mampu menahan emosinya yang sedang meluap – luap, bertebaran di mana – mana.
" Maafin gue, Mel. Gue tau gue salah, tapi setidaknya loe paham dong, gimana posisi gue waktu itu. Gue shock berat, waktu loe bilang ke gue kalo loe juga naksir Fasli, dan loe minta ke gue supaya gue bikin loe ama Fasli jadian. Gue nggak tahan, Rit. Gue nggak tahan! Saat loe nanya ke gue, siapa orang yang ada di hati gue waktu itu, gue terpaksa bilang kalo dia itu Rama. Gue udah nggak punya pilihan lain lagi. Pikiran gue kacau waktu itu. Padahal sebenernya Rama itu bukan siapa – siapa gue! Yang ada di kepala gue tuh, gimana caranya supaya loe ama Fasli bisa bahagia, cuma itu, Mel! Karena loe sahabat gue, gue rela kok ngorbanin cinta gue demi loe. Asal loe seneng...",
" Kalo loe pikir itu cara loe supaya ngebuat gue seneng, loe salah besar, Rit! Gue sama sekali nggak suka dengan perbuatan loe! Gue benci sama loe, Rit. Gue benci!!! ", ujar Amel kemudian berlalu meninggalkan Rita sendirian.
" Mel, tunggu...",
" Udahlah, Rit. Gue nggak mau dengar penjelasan loe lagi! Dan, mungkin persahabatan kita cukup berakhir di sini. Thanks buat semuanya, Rit...", tanpa menoleh sedikit pun, Amel tetap saja berlari, tanpa arah dan tujuan yang jelas.
" Kak Rita, kenapa sih? ", suara Reza membuyarkan lamunan Rita.
" Ahh nggak kok, dik. Kak Rita nggak kenapa – kenapa, kok ", kata Rita sambil tersenyum kepada adiknya itu.
" Mata Kak Rita kok bengkak? Kakak habis nangis, ya? ", Reza masih terus saja menginterogasi kakak satu – satunya itu.
" Ah, masa iya? Nggak kok, tadi kakak kelamaan waktu tidur siang ", Rita terpaksa berbohong. Daripada diinterogasi terus menerus.
" Kak Rita jangan bohong, deh! Tadi Reza liat sendiri, kok, kalau kakak nangis. Kak Rita kalau ada masalah, sebaiknya kakak cerita aja sama Reza. Reza janji deh, Reza nggak bakal bilangin ke mama ato papa ", karena dibujuk terus, Rita pun akhirnya menceritakan masalah yang menimpanya kepada adik semata wayangnya itu. Wajahnya yang sedari tadi sudah kering, kini basah lagi oleh airmata yang mengalir.
" Jadi gitu ya, kak... ", Rita hanya mengangguk. Tak berkomentar sedikit pun.
" Kak, kalo menurut Reza, kakak tuh nggak salah kok. Reza justru bangga lho, punya kakak seperti Kak Rita. Kakak tuh baik, kakak mau mengakui kesalahan kakak walaupun kakak tau resikonya amat besar. Reza salut lho sama kakak ", ucap Reza tersenyum, dan itu membuat hati Rita sedikit lega.
" Makasih ya, dik ", ujar Rita, dengan suasana pikiran yang masih saja kacau.
" Sama – sama, kak. Ehh kakak mau nggak Reza bantu ngerjain tugas menganyam kakak? Kan dikumpulnya besok...", Reza menawarkan jasa.
" Nggak usah, dik! Lagian ini udah malem banget, jam 12. Entar besok kamu bangunnya kesiangan ", Rita menolak tawaran adiknya.
" Nggak papa kok, kak. Besok Reza masuk sekolahnya jam 9 pagi, kok. Tugas kakak kan belum selesai, masih banyak pula. Daripada kakak capek, yah mending Reza bantuin ", Rita akhirnya mengalah, kemudian tersenyum. Tak disangkanya, adiknya yang rewel dan bandel ini ternyata baik hati juga.
" Makasih ya, dik ", Rita kemudian melanjutkan mengerjakan tugasnya, dibantu oleh sang adik.

***

Rita terus saja berjalan di bawah awan yang putih. Suasana pagi ini begitu cerah, berbanding terbalik dengan keadaan hatinya yang gelap. Sesekali ia menguap dalam langkahnya, kemarin ia baru bisa tertidur pukul 1 dini hari, lantaran tugasnya yang menumpuk dan harus ia selesaikan. Kakinya terus saja berjalan menuju ke kelasnya, 2.1. Di sekolahnya itu, kelas 2.1, 2.2, dan 2.3 ialah kelas – kelas unggulan, yang hanya bisa ditempati oleh orang – orang yang mempunyai kemampuan di atas rata – rata. Ia sendiri pun heran, mengapa ia bisa duduk di kelas 2.1, padahal menurutnya otaknya sangatlah pas – pasan. Yah, mungkin saja pak kepala sekolah salah menuliskan nama waktu pembagian kelas, pikiran seperti itu sempat muncul di benak Rita.
Ia menghentikan langkah kakinya kala berhenti di depan kelas 2.2. Ya, di situlah kelas Amel, sahabatnya yang sedang mempunyai konflik dengannya. Ia mengintip sebentar ke dalam, belum ada orang. Terang saja, ini masih pukul 6 pagi. Siapa pula yang mau ke sekolah pagi – pagi buta begini, kecuali sang penjaga sekolah yang setiap hari harus stand by di tempat sebelum murid – murid datang. Karena tak ada orang, akhirnya Rita kembali melangkah menuju kelasnya yang berada tepat di samping kanan kelas 2.2. Ia mengucapkan salam lalu masuk, masih belum ada seorang temannya pun yang ia temui di kelasnya. Sendiri, yah...hanya Rita seorang diri di situ. Dingin menyapa kulitnya yang kecoklatan, menusuk setiap lapisan epidermisnya. Ia mengambil tempat duduk paling belakang tepat di bagian pojok kanan, tempat yang merupakan sangat strategis bagi Rita. Kemudian ia mengeluarkan alat tulisnya satu persatu, lalu mulailah tangannya menari – nari di atas lembaran putih itu. Coretan angka – angka bercampur kumpulan huruf abjad memenuhi kertas yang mulai dihiasi tinta hitam tersebut. Matematika. Ya, Rita sibuk menyelesaikan tugas matematikanya yang sempat tertunda karena ketiduran semalaman.
Jam menunjukkan pukul 7 tepat. Siswa – siswa mulai berdatangan ke sekolah. Suasana di kelas Rita pun agak mulai sedikit ramai. 30 menit lagi bel akan berbunyi, dan itu artinya pelajaran akan segera di mulai. Tugas matematika yang sedari tadi ia kerja telah selesai. Segera Rita membereskan buku – bukunya yang berserakan, kemudian memasukkannya ke dalam tas ranselnya yang berwarna hitam, warna favoritnya. Entah kenapa ia sangat menyukai warna itu, mungkin karena selain warnanya klasik, ada aura tersendiri yang tersembunyi di balik lambang kegelapan itu, dan sangat sesuai dengan apa yang bersemayam dalam dirinya. Yah, mungkin saja seperti itu.
" Rit, loe lagi ada masalah, kan, sama Amel? ", Dira mengambil tempat duduk tepat di sebelah Rita, memulai pembicaraan yang sangat tidak ingin ia bahas pada saat itu.
" Yah...seperti yang loe liat status gue di facebook semalaman sama dia...", Rita sibuk mencari – cari pulpen yang tadi dipakainya.
" Fasli tau soal ini? ", Dira bertanya seraya menyalin PR matematika milik Alvian, yang baru saja ia pinjam.
" Maybe...",
" Trus, Fasli bilang apa? Rit, kalo ngomong jangan setengah – setengah dong. Gue jadi bingung nih! ", Dira menutup buku tulisnya. Hanya 1 nomor saja ia merasa kesulitan untuk menjawab, dan sama sekali tak mengerti dengan maksud soal tersebut. Terpaksa ia menyalin tugas milik Alvian, satu – satunya murid yang pintar matematika di kelasnya.
Rita akhirnya menemukan pulpen yang sedari tadi di carinya, ternyata terjatuh di bawah bangkunya. Ia kemudian menghentikan aktivitasnya, menatap Dira sejenak, lalu menarik nafas perlahan dan menghembuskannya melalui rongga hidungnya. Rita pun mulai bercerita, dengan sedetail – detailnya ia menjelaskan semuanya kepada sahabatnya yang satu itu. Ada sedikit jeda ketika secara tak sadar ia menangkap sosok Amel yang masuk ke kelasnya. Sepertinya ia mengembalikan novel milik Tia. Yah, mungkin begitu. Rita kembali melanjutkan ceritanya, Dira yang sedari memperhatikannya hanya mengangguk tanda mengerti. Sesekali ia berpikir, sepertinya mencari jalan keluar atas apa yang menimpa Rita.
" Rit, masalah loe runyam banget. Gue nggak habis pikir kalo kejadiannya bakalan jadi seperti ini. Loe yang sabar, ya...", senyuman Dira sedikit mencairkan hati Rita, walau tidak sepenuhnya.
" Iya, makasih ya, atas perhatian loe. Gue nggak nyangka, masih ada aja orang yang mau ngertiin pembohong macam gue...", Rita menunduk malu. Pembohong, munafik, pecundang, yaa....julukan – julukan itu sangat pantas untuk diberikan kepadanya.
" Ssst...Rit, loe jangan ngomong kayak begitu. Nggak sepenuhnya loe salah, dan wajar aja kalo Amel marah, mungkin untuk saat ini dia belum bisa terima kenyataan. Tapi gue yakin, perlahan tapi pasti, dia pasti mau kok, maafin loe. Percaya deh, sama gue ", Dira seolah memberi Rita sebuah sandaran.
" Yah, perkataan loe ada benarnya. Sekali lagi, thanks ya, Dir. ", Rita tersenyum cerah, Dira pun begitu. Berderingnya bel mengakhiri pembicaraan mereka. Tak lama kemudian, Bu Ati memasuki kelas untuk membawakan materi pelajaran Matematika.

***

Krriiiiiingggggg!!! Bel panjang berbunyi, dan itu tandanya pelajaran hari ini telah usai. Murid – murid bergegas merapikan buku – bukunya, kemudian kembali ke rumah masing – masing. Begitu pula dengan Rita, namun saat ia baru saja melangkahkan kakinya keluar kelas, ia dicegat oleh Amel. Jantungnya berdegup kencang, seakan berhadapan dengan makhluk paling menakutkan di dunia. Bibirnya kaku, tak mampu berucap kata sepatah pun. Tatapan mata Amel yang tajam seketika membunuh perasaan Rita yang berkecamuk dalam dadanya. Ia ingin lari, namun tangannya di genggam erat oleh Amel. Terpaksa Rita berdiam diri di tempat, layaknya orang dungu yang yang tidak bisa berbuat apa – apa.
" Rit, gue mo ngomong sama loe. Kita ngobrolnya di kantin aja! ", Rita hanya mengangguk. Amel pun berbalik kemudian berlalu, Rita mengekor dibelakangnya. Kakinya seakan terasa berat untuk dia langkahkan. Akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan kemudian mengambil tempat duduk paling belakang tepat di sebelah kiri bagian pojok.
Amel mengambil kursi lalu duduk, kemudian memesan semangkuk bakso. Diikuti dengan Rita yang mengambil kursi tepat di hadapan Amel, lalu memesan satu porsi batagor, makanan kesukaannya. Tak lama setelah itu, Amel pun memulai pembicaraan.
" Rit, gue udah pikir matang – matang semuanya. Mungkin secara perlahan, gue bisa nerima kenyataan. Gue juga nggak mau kalo persahabatan kita rusak karena persoalan ini. Mungkin.......", pembicaraan terhenti kala pesanan telah datang menghampiri mereka. Sedikit terganggu, namun mereka tak ingin menampakkan wajah kejengkelan yang tersembunyi dalam senyumannya itu demi menghormati sang pelayan agar tidak tersinggung.
Amel mencicipi baksonya, diikuti dengan Rita yang menyantap batagor kesukaannya. Setelah makanannya habis, segelas es jeruk diseruputnya dengan nikmat. Setelah merasa bahwa inilah saat yang tepat, Amel melanjutkan penjelasannya,
" Rit, mungkin gue bisa maafin loe..", ujar Amel tersenyum. Rita yang mendengar pernyataan tersebut spontan tersedak. Terkejut, tak disangkanya seorang Amel akan memaafkan perbuatannya yang nista itu. Rita kemudian mengambil segelas air putih, meneguknya secukupnya. Lalu menyambar sehelai tissue yang berada di samping piringnya, mengelap mulutnya yang sedikit kotor.
" Mel, lo nggak salah bilang, kan? ", Rita masih tak habis pikir dengan keputusan Amel.
" Buat apa coba, gue marah? Rit, gue nggak mau persahabatan kita berkahir. Gue nggak rela !",
" Gue tau itu, Mel. Tapi gimana dengan Fasli? ",
" Gue udah mutusin dia! " , amel tersenyum, tak ada wajah kemurungan yang terpancar dari sudut matanya.
" Hah? Loe serius? Trus, Fasli-nya bilang apa ke loe? "
" Yah...dia nerima keputusan gue. Dia juga nggak mau kalo gara – gara dia, persahabatan kita jadi rusak. Begitu katanya, ", Amel menjelaskan. Rita hanya menggut – manggut. Namun masih ada sedikit keraguan yang menyelimuti hatinya.
" Rit, kayaknya loe masih ragu, ya, dengan keputusan gue? ", tampaknya Amel bisa membaca isi kepala Rita. Rita hanya mengangguk.
" Rit, loe percaya deh, sama gue. Loe juga nggak mau kan kalo persahabatan kita rusak? Loe nggak mau kan, kalo persahabatan kita hancur? Rit, gue nggak mau kehilangan loe! ", seketika airmata Amel mengalir membasahi pipinya yang lembut.
" Mel, gue juga nggak mau kehilangan loe ", sebuah pelukan hangat Amel rasakan dari Rita. Tangisan bahagia menyerta mereka ke dalam indahnya sebuah persahabatan. Sang penjaga kantin yang sedari tadi memperhatikan mereka hanya diam seribu bahasa, tak mengerti dengan apa yang Rita dan Amel alami.
" Mel, thanks yah, loe udah maafin gue ", Rita melepas pelukan Amel. Sebersit senyuman menungging di pipinya.
" Iya, Rit. Gue seneng bisa baekan sama loe. Sumpah, Rit. Ini merupakan kado terindah di hari ulang tahun gue. Dan, yang ngasih itu loe, Rit. Persahabatan kita ", Rita tersenyum bahagia. Tepat hari ini merupakan hari ulang tahun Amel. Dan di hari ini pula, persahabatan mereka yang tertunda akhirnya berlanjut kembali.
" Mel, jalan yuk! Hari ini kan loe lagi ulang tahun, gue mau di hari ulang tahun loe yang ke-empat belas ini, kita lalui dengan senyuman ", Amel mengangguk setuju. Kemudian mereka pun berlalu meninggalkan tempat itu, meninggalkan masa lampau yang menghancurkan mereka, menyambut cahaya persahabatan yang indah.

Wednesday, October 28, 2009

Cerpen - Sahabat dan Cinta

Belakangan ini Niken terlihat kurang bersemangat datang ke sekolah, entah kenapa, tak seorang pun mengetahuinya. Terbukti, tak satu pun Pekerjaan Rumah yang bisa diselesaikannya dengan baik. Atau, biasanya ia melamun dalam kelas, sehingga membuat guru – guru merasa dongkol, dan tak tahan untuk melemparinya sebuah penghapus papan tulis. Tetapi ia tetap saja melakukan aktivitasnya yang aneh itu, melamun.
" Niken, coba kamu selesaikan halaman 73 soal nomor 4 mengenai trigonometri! ", Bu Mira membuyarkan lamunan Niken, membuat ia tersentak, dan segera mengambil buku cetak matematikanya dan mencoba mengerjakan soal tersebut sesuai perintah Bu Mira. Namun baru saja ia melihat – lihat isi soal tersebut, wajahnya pucat bukan main, ia sama sekali tak mengerti dengan materi trigonometri. Terpaksa ia berdiri terpaku dihadapan papan tulis putih itu yang masih bersih, tanpa ada coretan spidol yang menghiasinya.
" Kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak paham dengan apa yang saya perintahkan? ", Bu Mira yang dikenal guru paling 'angker' seantero sekolah itu mulai menatap tajam Niken yang berdiri terpaku.
" Mm..maaf bu, saya tidak mengerti isi soal ini ", Niken menunduk malu, sorot mata yang tajam itu tetap saja memperhatikannya.
" Kalau begitu...mana pekerjaan rumahmu? ", Niken segera kembali ke tempat duduknya kemudian mengambil buku PR matematikanya yang disampul warna hijau, dan ketika ia membuka halaman demi halaman, ia pun menemukan sebuah soal yang kemarin ia salin, tapi...astagaaa! Ia lupa mengerjakannya. Kini lengkaplah sudah perasaan tidak enak Niken, berkecamuk dalam hatinya.
" Mana tugas kamu? ", Bu Mira tampaknya menaruh kecurigaan terhadap muridnya yang suka melamun itu, kemudian dengan wajah lesu, Niken akhirnya berkata jujur pada guru matematikanya itu,
" Mmm..maaf bu, saya lupa mengerjakan tugas saya ", Niken menggigit bibirnya. Mungkin ia sudah mengetahui apa yang akan diperbuat Bu Mira terhadap dirinya. Dan dengan jari telunjuk menghadap ke tiang bendera, tampaknya Niken mengerti dengan apa yang diperintahkan Bu Mira. Tanpa dikomando dua kali, Niken berjalan menuju lapangan upacara, menghadap ke tiang bendera sambil hormat dengan kepala mendongak ke atas.
" Aduh Nik...loe kenapa lagi sih? Kemaren gue liat loe lari keliling lapangan basket, trus sekarang loe hormat nggak jelas di depan tiang bendera! Emang ada apa sih? Guru – guru pada doyan yaa ngerjain loe? ", Tias, sahabat Niken dari SD, mulai menaruh kecurigaan pada cewek berambut panjang itu. Niken hanya diam saja, tampaknya ia sedang malas untuk berbicara.
" Nik, loe kenapa sih? Tumben loe diem terus daritadi! Ada apa sih? Kalo loe ada masalah, cerita dong! Siapatau gue bisa bantu ", Tias mulai menawarkan jasa. Karena dibujuk terus, akhirnya Niken pun luluh.
" Gini, Ti, ehhm...gue naksir ama Dirga....", Niken pun jujur kepada Tias.
" Hah? Dirga? Loe naksir ama dia? ",
" Iya, tapi....please yahh loe jangan bilang siapa – siapa tentang ini. Pleasseee...!!!!! ", Niken memohon harap pada Tias.
" It's OK! Tapi...yang gue mo nanyain, apa hubungannya dengan loe sering ngelamun nggak jelas di kelas? Loe kan lagi 'falling in love', harusnya loe seneng! Lagipula kan Dirga sahabatan ma kita, jadinya loe gampang PDKT ama dia! Emang aneh, loe! "
" Ti...Reni juga naksir ama Dirga!!! "
" Hah? Reni...anak IPA 2, naksir ama Dirga? Loe kok tau? ", Tias bertanya heran.
" Gue tuh udah sering ngeliat Reni jalan berduaan ama Dirga, ke kantin bareng, pokoknya mereka sering sama – sama lah! ",
" Ohh...gitu...!!!! ", Tias hanya manggut – manggut. Tampaknya ia mulai mengerti.
" Ti...loe janji yahh...loe jangan bilang siapa – siapa tentang ini, apalagi ama Dirga. Please yahhh...!!!! ",
" Udahlah loe nggak usah khawatir. Gue janji, gue nggak bakalan bilang ke siapa – siapa tentang ini, tapi...untuk kali ini, loe aja yaah yang bayar ni makanan gue, OK? Gue cabut dulu yaah, bye!!! ", Tias kemudian berlari dari kantin sambil tersenyum jahil ke arah Niken.
" Tiiiiaaaasss......kuraaangg ajaarr loeee....!!!!!!!!! "
***
Siang itu, Niken tampaknya sibuk sekali. Ia mengemasi seluruh pakaiannya ke dalam sebuah koper hitam. Hari ini ia akan berangkat ke Medan, karena pamannya akan melangsungkan acara pernikahan. Tiba – tiba pintu kamarnya diketuk,
" Masuk aja, nggak dikunci kok, "
Tias pun memasuki sebuah kamar berukuran 8x5 meter itu, lalu menjatuhkan dirinya di atas spring bed milik Niken. Tias memandang Niken heran, lalu bertanya,
" Nik, loe mo kemana? ",
" Hari ini gue mo ke Medan. Paman gue mo kawin, yaahhh maybe gue nggak masuk sekolah 3 hari. Izinin gue yahhh, ntar gue kasih loe suratnya ", Niken masih tetap saja sibuk membereskan pakaiannya.
" Yaudah...itu mah masalah gampang! Pokoknya, loe nggak boleh pulang ke Jakarta kalo loe nggak bawain gue oleh – oleh! Deal? ", Tias mengancam, membuat Niken tertawa.
" Hahahaha...emang loe maunya apaan sih? ", Niken masih terus saja tertawa.
" Kalo bisa makanan....."
" Hahahaha...udah gue duga sebelumnya! Loe kan doyan makan, tenang aja gue bakalan bawain loe makanan! Tapi kalo loe kepengennya sekarang, tuhh di luar banyak batu! ", Niken melirik ke arah luar jendela, sambil tersenyum mengejek. Tias cemberut, membuatnya tak tahan untuk melemparkan bantal – bantal ke arah Niken yang masih saja tertawa.
" Hahahahahaha......"

***

Pada saat bersamaan di green's cafe...
" Ren...gue mo ngomong sesuatu ama loe...", Dirga menatap mata coklat cewek berambut lurus yang ada dihadapannya itu.
" Mo ngomong apaan, ga? ", cewek bernama Reni itu masih saja mengaduk aduk cappuccino yang sedari tadi menjadi bahan permainannya.
" Gue...mmm...gue...gue suka sama loe. Loe mau nggak jadi pacar gue? ", Dirga mengambil sebuah cincin lalu memasangkannya pada jari manis Reni, lalu kemudian Reni mengangguk tersenyum, seraya mengecup kening Dirga. Tanpa mereka sadari, salah seorang cewek berambut ikal dan mengenakan t-shirt merah memperhatikannya dari balik kaca jendela, lalu mengambil sebuah handphone dari saku celananya dan beberapa menit kemudian ia tampaknya sedang berbicara serius dengan seseorang yang menjadi lawan bicaranya di telepon.

***

" Wahh...Nik, oleh – oleh gue mana, nih? ", Dirga bertanya seraya menghambur – hamburkan isi tas Niken.
" Sabar dong, Ga! Buat loe ada kok, tenang aja! Nih, kaos buat loe! Gimana, keren nggak? ", Niken menyodorkan sehelai kaos hitam bermerek 'Ripcurl' tersebut pada Dirga.
" Waahh...keren banget, Nik! Serius nih, buat gue? Thanks yaa...", Dirga lalu mengambil kaos tersebut dari tangan Niken.
" Curaaaanggg....!!!! Bagian gue mana, Nik? Waah....nggak asik loe, " Tias ikut – ikutan menagih Niken.
" Nih, gue bawain boneka kesukaan loe, teddy bear! Gimana, loe suka nggak? "
" Waahhh....lucu banget! Buat gue nih? Thanks yahhh....",
" Mm...Nik, Ti, ada yang gue pengen omongin ama loe...", pernyataan Dirga barusan membuat Niken dan Tias menghentikan aktifitasnya sejenak.
" Gue....mmm....4 hari yang lalu, gue jadian ama Reni...", ucap Dirga sambil tersenyum senang.
" Loe...loe beneran jadian ama Reni? ", Niken mencoba meyakinkan.
" Iya! Masa loe nggak percaya, sih! Ohh iya...hari ini gue ada janji ma Reni, mo nemenin dia shopping! Yaudah....gue cabut dulu, ya! Bye....", Dirga lalu keluar dari kamar Niken, setelah itu, Niken hanya terduudk lemas, wajahnya memancarkan raut kesedihan yang sangat mendalam.
" Loe bener, Ti. Semua yang loe ceritain ke gue yang waktu loe di green cafe itu bener, Dirga jadian ama Reni...", perlahan butiran – butiran airmata jatuh membasahi pipi Niken.
" Nik, loe yang sabar, yaah! Gue tau kok, perasaan loe sekarang kayak gimana. Ya udah lahh...mungkin Dirga emang nggak pantes buat loe....", Tias berusaha untuk menghibur sahabatnya itu.
" Tapi Ti, gue sayang banget ama Dirga. Perasaan gue ke dia itu, lebih dari sekedar sahabat, Ti. Gue juga nggak nyangka, kenapa gue bisa jatuh cinta ama dia...",
" Udah lah, Nik. Gue tau loe cinta ama Dirga, tapi mo gimana lagi? Emang takdirnya loe ama Dirga itu, diciptain nggak lebih dari sekedar sahabat, "
Niken terdiam. Tias pun begitu. Keduanya larut dalam pikirannya masing – masing, entah apa yang mereka pikirkan....

***

" Nik, loe udah nyelesain tugas kimia, belum? ", Dirga menghampiri bangku Niken yang terletak di sudut kanan belakang.
" belum...", Niken menjawab cuek.
" Ohh...ehh Nik, gue punya tiket konsernya Pee Wee Gaskins nih, loe mau nggak? ", Dirga meyodorkan sebuah tiket konser pada Niken.
" No, thanks! ", Niken kemudian pergi meninggalkan Dirga yang masih saja berdiri terpaku, membuat seorang Dirga Saputra terheran – heran.
Niken berjalan menuju arah taman sekolah. Ya, kalau sedang BT, biasanya Niken ke sini. Tumben tempat ini sepi, pikir Niken. Mungkin siswa – siswa yang lain sedang pergi ke kantin, ini kan sudah jam istirahat.
" Nik, loe ngapain di sini? ", tanpa di duga – duga, Dirga datang menghampiri Niken.
" Seharusnya gue yang nanya ke loe, ngapain loe disini? ", Niken bertanya galak.
" Yahh....gue nyariin loe ",
" Nyariin gue? Apa loe nggak salah? Udah sana pergi, gue lagi nggak mau digangggu! ",
" Nik, loe kenapa sih? Belakangan ini gue perhatiin, loe tuh kayaknya sensi banget deh...", Dirga lalu duduk disamping Niken yang masih saja cemberut.
" Emang penting ya, buat loe tau? ", Niken bertanya balik.
Belum sempat Dirga berbicara, tiba – tiba mucullah Tias, membuat Niken dan Dirga terdiam.
" Nahh...ternyata loe berdua ke sini! Ngapain sih, loe? Gue cariin loe ke kantin, nggak ada! Ke perpustakaan juga, nggak ada! Dasar kalian tuh emang aneh! ", semprot Tias lalu mengmbil salah satu kursi kemudian duduk di samping Dirga. Tapi Dirga malah diam. Niken pun begitu, tiba – tiba Niken berdiri, tanpa menatap Dirga ataupun Tias.
" Ti, gue cabut dulu, yah! Gue mo ke koperasi, mo beli pulpen ", ucap Niken kemudian pergi meninggalkan Tias dan Dirga yang masih bengong di tempatnya, terlebih Dirga.
" Ti, Niken kenapa, sih? Akhir – akhir ini kok sikapnya dingin banget ke gue? Apa gue punya salah ama dia? ", Dirga mencoba bertanya kepada Tias.
" Udah tau, nanya pula! Wajar lahh kalo belakang ini sikap Niken berubah ke loe, emang loe punya salah besar ke dia ", Tias mencibir.
" Masa sih? Emang gue salah apaan sama dia? ", Dirga mencoba untuk menginstropeksi dirinya.
" Yaiyalah...Niken tuh suka ama loe, ga! Pas dia tau kalo loe jadian ama Reni, dia tuh cemburu banget! Uupppss........", Tias lalu mengatup mulutnya. Tanpa sadar, ia telah membocorkan sesuatu hal yang tidak pantas untuk diketahui Dirga.
" Ga, sorry yahh...gue mo ke toilet dulu! Kebelet nih....", Tias lalu pergi meninggalkan taman itu. Kini tinggallah Dirga seorang diri, yang masih terkejut dengan pernyataan Tias barusan.

***

" Nik, gue mo ngomong sesuatu sama loe ", Dirga lalu menarik tangan Niken, membawanya ke halaman belakang sekolah.
" Ga, apa – apaan sih, loe! Ga, lepasin tangan gue! ", Dirga pun melepas genggaman tangannya, lalu terdiam. Ia menarik nafas panjang, kemudian mencoba untuk menenangkan diri.
" Nik, sekarang gue udah tau semuanya. Kenapa akhir – akhir ini sikap loe dingin ma gue, kenapa loe jutek banget ama gue, pokoknya gue udah tau semuanya. Sekarang gue minta penjelasan loe, apa bener, loe suka ama gue? Dan loe marah, karena gue jadian ama Reni? ", Dirga menyerang Niken dengan berbagai macam pertanyaan.
" Sok tau loe, Ga! ", Niken mencoba untuk menutupi semuanya.
" Gue harap loe mo jujur ke gue, Nik! ",
Niken pun terdiam. Mulutnya seakan terkunci untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya pada Dirga.
" Nik....",
" Iya, Dirga! Emang bener! Gue emang cinta sama lo, perasaan sayang gue ke loe lebih dari sekedar sahabat. Dan begitu gue tau kalo loe jadian ama Reni, gue marah! Gue cemburu, Ga. Gue cemburu! Tapi gue bisanya apa? Di mata loe, gue cuma sekedar sahabat loe aja....", mata Niken pun mulai berkaca – kaca. Perlahan demi perlahan, airmatanya jatuh membasah wajahnya yang polos itu.
" Gue ngerti kok, Nik, gue ngerti perasaan loe. Tapi, sorry banget, gue nggak mungkin ninggalin Reni demi loe, karena perasaan sayang gue ke loe, nggak lebih dari sekedar sahabat. Sorry, Nik..." ,
" Iya, Ga. Gue tau kok. Tapi gue janji, gue bakalan ngelupain loe....",
" Gue yakin loe bisa, Nik. Loe pasti bisa nemuin cowok yang lebih baik dari gue...",
" Iya, Ga. Maafin gue. Nggak seharusnya gue marah sama loe...",
" Udahlah...nggak apa – apa kok, Nik. Gue ngerti kok perasaan loe. Tapi, persahabatan kita tetap seperti dulu, ya? Gue nggak mau kalo loe terus – terusan marah ama gue...",
" Tenang aja, gue udah nggak marah, kok. Mungkin gue udah bisa nerima kenyataan...", Niken lalu tersenyum ke arah Dirga sambil menghapus airmatanya.
" Nahh...gitu dong! Ehhh...ngomong – ngomong, loe udah makan belum? Ke green's cafe, yuk! Tar gue trkatir...", ucap Dirga sambil menyalakan mesin motornya. Kemudian Niken mengangguk tersenyum, dengan sekejap mereka telah melupakan tragedi menyakitkan barusan.

***

" Pagi, Niken! ", sapa Tama, sang ketua OSIS ketika melihat Niken sedang berada di depan kelasnya.
" Pagi juga, Tama! ", balas Niken tersenyum. Kalau diperhatikan, Tama ini memang cakep. Postur tubuhnya yang tinggi, rambutnya yang jabrik serta wajahnya yang manis, membuat ia menjadi 'the most of the wanted boy' di sekolahnya. Apalagi dengan jabatannnya sebagai ketua OSIS dan kapten basket, membuat semua cewek – cewek seantero sekolahan tergila – gila dengannya. Tek terkeculi Niken, belakangan ini ia sering memikirkan cowok idaman para cewek – cewek itu.
" Nik, malam ini loe ada acara nggak? ", Tama kemudian memulai pembicaraan pada cewek yang ada di depannya itu.
" Nggak ada, emang kenapa? ",
" Malam mingguan, yuk. Sekalian nonton konsernya Pee Wee Gaskins. Mau nggak? ",
Niken seakan tidak percaya. Malam ini ia akan nge-date bersama cowok sekeren Tama, tentu saja ia menerima ajakan tersebut dengan sepenuh hati.
" Ya udah....tar jam 7 malam gue jemput loe, ya! Bye...", Tama lalu meninggalkan Niken yang masih saja tak percaya dengan kejadian barusan.
" Ti...ngapain loe bengong di depan pintu? Pamali, tau! ", kehadiran Tias membuat lamunan Niken buyar.
" Ohhh...eehhh..nggak kok. Ehh...entar malem gue mau nge-date ama Tama, lhoo...! ", ucap Niken menggebu – gebu, membuat sahabatnya menaruh kecurigaan terhadap seorang Niken Astianti.
"Hhhmm.....gue curiga nih, ama loe. Apa jangan – jangan, loe mulai naksir, ya, ama Tama? Ngaku aja deh, loe! ", Tias sepertinya tahu apa yang sedang Niken pikirkan.
" He-ehh...apa – apaan sih loe, Ti? ", Niken mencoba untuk menutupi rasa malunya.
" Alaaahhh....nggak usah bohong deh Loe, Nik! Emang bener, kan? Gue tau kok! ", Tias kemudian tertawa sambil terus mempermalukan Niken.
" ssstt.....ngomongnya jangan keras – keras dong, Ti! Ntar kalo ketahuan orangnya kan bisa gawat!!!!! ",

--SELESAI--

Saturday, October 10, 2009

Cerpen - Pacarku Penghianat

Siang itu aku sedang berada di sebuah taman, mataku tertuju pada kendaraan – kendaraan yang terparkir secara seri di hadapanku itu. Taman ini sangat sejuk, bebas rokok, pepohonan yang rindang turut memperindah suasana taman ini. Kursi – kursi tertata rapi, serta jarang ku temukan sampah – sampah yang berserakan. Diam, sepi, sunyi, Aku suka tempat ini! Disini aku bisa menangis sepuasnya, tanpa seorang pun yang berani menggangu. Burung – burung berkicau melantunkan lagu – lagu indah, menghibur setiap para insan yang hatinya sedang dilanda gundah. Bunga – bunga bermekaran semakin membuat tempat ini terlihat asri. Refleks kejadian 2 hari yang lalu terbayang di pikiranku,
" Ehh, liat tuh, si Rika! Ngapain coba, dia megang – megang tangannya Tora. Gatal banget sih! ", Kian yang duduk di sampingku segera membuat heboh seisi kelas.
" Lho...Re, loe kok diem aja! Tora itu kan cowok loe. Masa loe tega sih ngebiarin tangan cowok loe di pegang – pegang ama cewek laen? Apa loe nggak marah, Re? ", Misa yang duduk dibelakangku mengagetkanku. Ku lihat dari balik jendela, memang benar. Aku hanya menatapnya geram, tak bisa berbuat apa – apa karena guru biologi di kelasku sedang memeriksa tugas – tugas kami.
" Idiih...Tora-nya juga nggak mau ngelepasin lagi! Buaya banget sih jadi cowok. Re, loe jangan tinggal diam gitu dong! ", Fia ikut – ikutan heboh.
" waouw...bakalan ada perang hebat nih! ," teman – teman yang lain turut meramaikan suasana.
" Rere, loe kenapa sih? Kok daritadi diem aja! Re, loe sakit ya? Rere...", belum sempat Mimi selesai bicara, aku yang sedari tadi memperhatikan adegan tersebut spontan melempar buku tugas biologiku yang berwarna kuning itu ke lantai. Entah apa yang berada di pikiranku saat itu, kacau!
" Ada apa ini? Kenapa kalian ribut – ribut? ", suara Pak Syahru membuat tenang seisi kelas.
" Ngg...maaf pak. Buku saya tadi terjatuh. Sekali lagi...maaf pak ", terpaksa aku berbohong pada guru biologiku itu. Pak Syahru hanya menggeleng, sepertinya ia tak peduli dengan kejadian barusan. Terbukti, ia masih saja sibuk memasukkan nilai tugas – tugas kami ke dalam daftar nilainya.
Tak terasa bel pulang pun berbunyi, aku segera menghambur keluar kelas mencari sahabatku, Nindy, 9.1. Akhir – akhir ini aku dan Nindy sering pulang bersama. Biarpun jaraknya jauh, tapi biaya transportasinya lebih murah, begitu kata Nindy. Sedang teman – temanku yang lain sedang sibuk mencari murid kelas 9.3 yang bernama Rika itu. Tapi aku tak peduli, bodoh amat!
" Ahh...Rika itu emang nyebelin. Gini nih ya, gue pernah ketemu ama dia di warnet. Nah waktu itu kan warnetnya lagi full, gue aja yang pengen browsing terpaksa harus nunggu. Tiba – tiba si Rika itu datang ama temen – temennya, dia nanya ke gue, warnetnya full ato nggak. Yaah gue bilang full. Tapi dia tetep nekat masuk ke dalam. Pas keluar, dianya langsung marah – marah ke gue. Katanya tadi gue bilang kalo warnetnya nggak full. Nah lho? Orang gue bilang full! Tu anak bego apa tuli, sih? Yaa gue langsung semprot aja tuh anak, rese banget. Waktu ngomel – ngomel juga gayanya alay banget deh, ihh illfeel gue ama dia ", Rani yang juga teman sekelasku di 9.2 ikut – ikutan nimbrung.
" haha bego banget sih tu anak, " teman – teman yang lain tertawa setelah mendengar cerita Rani barusan. Aku cuma diam aja, malas ngomong. Aku mau pulang, tapi keburu ditahan sama teman – temanku yang ada di situ. Nyuruh Rika minta maaf, katanya.
" Ohh...jadi loe yang namanya Rere? Pacarnya Tora? ", tanya Rika menghampiriku.
" Kalo iya emangnya kenapa? ", jawabku ketus.
" Gini yahh...kejadian tadi tu cuma maen – maen aja. Gue ama Tora lagi bercanda, makanya gue megang tangannnya, " jelas Rika kepadaku.
" Ohh...gitu. Yaudah...", kataku acuh.
" lagipula...gue juga nggak mungkin mo ngerebut Tora dari loe. Gue juga nggak tau kalo Tora itu pacar loe ",
" Iya...yaudah kalo gitu," kataku cuek. Tiba – tiba Tia yang berada dibelakangku langsung menyemprot Rika.
" Ehh...loe gimana sih? Udah tau salah...kok diem aja? Minta maaf gih, ama temen gue! ",
" Yaudah...gue minta maaf ama loe ", Rika mengulurkan tangannya dengan kasar.
" Ehh...ikhlas nggak sih loe, minta maaf ama gue? Kasar banget, sih! ", emosiku kembali meluap.
" Iya dehh...gue ikhlas minta maaf ama loe, "
" Yaudah kalo loe ikhlas, gue juga ikhlas maafin loe. And gitu juga sebaliknya ", aku pun menyambut uluran tangan Rika, kemudian di pergi.
" Re...gue minta maaf ama loe ", Tora kemudian langsung menghampiri aku yang mencoba untuk menenangkan emosiku.
" Iya...", jawabku singkat tanpa melihat ke arahnya.
" Re...loe maafin gue kan? ", Tora bertanya lagi.
" Gue bilang iya, yahh iya! ", kataku menahan emosi. Ku lihat Sutejo, Panjul, dan teman -teman yang lain sedang sibuk menaruh pot – pot bunga di dekatku. Kayak gue mau mati aja, pikirku dalam hati.
" Hehhh...Tejo! Itu kan pot bunga kelas gue! Nah loe Panjul, ngapain loe ambil trus loe naruh disitu? Balikin nggak, pot bunga gue! ", Nindy setengah emosi berusaha mencegah tingkah laku Sutejo.
" Biarin...ahh...peduli amat gue!," Sutejo dan Panjul mencibir. Mereka pun saling beradu mulut, dalam hati aku tertawa melihat tingkah konyol mereka.
" Re...loe kok diem trus? Re...sorry banget yaah...gue minta maaf banget ke loe, sumpah tadi itu cuma main – main aja...swear! ", Tora memohon harap padaku, senyum yang sedari tadi menunggging di bibirku lenyap sudah, berganti dengan amarah yang meluap – luap dalam diriku.
" Loe maunya apa sih? Tadi gue bilang iya, yah iya! ", jawabku penuh emosi kemudian berlalu meninggalkan tempat yang menurutku neraka jahannam ini. Hingga akhirnya sampailah aku di taman ini, tempat yang penuh dengan kesunyian. Aku merasakan, ada seseorang yang mengikutiku dari belakang, entah siapa. Sekitar 10 menit aku disini, barulah seseorang itu datang menghampiriku. Risa, untuk apa dia datang kemari? Dia kok tau kalo gue ada disini? Apa dia ngikutin gue? Batinku dalam hati.
" Re...loe nggak pulang? ", Risa bertanya lalu duduk di sampingku.
" Males ahh...gue masih mau disini! ", jawabku ketus.
" Ngapain juga loe disini? Percuma tau...nggak ada gunanya! Lagian apa pikiran loe bisa tenang kalo loe disini trus? "
" Bisa kok ", aku memandang lurus ke depan, tak menatap wajah Risa sedikit pun.
" Terserah kalo itu mau loe! Tapi apa loe nggak kasian sama bonyok loe? Apalagi bokap loe! Masa sih di hari ulang tahunnya bokap loe, loe malah bikin dia pusing nyariin loe? Harusnya loe bisa nyenengin dia, bukan malah nyusahin! ", Risa terus saja membujukku untuk pulang ke rumah. Aku terdiam. Tak bisa berkata apa – apa. Bener juga yang dibilang Risa, pikirku dalam hati.
" Emang sampe kapan sih loe disini terus? "
" Sampe perasaan gue bisa tenang! ", jawabku singkat
" Tau nggak loe bakalan diapain ma nyokap loe kalo loe sampe pulang kemaleman? "
" Paling diomoelin! "
Risa menghembuskan nafas kecewa. Nampaknya usaha yang ia lakukan untuk membujukku pulang ke rumah sama sekali tak ada hasil. Nihil.
" Ya sudah deh kalo itu mau loe, gue turut prihatin juga. Kalo gitu gue pulang duluan, yah! Dah sore nih, ntar dicari ma nyokap gue. Loe hati – hati yah disini, bye! ", Risa kemudian pergi meninggalkanku. Ku lihat dua sosok manusia bersembunyi dibalik pohon beringin yang sejuk itu. Tika, Lestari. Ngapain dia? Tapi aku tak peduli, mataku terus saja menatap air mancur yang kering dihadapanku. Burung – burung terbang rendah, seraya melantunkan lagu – lagu indahnya. Hari semakin sore, sebentar lagi matahari akan terbenam di ufuk barat. Saatnya untuk pulang. Aku kemudian meraih tas ku lalu berjalan meninggalkan taman yang penuh dengan keindahan itu.

***

" Re...ada yang gue mo omongin ma loe. Penting banget!!! ", Panjul setengah berbisik memanggilku saat aku sedang sibuk menyalin rumus matematika yang tertera di papan tulis.
" Ngomong apaan sih? Bentar aja ya, ntar kalo gue ketahuan Pak Komar ada di bangku loe, bisa apes gue! ", jawabku pelan.
Kriinggggg.......!!!!!!!!! Bel panjang berbunyi, pertanda pelajaran hari ini telah usai. Segera ku bereskan buku – bukuku, kemudian tak lupa memeriksa laci bangkuku, siapa tahu ada barang yang ketinggalan. Kemudian ku teringat kata – kata Panjul barusan, maka segera ku hampiri bangku Panjul.
" Jul...loe mo ngomong apaan sih? ", tanyaku tanpa basa – basi
" Tapi loe jangan marah, ya? Lagian...gue ngomong beneran kok. Gue juga nggak ada maksud bikin loe sakit hati ",
" Iya...tapi loe mo ngomong apaan sih? Cepetan gih...gue mo pulang nih! ", kataku sambil melirik arloji hitam di tangan kiriku. Pukul 13.15, matahari sudah ada di atas kepala.
" Gini nih ya...kemaren tuh si Rika cerita ama gue, katanya dia abis telfonan gitu deh ama Tora. Pasa gue tanya mereka ngomong apaan, ehh dia nggak mau ngasih tau. Rahasia katanya. Gitu....",
Perasaanku yang sedari tadi sudah stabil, kini memuncak lagi. Pikiranku kalang kabut, tekanan darahku mulai meninggi. Ku rasakan hawa panas menyelimuti diriku, diiikuti dengan amarah yang memuncak dalam jiwaku.
" Penghiaaanaaatttttt......!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! ", kataku berteriak memecah keheningan. Amarahku sudah tak lagi tertahan, segera aku berlari menuju ke suatu tempat yang ku kunjungi 2 hari yang lalu. Taman itu. Iya. Mungkin perasaanku akan lebih baik jika aku pergi ke sana. Segera ku raih handphone ku lalu ku tulis sebuah pesan singkat.

Thanks atas smua yg udah loe beriin ma gw. Loe jga udh ngisi hari2 gw dgn cnta dan ksh syg yg loe kasih ke gw. Mgkn gw bkan yg trbaik untk loe, dan loe jga bkan yg trbaik untk gw. Kta udh nggk ccok lgi, ckup hbngan kta berkahir smpe dsni aja. Thanks bwt smuany...
Sending Message...

Aku menghembuskan nafas, mencoba untuk tenang. Segera aku duduk di salah satu kursi panjang yang berada di taman ini. Ku tutup wajahku dengan kedua telapak tanganku, kemudian beristighfar. Mataku menatap sepasang sahabat yang berada tak jauh dariku, kira – kira 10 meter dari tempatku duduk. Getaran handphone-ku yang ku taruh dalam saku rokku, tiba – tiba mengagetkanku. Sebuah pesan singkat, dari Tora.

Ehh loe serius? Kalo itu mw loe sih, trserah, gw baik2 aj kok. Yg pntg kta nggk saling musuhan....
Glegarrr....!!!! Seakan petir menyambar tubuhku, tentu saja aku kaget dengan apa yang barusan dia katakan. Baik – baik saja? Dengan santainya dia mengatakan 'baik – baik saja?'. Berarti dia memang ingin hubunganku dengannya segera berakhir. Aku terduduk lesu, masih tak percaya dengan perkataannya. Kalau memang dia mencintaiku, kalau memang dia benar – benar sayang denganku, tidak mungkin segampang itu dia berbicara. Pasti dia menanyakan terlebih dahulu alasan mengapa aku segera memutuskan hubungan dengannya. Tapi ini? Dia malah membiarkanku, dan sama sekali tak mau peduli dengan perasaanku? Tanpa terasa butiran – butiran airmataku terjatuh, dan sepertinya langit juga turut merasakan apa yang sedang ku rasakan saat ini. Terbukti, tetesan – tetesan hujan perlahan membasahi tubuhku. Aku berjalan di atas aspal yang basah, dibawah langit yang mendung, ditemani dengan hujan dan angin. Dingin menyelimuti tubuhku, namun aku tak peduli. Dalam derasnya hujan ini, aku menangis. Hingga aku tak lagi bisa membedakan airmata dan air hujan yang menyatu di wajahku. Sungguh, aku sama sekali tak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Orang yang selama ini aku cintai, orang yang selama ini aku sayangi, orang yang selama ini menjadi pendamping dalam hari – hariku, tega berbuat seperti ini kepadaku? Jadi...kebersamaanku dengannya selama 1 bulan 7 hari itu hanyalah semu? Sama sekali tak berarti apa – apa? Aku pun mulai menyesali semuanya. Tapi apa boleh buat...aku sudah terlanjur larut ke dalam permainan cinta ini.

***

" Brengsek!!! Keparattt...!!!! Sialan tuh si Tora, bentar lagi bakalan mampus tuh anak! Gue baru liat kemaren di facebook, dia ngatain gue anjing betina, lagi! Shit! Emang gue salah apa sih ma tuh anak? Liat aja...abis pulang sekolah, mampus dia! ", dengan nada berapi – api Sutejo mengeluarkan kata – kata yang sangat tidak pantas. Aku, Panjul, Andra, dan teman – temanku yang lain hanya mengangkat bahu. Pasrah dengan apa yang terjadi sebentar siang.
" Tejo, please deh...loe jangan main hakim sendiri gitu dong! Yahh si Tora tuh emang salah, tapi setidaknya loe bisa mikirin ini semua. Masalah itu...kalo diselesaikan pake otot, nggak bakalan ada abisnya! ", Nindy mulai memberikan solusi.
" Alahh...tebas aja langsung, Tejo! Kalo perlu, loe bunuh aja sekalian! Emang dasar tuh anak suka nyari masalah! ", Panjul malah memanaskan suasana.
" Jul...loe jangan gitu dong! Ntar kalo Sutejo masuk BK, kan bisa ribet jadinya! ", Andra ikut – ikutan menimpal.
" Pokoknya nggak ada alasan yang bisa bikin gue berubah. Gue tetep niat mo hajar tuh anak, biar dia tau rasa! Dasar bencong keparat! ", Sutejo tampaknya sudah tak bisa dicegah lagi. Keputusannya untuk menghajar Tora seusai pulang sekolah nanti, memang benar – benar tidak bisa diganggu gugat.
" Tejo...please loe jangan gitu dong! Berkelahi itu nggak baik, Tejo! ", aku yang sedari diam saja, mencoba untuk membujuk Sutejo agar ia mengurungkan niatnya.
" Sudah...biarin aja Tejo nyelesain semuanya, toh dia bakalan puas kalo keinginannya terpenuhi. Biarin aja lah...", Alam berbicara setengah berbisik padaku.
" Tapi kan Tejo teman kita juga? Masa kita tega sih ngebiarin dia ngelakuin hal yang nggak – nggak ? ", aku mulai curiga pada temanku yang satu ini.
" Bukan begitu...dia kalo punya keinginan yahh mesti diturutin. Kalo nggak bakalan ribet jadinya. Ya sudah biarin aja, biar dia puas! "
" Ya sudahlah kalo begitu...", aku mengangguk pasrah. Dalam hati aku khawatir dengan tragedi sepulang sekolah nanti. Sahabat v.s Mantan Pacar.
" Re...gue mo ngomong ama loe! ", Kian kemudian menarikku ke luar kelas. Dari raut wajahnya, tampaknya Kian sedang serius.
" Ngomong apaan sih, Ki? ", tanyaku memulai pembicaraan.
" Gini ya...kemaren gue sempet online, pas gue buka facebook-nya Ruli, gue baca statusnya, gue liat semua comments-nya, trus gue juga sempet baca wall-nya, kayaknya Ruli bakalan back sama Tora deh...", Kian mulai bercerita.
" Back??? ", kataku tidak percaya.
" Iya...tapi loe jangan emosi dulu. Mungkin aja yang dia maksud tuh bukan Tora...",
Segera ku ambil handphone-ku lalu menuju ke aplikasi opera mini, aplikasi web yang memudahkan pengguna untuk mengakses internet secara cepat dan mudah melalui mobile. Langsung ku masukkan URL facebook, kemudian log in dengan email dan password yang kumiliki. Pada kotak pencarian, segera ku tulis RULI ANASTASIA. Setelah akun milik Ruli terbuka, ku lihat statusnya beserta komentar – komentar yang diberikan padanya. Sudah jelas...itu untuk Tora. Setelah ku log out akunku, segera ku menuju kelas 9.1, menemui Nindy.
" Nin...ada yang gue mo omongin mo loe. Tapi bentar aja....kalo loe udah nyelesain tugas loe ", kataku sedikit lesu.
" Ohh...OK lah! ". Aku kemudian menuju ke kelasku, dan emosiku pun tak lagi bisa tertahankan,
" Cowokkkkkkk Brengsekkkkkk........!!!!!!!!! ", kataku berteriak, membuat orang – orang yang ada di kelasku terheran – heran.
" Re...kenapa loe? ", Sutejo, Ancha, Fahri, dan teman – temanku yang lain menghampiriku.
" Tejo...gue mo ngomong sama loe...", kataku menarik tangan Sutejo, membawanya keluar kelas.
" Loe mo ngomong apaan sih? ", Sutejo bingung dibuatku.
" Loe mau nggak nolongin gue? ", aku balik bertanya.
" Nolongin apaan? ",
" Loe jadi nggak berantem ama Tora abis pulang sekolah? "
" Iya...emang kenapa? "
Aku pun membisikkan sesuatu di telinga Sutejo. Sutejo hanya mengangguk pelan, tampaknya ia mengerti dengan apa yang baru saja ku katakan. Kemudian kami pun kembali ke kelas, dengan senyum sinis yang tersungging di bibirku.

***

" Re...loe di panggil ama Nindy, tuh! ", Panjul memberiku isyarat agar segera mengunjungi kelas 9.1. Lewat jendela, Nindy berbicara denganku.
" Re...mo ngomong apaan? ", Nindy memulai pembicaraan.
Seketika raut wajahku berbalik menjadi 180 derajat. Sedih, kecewa, tampaknya Nindy bisa membaca pikiranku.
" Tora? "
Aku terdiam. Mataku mulai berkaca – kaca. Nindy semakin membujukku agar aku menceritakan semuanya.
" Tora...Tora...kayaknya Tora bakalan back sama Ruli! ", kataku menahan tangisan.
" HAHHHH????? loe tau darimana? ", Nindy terkejut membelalakkan matanya.
" Buka aja akun facebook-nya Ruli....", kataku pasrah.
Nindy terdiam. Aku pun begitu. Suasana hening. Semua terlarut dalam pikirannya masing – masing.
" Dasar brengsek tuh si Tora! Berani banget dia mainin sahabat gue! Kampret tuh anak! Jahat banget sih, dia! Udahlah Re, loe yang sabar aja. Tora kok kelewatan banget, sih! Kurang ajar tuh anak! ", Nindy mulai geram, ia meremas – remas tangannya.
" Gimana gue mau sabar, Nin? Selama 1 bulan 7 hari, dia bohongin gue! Padahal gue udah terlanjur cinta ama dia. Keterlaluan banget, kan? Ternyata selama ini gue cuma jadi pelampiasannya doang! ". Airmataku pun jatuh membasahi pipiku, tak dapat lagi ku bendung.
" Udah dong Re, udah! Malu tau kalo diliat ama orang! Udah dong Re, emang si Tora itu brengsek! Loe nggak perlu nangisin cowok kurang ajar macam dia! ", Nindy berusaha menenangkanku, lalu cepat – cepat ku hapus airmataku.
" Re...kenapa loe nangis? Siapa yang udah nyakitin loe? Tora? ", Jose segera menghampiriku.
" Nggak kok, gue nggak kenapa – kenapa. Nin, gue cabut dulu, ya! ", aku segera berlari menuju toilet yang berada di sekolahku, membasuh wajahku dengan air dingin, menenangkan perasaanku yang kalang kabut, kemudian kembali bercanda tawa dengan teman – teman yang lain, seakan tak terjadi apa – apa pada diriku.
" Wid...muka loe kok muram gitu? Lagi ada masalah, ya? ", aku duduk disamping Wiwid, mencoba menghiburnya.
" Ahh...nggak papa kok, Re! ", kata Wiwid tersenyum ke arahku.
" Ohh...by the way, pertandingannya kok lama banget sih? ", tanyaku sambil celingak celinguk ke arah Sutejo.
" Iya nih...ehh kok bisa sih? ". Belum sempat aku menjelaskannya pada Wiwid, tiba – tiba Tora keluar kelas, dan sebuah pukulan melayang di pelipis kirinya. Tora pun tidak mau dikalah, ia lalu membalas pukulan tersebut di kening Sutejo. Teman – teman yang lain berusaha untuk melerai, namun Sutejo tetap membabi buta. Di satu sisi, aku yang masih sangat mencintai mantan pacarku itu, merasa khawatir terhadap keadaannya. Namun rasa kepedulianku itu tiba – tiba saja lenyap, berganti dengan rasa muak atas apa yang telah ia perlakukan terhadapku. Bagus, Sutejo. Ingat yang beberapa menit lalu ku katakan padamu, laksanakan dendamku pada makhluk brengsek itu, kataku dalam hati. Walau belum sepenuhnya, namun aku sudah cukup puas atas apa yang sudah Sutejo perbuat pada Tora barusan.

***

Hari – hari selanjutnya berjalan dengan lancar, dan aku pun sudah tak lagi memikirkan Tora. Beberapa hari sebelumnya, ku dapat kabar bahwa Tora memang betul – betul back sama Ruli, mantannya sebelum aku. Sakit...rasa sakit itu sangat terasa, dan rasa cinta itu masih juga menetap. Namun apa boleh buat? Mau tidak mau, aku harus menerima kenyataan pahit.
" Hey! Loe kok melamun sih? ", Andra menyapaku, disusul dengan Panjul, Sutejo, Nindy, Fahri dan Ancha.
" Haa..ohh..ehh...nggak kok ", kataku berbohong pada mereka.
" HEY KALIAN SEMUANYA !!! ", dari lantai dua, Faris, yang sempat menjalin hubungan tanpa status denganku selama kurang lebih 2 tahun, menyapa kami semua.
" Hey juga ", kami menyapanya sambil tersenyum.
" Huhh...sialan tuh si Faris. Setelah gue perhatiin, matanya tuh bukan tertuju ama kita. Tapi ama ini nih, si Rere. Huh! ", Fahri mengeluh.
" Heeehh...apa – apaan sih loe, Ri! ", kataku malu – malu.
" Re...kayaknya Faris naksir tuh ama loe, loe juga pernah bilang kan, kalo Faris pernah nembak loe, tapi loe tolak gara – gara loe malah milih si Tora brengsek itu. Loe mau nggak ama dia? ", Andra mulai menggodaku.
Aku terdiam. Sepertinya aku kembali ke masa lampau. Dejavu!
" Re...gimana, loe mau nggak ama dia? ", Andra membujukku agar mau berbicara.
" Heehh...loe apa – apaan sih? Yah nggak mungkin lah, Faris bisa suka ama gue! Ngaco loe ahh! ", kataku sambil membuang muka.
" Ya mungkin aja, apa sih yang nggak mungkin di dunia ini? ", Panjul ikut – ikutan menimpal.
" Alaaahh loe Re, bilang aja kalo loe emang masih ada rasa juga ama dia. Dia kan cinta pertama loe ", kata Fahri mencibir.
" Sok tau loe, Ri! ", kataku mengejek.
" Sok tau tapi emang bener, iya kan? ", Ancha pun angkat bicara.
" Wahh...langsung ada penggantinya Tora, nih! Ciee...ciee...kalo ama Faris sih, gue setujuuuuu banget! Ehh...ehh...liat tuh! Muka Rere kok jadi merah gitu yaa? Wahhh....gue curiga nih!!! ", Nindy membuatku semakin malu, malu, dan malu. Terpaksa aku menutupi wajahku yang sudah seperti kepiting rebus itu dengan kedua telapak tanganku.
" Re...loe ada acara nggak abis pulang sekolah? ", tanpa di duga – duga, Faris datang menghampiriku. Dan itu sukses membuat teman – temanku semakin mempermalukan aku.
" Ngg...nggak kok. Emang kenapa? ", tanyaku.
" Jalan yuk...ntar gue jemput. Gimana? Loe mau nggak? ", sesaat kemudian aku tersenyum, sambil mengangguk pelan. Kemudian Faris pergi, ku tatapnya hingga dia benar – benar tak terlihat olehku lagi.
" Cieehhhh.....gugur satu...ehhh malah tumbuh seribu! Kayaknya bentar lagi bakalan ada yang jadian, nih! ", Nindy membuyarkan lamunanku. Membuatku semakin malu, karena ulahnya.
" NINNNDDYYYYY...........awaaassss loeee yaaaaaa....!!!!!!!! ".



---SELESAI---