Tuesday, December 8, 2009

Cerpen - Penghuni Kamar 13

" Jalan Semanggi Nomor 45, nah ini dia nih! ", Tania akhirnya menemukan sebuah kos – kosan yang rencananya akan ia tempati. Sebuah bangunan berukuran 80x50 meter itu membuatnya yakin akan memilih lokasi ini sebagai tempat tinggalnya. Ia pun akhirnya mengetuk pintu, dan seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan menghampirinya,
" Permisi bu, " , sapa Tania ramah.
" Iya neng, ada yang bisa saya bantu? ", jawab perempuan itu.
" Perkenalkan, bu, saya Tania. Apa benar ini Ibu Lisa, yang katanya menyediakan tempat ini untuk kos? ", Tania mencoba meyakinkan.
" Iya, benar saya Ibu Lisa, dan memang tempat ini saya sediakan untuk kos. Namun, kamar yang tersisa sisa satu, letaknya pun di bagian belakang. Apakah kamu bersedia? ", Bu Lisa menjelaskan.
" Baik, bu. Itu tidak menjadi masalah bagi saya. ", ujar Tania tersenyum.
" Ohh...kalau begitu, mari nak, saya antar ke kamar nomor 13....", Bu Lisa lalu mengantar Tania menuju kamar yang ia akan tempati itu. Letaknya di bagian belakang rumah, bersebelahan dengan gudang. Begitu Tania melihat – lihat isi kamar tersebut, ia terkejut bukan main, debu bertebaran di mana – mana, sarang laba – laba menghiasi setiap sudut – sudut ruangan. Kotor sekali. Tampaknya kamar ini tidak pernah ditempati dan sangat jarang sekali dibersihkan.
" Maaf, nak. Penghuni terakhir kamar ini sudah pindah sejak 4 tahun lalu, dan semenjak saat itu, tidak ada lagi yang mau untuk menghuni kamar ini. Kamar ini pun jarang dibersihkan, dan neng Tania, adalah penghuni baru kamar ini. Semoga neng Tania senang....", Tania pun tersenyum. Kemudian ia memasuki kamar barunya itu, lalu membersihkannya. Sewaktu ia sedang merapikan baju – bajunya untuk dia simpan dalam sebuah lemari, ia menemukan foto seorang gadis yang berumur sekitar 18 tahunan terselip dalam lemari tersebut. Sejenak ia memperhatikan foto itu, cantik sekali gadis ini, Tania menggumam dalam hati, lalu menaruh foto tersebut ke tempat semula.

***
" Dit, malam mingguan, yuk? ", Roni mengajak Dita untuk pergi bersamanya malam itu juga.
" Malam ini kita kemana, sayang? ", Dita memeluk Roni manja.
" Gimana kalo kita ke diskotik aja, sayang? Kita habiskan waktu kita untuk senang – senang...", Roni lalu menghidupkan mesin motornya, lalu berangkatlah mereka menuju salah satu diskotik ternama di pinggiran Kota Jakarta.
" Sayang...aku mo beli minum dulu, ya. Kamu tunggu aja disini, " Roni lalu menuju bar, memesan satu gelas whisky lalu meneguknya. Tapi satu gelas rasanya tak cukup, ia pun memesan 3 gelas lagi, dan itu habis diminumnya. Setelah itu ia menemui Dita yang sedang asyik merokok dan main kartu bersama teman – temannya,
" Dit, kita ke hotel, yuk! Bosen niih, sayang! ", Dita mengangguk tersenyum, kemudian mengamit tangan Roni lalu menuju ke salah satu hotel yang letaknya tak jauh dari diskotik itu. Sesampai di sana, mereka memesan kamar nomor 113, lalu memasukinya. Roni yang sedang mabuk itu, tak kuat lagi menahan hawa nafsunya ketika Dita memeluknya. Dan....terjadilah sesuatu hal yang tidak selayaknya mereka lakukan di malam yang gelap itu.....

***

" Gimana, Tan, loe udah dapet tempat kos yang cocok? ", Fika bertanya pada Tania saat sedang berada di kantin.
" Udah kok, Fik. Ehh ngomong – ngomong, Dimas ke mana, ya? ", sepasang mata bulat Tania mencari – cari sosok Dimas.
" Dimas lagi di perpustakaan, katanya mo minjem buku, gitu...", Tania hanya manggut – manggut tanda mengerti.
" Ehh...Tan, boleh nggak kalo bentar gue maen ke kos-an loe? ", Fika bertanya sambil menyantap batagor yang ada dihadapannya itu.
" Boleh, kok. Emang loe mo ngapain? ",
" Yaa...gue cuman mo ngecek aja, kos-an loe aman apa nggak....",
" Ahh...Fik, bisa aja deh, loe! ", Tania tertawa, disusul dengan Fika. Tanpa mereka sadari, sekelebat bayangan putih memperhatikan mereka dari jauh, lalu menghilang.
Krreeekkkk....!!! Pintu kamar berdenyit saat dibuka. Tania dan Fika pun memasuki kamar tersebut. Seketika bulu kuduk Fika merinding, perasaan tidak enak berkecamuk di dalam hatinya. Sepertinya ia merasakan aura yang aneh di dalam kamar ini.
" Fik, loe sakit? Muka loe kok pucat gitu? ", Tania heran melihat perubahan ekspresi pada diri sahabatnya itu.
" Nggak kok, Tan. Gue nggak papa kok, " Fika sedikit berbohong pada Tania. Lalu, dibalik sebuah lemari coklat, yang berada tak jauh dari tempat tidur Tania, Fika melihat seorang sosok wanita berjubah putih. Sosok yang sedari tadi memperhatikan mereka sewaktu di kantin. Wajah sosok tersebut berlumuran darah, di kepalanya tertancap sebuah paku beton. Rambutnya acak – acakan, kuku – kukunya hitam dan panjang. Sepertinya sosok tersebut tak suka dengan kehadiran Tania. Fika yang memperhatikannya hanya terdiam bisu, tak mampu berucap kata sepatah pun. Seketika semuanya menjadi gelap gulita, kosong, tak ada cahaya seberkas pun. Fika pingsan.
" Fik....bangun Fik, " Tania terus saja membangunkan Fika dengan memberinya aroma balsem di sekitar indra penciumannya, ditemani oleh Dimas, pacar Tania. Perlahan Fika mulai membuka matanya, namun indra penglihatannya itu menjalar ke mana – mana, tampaknya ia mencari sosok yang sedari tadi ia perhatikan.
" Fik, loe kenapa sih? Loe sakit? ", Tania mulai khawatir dengan keadaan Fika. Namun Fika tetap terdiam membisu. Sepertinya ia berusaha untuk mengingat kejadian barusan yang dialaminya.
" Fik....",
" Tan, gue saranin, loe secepatnya pindah dari kos-an ini ", Fika akhirnya membuka mulut, dan itu membuat Tania dan Dimas heran.
" Maksud loe apaan, Fik? Kenapa loe nyuruh Tania buat pindah dari sini? ', Dimas heran dengan pernyataan Fika barusan.
" Mas, ini juga demi keselamatan Tania. Tan, pokoknya gue nggak mau terjadi apa – apa sama loe! Loe harus nyari kos-an laen. Atau kalo loe keberatan, biar gue yang nyariin buat loe ", Fika tetap bertekad untuk membawa Tania pergi segera dari tempat ini.
" Udah dong Fik, Mas. Gitu aja kok ribut. Fik, kenapa sih loe nyuruh gue pindah? Gue kan baru 3 hari disini, gue juga udah bayar buat bulan ini. Masa gue harus pindah gitu aja, tanpa alasan yang jelas? ", Tania pun mulai heran.
" Tan, ada yang nggak suka kalo loe disini," Fika berterus terang pada Tania yang sedari tadi bingung dibuatnya.
" Maksud loe? Emang siapa sih yang nggak seneng kalo Tania disini? ", Dimas mulai curiga.
" Dia bukan manusia, dia makhluk halus, abstrak.....", Fika lalu menoleh ke arah lemari tempat ia melihat setan tadi. Kosong. Tak ada apa – apanya. Sepertinya setan itu sudah pergi, namun Fika masih saja merasakan hawa dingin di sekujur tubuhnya. Padahal hari sedang panas, matahari tepat berada di atas kepala.
" Fik, loe yakin? ", Tania tampaknya tak setuju dengan kalimat Fika barusan.
" Ngapain juga gue mesti bohong ama sahabat gue sendiri? Ayolah, Tan, ini demi keselamatan hidup loe....", Fika memelas, berharap Tania mengikuti kehendaknya secepatnya. Meninggalkan kos-an ini yang baru saja ia tempati selama 3 hari.
" Ntar deh gue liat....", Tania lalu terdiam. Fika dan Dimas pun begitu. Semuanya terlarut dalam pemikiran mereka masing – masing. Dan hanya Fika yang menyadari, sekelebat bayangan putih itu memperhatikan mereka dari jendela kamar Tania, disusul dengan suara tangisan bayi yang hanya bisa dirasakan oleh batin Fika...

***

" Ron, gue mo ngomong sesuatu ama loe ", Dita berkata pada Roni yang masih saja mengisap rokoknya.
" Kamu mau ngomong apaan sayang? ", Roni kemudian memeluk Dita mesra.
" Ron, gue hamil.....", Dita kemudian jujur kepada pacarnya itu.
" Apa? Loe hamil? Nggak mungkin....", Roni terkejut seketika, melepas pelukannya pada Dita. Wajahnya pucat bukan main. Ia tak menyangka, kejadian di malam itu membuat pacarnya hamil.
" Gue serius, Ron. Gue positive hamil. Dan...gue minta supaya loe tanggung jawab atas perbuatan loe ke gue...", Dita akhirnya meminta pertanggungjawaban Roni.
" Loe pasti bohong, kan? Lagian bukan cuma gue yang pernah tidur sama loe, pasti ada cowok lain ", Roni berusaha menghindar.
" Ron, loe jangan sembarangan ngomong, ya! Satu – satunya cowok yang pernah tidur sama gue tuh cuma elo, Ron! Loe pikir gue pelacur, apa? Yang seenaknya aja mo tidur ama cowok laen? Sama pacar sendiri kok loe nggak percaya sih ama gue? ", wajah Dita memerah. Hatinya panas, seakan – akan martabatnya sebagai seorang perempuan diremehkan begitu saja oleh Roni.
" Dit, loe jangan asal, ya! Gue tau kok, siapa loe sebenarnya. Janin yang ada dalam perut loe sekarang itu, pasti bukan darah daging gue! Gue yakin! Loe cuman nyari alasan aja supaya loe bisa nikah sama gue, gitu kan? Nggak bakal, Dit. Gue nggak bakalan nikah sama cewek macam loe, " Roni tersenyum sinis.
" Brengsek loe, Ron! ", tiba – tiba sebuah tamparan melayang di pipi kanan Roni. Tangan halus Dita terpaksa melakukan itu, bagaimana tidak? Ia sama sekali tak tahan dengan perlakuan Roni barusan. Semuanya cukup jelas, Roni tidak mau mengakui bayi dalam kandungan Dita, tak mau bertanggung jawab pula.
" Berani banget loe nampar gue, dasar cewek murahan! ", Roni yang tak mau kalah, mengambil sebuah vas bunga yang berada di dekatnya kemudian melemparkannya tepat ke arah Dita. Seketika dari pelipis kirinya memancarkan darah yang segar. Tubuhnya terjungkai ke belakang, namun ia tetap berusaha meraih gagang pintu, lalu mencoba untuk melarikan diri dari Roni yang sedang membabi buta.
" Dit, mo kemana loe? Jangan harap loe bisa lari dari gue! ",

***

Sudah 13 hari Tania tinggal di kos – kosan yang baru saja ditempatinya, namun ia sama sekali belum merasakan keganjilan. Amanah dari Fika pun mulai terlupakan olehnya. Tampaknya Tania biasa – biasa saja, dan ia memang tak berniat meninggalkan tempat itu. Ibu kos-nya cukup baik, begitu pula teman – temannya yang satu kos dengannya. Mana daerah tempat tinggalnya strategis pula, membuatnya betah untuk tetap disini.
Tok tok tok! Pintu kamar diketuk dari arah luar, Tania yang sedang sibuk menikmati capuccino-nya merasa malas untuk membuka pintu. Ia hanya memberikan seruan dari dalam,
" Masuk aja, nggak dikunci, kok ", tiba – tiba pintu kamar Tania terbuka dengan sendirinya. Lama tak ada yang muncul, Tania dengan nekat menoleh keluar, tak ada sesosok makhluk pun.
" Siapa sih? ",
Sepi, diam, sunyi. Tak ada suara, kecuali beberapa ekor jangkrik yang berada di halaman luar. Jam menunjukkan pukul 12 malam, siapa juga yang berani bertamu pada malam – malam begini? Ahh mungkin saja itu Bu Lisa, tapi karena kebelet buang air kecil, makanya langsung ke WC. Terus langsung deh tidur, lupa kalo sempet singgah ke kamar gue, Tania berkata demikian dalam hati. Lalu ia pun menutup pintu kamarnya yang sedari tadi terbuka, kemudian kembali menikmati secangkir capuccino-nya yang sempat terabaikan.
Klik! Seluruh lampu padam seketika. Gelap. Udara yang dingin di malam yang pekat menemani Tania. Tiba – tiba saja jendela kamarnya terbuka dengan sendirinya, angin yang juga berhembus dengan kencang menggerak – gerakkan tirai biru penghias jendela yang terbuka. Namun saat Tania berusaha menutup jendela kamarnya itu, sepasang tangan yang kekar tiba – tiba muncul, mencekik leher Tania yang membuatnya sulit untuk bernafas. Baru saja beberapa menit, ia sudah tergeletak tak berdaya di atas lantai yang penuh dengan darah segar itu. Tania meninggal.

***

Di malam yang gelap nan pekat itu, Dita terus saja berlari menuju jalan semanggi nomor 45, tempatnya kos. Ia berusaha melarikan diri dari kejaran Roni, sang kekasih yang tidak mau bertanggung jawab atas pebuatannya. Sesampai di depan pagar kos – kosannya pun, ia masih saja terus berlari, menuju kamarnya yang bernomor 13 sehingga membuat Bu Lisa heran.
Tok tok tok! Ketukan pintu dari arah luar membuat Dita tersentak.
" Siapa? ", Dita bertanya dari arah dalam.
" Neng Dita, ada yang mo ketemu sama neng, " dari arah luar suara Bu Lisa terdengar jelas.
" Siapa, bu? Suruh masuk aja, pintunya nggak dikunci, kok...", Pintu pun akhirnya terbuka, dan Dita begitu terkejut saat mengetahui siapa tamu yang mengunjunginya.
" Ron, buat apa lagi loe ke sini? Apa loe masih belum puas? ", suara Dita begitu keras, membuat Roni terpaksa mengatup mulut Dita.
" Dit, sorry.... gue ke sini cuma mau minta maaf sama loe ", Roni kemudian melepas tangannya dari mulut Dita. Wajahnya memancarkan raut penyesalan yang amat sangat mendalam.
" Dit, bukan maksud gue bikin loe emosi. Gue...gue tadi tuh cuma shock aja, begitu denger kalo loe hamil. Sumpah, Dit. Gue nggak bohong. Gue janji, gue bakal tanggung jawab atas perbuatan gue ke loe ", Roni mencoba untuk menjelaskan semuanya, lalu menggenggam kedua tangan Dita.
" Ron, loe serius? ", Dita tampaknya tak yakin dengan pernyataan Roni barusan.
" Gue serius, Dit. Gue rela kok ngelakuin apa aja buat loe, asal itu yang ngebuat loe bahagia. Sekarang kalo emang loe masih cinta sama gue, dan loe tetep mau ngejalanin semuanya dengan gue, peluk gue sekarang, Dit....", Dita kemudian tersenyum, lalu merangkul erat tubuh Roni.
" Gue cinta sama loe, Ron ", ucap Dita sambil memeluk Roni dengan memejamkan matanya.
" Gue juga cinta sama loe, Dit...." , Roni pun berkata demikian, kemudian ia mengambil sebilah pisau dari saku celananya, lalu menancapkannya pada perut Dita. Perlahan tapi pasti. Seketika darah segar mengalir dari perut Dita, tubuhnya terkulai lemah tak berdaya, membuat Roni tersenyum puas. Ia berhasil membunuh Dita, lantaran tak ingin Dita dan anak dalam kandungannya tetap berpijak di muka bumi ini.
" Sekarang nggak ada lagi yang bisa halangin gue! Dan loe, Dit...selamat bersenang – senang di kehidupan baru loe sekarang ", Roni lalu membawa keluar tubuh Dita, lalu tepat disamping kamarnya, ia menggali tanah untuk menguburkan mayat Dita yang sudah tak bernyawa lagi.

***

Sebuah mobil ambulance membawa tubuh Tania ke rumah sakit untuk di otopsi. Jalan Semanggi Nomor 45, tepatnya di kamar 13 itu telah digaris polisi. Tak seorang pun diperbolehkan mengunjunginya, walaupun itu Bu Lisa sendiri. Karena pada lokasi tersebut akan diadakan pemeriksaan lebih lanjut oleh pihak kepolisian.
Setelah mayat Tania selesai untuk di otopsi, para kerabat pun membawanya ke pemakaman, tak terkecuali Dimas dan Fika. Tentu saja mereka merasakan kesedihan yang amat sangat mendalam, terlebih Fika. Ia merasa bersalah karena tidak berhasil untuk membuat Tania pindah secepatnya dari kos – kosan itu. Namun apa boleh buat, yang di atas lah yang menentukan garis kehidupan seseorang.
" Tan, gue masih nggak percaya kalo loe udah nggak ada....", Fika berkata demikian kala orang – orang sudah pergi meninggalkan pemakaman, sambil menaburkan bunga – bunga kamboja ke sekitar nisan Tania.
" Fik, loe yang sabar, ya! Apapun yang terjadi, kita harus tetep ikhlas atas kepergian Tania. Kalo nggak, dia nggak bakal tenang di alam sana ", Dimas berusaha untuk menenangkan Fika, walaupun ia sendiri juga amat merasakan kehilangan yang sangat mendalam.
" Iya, Mas. Loe bener. Tan, loe janji ya, loe akan tetap baik – baik di sana, dan gue juga janji, gue akan tetap baik – baik di sini, walaupun tanpa loe ", seketika angin berhembus perlahan, meyibakkan rambut Fika yang terurai. Sepertinya Tania mengiyakan permintaan Fika barusan.
" Tan, kita pergi dulu, ya. Laen kali, kita bakal mampir lagi kok, ke sini. Loe yang tenang, ya! ", Dimas berkata demikian, kemudian pergi meninggalkan makam tersebut, disusul oleh Fika. Dari balik pohon beringin, sosok bayangan perempuan memperhatikan mereka yang terus saja berjalan.
" Gue bakal menjadi penghuni kamar 13 yang selanjutnya. Dan gue nggak akan ngebiarin mereka selamat, kalo seandainya mereka ngunjungin kamar 13 sebanyak 3 kali. Supaya gue bisa tenang....", seusai berkata demikin, sosok bayangan itu pun menghilang, bak ditelan bumi.

No comments:

Post a Comment