Tuesday, December 8, 2009

Cerpen - Sahabatku

Saat itu Rita sedang berada sendirian di kamarnya. Ia tengah sibuk menggerakkan tangannya di atas kertas putih nan bersih yang berada di hadapannya itu. Sesekali butiran – butiran airmatanya terjatuh perlahan, membasahi pipinya yang lembut. Tak peduli dengan dinginnya malam yang gelap, kejadian barusan ter-flashback kembali dalam ingatannya.
" Brengsek loe, Rit! Loe tega ya, ngebohongin gue selama 3 bulan? Loe tega ya, ngelakuin semua ini ke gue! Apa loe nggak sadar, loe itu siapa? Loe sahabat gue, Rit! LOE SAHABAT GUE!!! ", pekik Amel waktu itu.
" Mel, gue berani sumpah! Gue ngelakuin hal ini demi kebaikan loe! Gue nggak mau kalo sampai impian loe itu hancur cuma gara – gara gue! Gue nggak punya jalan lain, Mel. Dan loe tau? Selama 3 bulan gue bohongin loe, gue terus dihantui perasaan bersalah. Gue seperti dikejar – kejar setan, Mel. Dan setelah gue pikir – pikir, mungkin gue harus jujur sama loe, walaupun gue tau, resiko yang mesti gue terima nggak sedikit ", Rita berusaha menjelaskan. Tak tahan ia memendam semua kejujuran palsunya selama berbulan – bulan, ia nekat jujur walaupun hatinya sendiri tak siap untuk menghadapi berbagai macam tantangan.
" Alasan loe, Rit! Kenapa nggak dari awal aja loe ngaku, kalo loe juga naksir Fasli? Kenapa sih loe tega sama gue, apa salah gue selama ini ke loe, Rit? Apa??? ", Amel tak tahan lagi. Ia tak mampu menahan emosinya yang sedang meluap – luap, bertebaran di mana – mana.
" Maafin gue, Mel. Gue tau gue salah, tapi setidaknya loe paham dong, gimana posisi gue waktu itu. Gue shock berat, waktu loe bilang ke gue kalo loe juga naksir Fasli, dan loe minta ke gue supaya gue bikin loe ama Fasli jadian. Gue nggak tahan, Rit. Gue nggak tahan! Saat loe nanya ke gue, siapa orang yang ada di hati gue waktu itu, gue terpaksa bilang kalo dia itu Rama. Gue udah nggak punya pilihan lain lagi. Pikiran gue kacau waktu itu. Padahal sebenernya Rama itu bukan siapa – siapa gue! Yang ada di kepala gue tuh, gimana caranya supaya loe ama Fasli bisa bahagia, cuma itu, Mel! Karena loe sahabat gue, gue rela kok ngorbanin cinta gue demi loe. Asal loe seneng...",
" Kalo loe pikir itu cara loe supaya ngebuat gue seneng, loe salah besar, Rit! Gue sama sekali nggak suka dengan perbuatan loe! Gue benci sama loe, Rit. Gue benci!!! ", ujar Amel kemudian berlalu meninggalkan Rita sendirian.
" Mel, tunggu...",
" Udahlah, Rit. Gue nggak mau dengar penjelasan loe lagi! Dan, mungkin persahabatan kita cukup berakhir di sini. Thanks buat semuanya, Rit...", tanpa menoleh sedikit pun, Amel tetap saja berlari, tanpa arah dan tujuan yang jelas.
" Kak Rita, kenapa sih? ", suara Reza membuyarkan lamunan Rita.
" Ahh nggak kok, dik. Kak Rita nggak kenapa – kenapa, kok ", kata Rita sambil tersenyum kepada adiknya itu.
" Mata Kak Rita kok bengkak? Kakak habis nangis, ya? ", Reza masih terus saja menginterogasi kakak satu – satunya itu.
" Ah, masa iya? Nggak kok, tadi kakak kelamaan waktu tidur siang ", Rita terpaksa berbohong. Daripada diinterogasi terus menerus.
" Kak Rita jangan bohong, deh! Tadi Reza liat sendiri, kok, kalau kakak nangis. Kak Rita kalau ada masalah, sebaiknya kakak cerita aja sama Reza. Reza janji deh, Reza nggak bakal bilangin ke mama ato papa ", karena dibujuk terus, Rita pun akhirnya menceritakan masalah yang menimpanya kepada adik semata wayangnya itu. Wajahnya yang sedari tadi sudah kering, kini basah lagi oleh airmata yang mengalir.
" Jadi gitu ya, kak... ", Rita hanya mengangguk. Tak berkomentar sedikit pun.
" Kak, kalo menurut Reza, kakak tuh nggak salah kok. Reza justru bangga lho, punya kakak seperti Kak Rita. Kakak tuh baik, kakak mau mengakui kesalahan kakak walaupun kakak tau resikonya amat besar. Reza salut lho sama kakak ", ucap Reza tersenyum, dan itu membuat hati Rita sedikit lega.
" Makasih ya, dik ", ujar Rita, dengan suasana pikiran yang masih saja kacau.
" Sama – sama, kak. Ehh kakak mau nggak Reza bantu ngerjain tugas menganyam kakak? Kan dikumpulnya besok...", Reza menawarkan jasa.
" Nggak usah, dik! Lagian ini udah malem banget, jam 12. Entar besok kamu bangunnya kesiangan ", Rita menolak tawaran adiknya.
" Nggak papa kok, kak. Besok Reza masuk sekolahnya jam 9 pagi, kok. Tugas kakak kan belum selesai, masih banyak pula. Daripada kakak capek, yah mending Reza bantuin ", Rita akhirnya mengalah, kemudian tersenyum. Tak disangkanya, adiknya yang rewel dan bandel ini ternyata baik hati juga.
" Makasih ya, dik ", Rita kemudian melanjutkan mengerjakan tugasnya, dibantu oleh sang adik.

***

Rita terus saja berjalan di bawah awan yang putih. Suasana pagi ini begitu cerah, berbanding terbalik dengan keadaan hatinya yang gelap. Sesekali ia menguap dalam langkahnya, kemarin ia baru bisa tertidur pukul 1 dini hari, lantaran tugasnya yang menumpuk dan harus ia selesaikan. Kakinya terus saja berjalan menuju ke kelasnya, 2.1. Di sekolahnya itu, kelas 2.1, 2.2, dan 2.3 ialah kelas – kelas unggulan, yang hanya bisa ditempati oleh orang – orang yang mempunyai kemampuan di atas rata – rata. Ia sendiri pun heran, mengapa ia bisa duduk di kelas 2.1, padahal menurutnya otaknya sangatlah pas – pasan. Yah, mungkin saja pak kepala sekolah salah menuliskan nama waktu pembagian kelas, pikiran seperti itu sempat muncul di benak Rita.
Ia menghentikan langkah kakinya kala berhenti di depan kelas 2.2. Ya, di situlah kelas Amel, sahabatnya yang sedang mempunyai konflik dengannya. Ia mengintip sebentar ke dalam, belum ada orang. Terang saja, ini masih pukul 6 pagi. Siapa pula yang mau ke sekolah pagi – pagi buta begini, kecuali sang penjaga sekolah yang setiap hari harus stand by di tempat sebelum murid – murid datang. Karena tak ada orang, akhirnya Rita kembali melangkah menuju kelasnya yang berada tepat di samping kanan kelas 2.2. Ia mengucapkan salam lalu masuk, masih belum ada seorang temannya pun yang ia temui di kelasnya. Sendiri, yah...hanya Rita seorang diri di situ. Dingin menyapa kulitnya yang kecoklatan, menusuk setiap lapisan epidermisnya. Ia mengambil tempat duduk paling belakang tepat di bagian pojok kanan, tempat yang merupakan sangat strategis bagi Rita. Kemudian ia mengeluarkan alat tulisnya satu persatu, lalu mulailah tangannya menari – nari di atas lembaran putih itu. Coretan angka – angka bercampur kumpulan huruf abjad memenuhi kertas yang mulai dihiasi tinta hitam tersebut. Matematika. Ya, Rita sibuk menyelesaikan tugas matematikanya yang sempat tertunda karena ketiduran semalaman.
Jam menunjukkan pukul 7 tepat. Siswa – siswa mulai berdatangan ke sekolah. Suasana di kelas Rita pun agak mulai sedikit ramai. 30 menit lagi bel akan berbunyi, dan itu artinya pelajaran akan segera di mulai. Tugas matematika yang sedari tadi ia kerja telah selesai. Segera Rita membereskan buku – bukunya yang berserakan, kemudian memasukkannya ke dalam tas ranselnya yang berwarna hitam, warna favoritnya. Entah kenapa ia sangat menyukai warna itu, mungkin karena selain warnanya klasik, ada aura tersendiri yang tersembunyi di balik lambang kegelapan itu, dan sangat sesuai dengan apa yang bersemayam dalam dirinya. Yah, mungkin saja seperti itu.
" Rit, loe lagi ada masalah, kan, sama Amel? ", Dira mengambil tempat duduk tepat di sebelah Rita, memulai pembicaraan yang sangat tidak ingin ia bahas pada saat itu.
" Yah...seperti yang loe liat status gue di facebook semalaman sama dia...", Rita sibuk mencari – cari pulpen yang tadi dipakainya.
" Fasli tau soal ini? ", Dira bertanya seraya menyalin PR matematika milik Alvian, yang baru saja ia pinjam.
" Maybe...",
" Trus, Fasli bilang apa? Rit, kalo ngomong jangan setengah – setengah dong. Gue jadi bingung nih! ", Dira menutup buku tulisnya. Hanya 1 nomor saja ia merasa kesulitan untuk menjawab, dan sama sekali tak mengerti dengan maksud soal tersebut. Terpaksa ia menyalin tugas milik Alvian, satu – satunya murid yang pintar matematika di kelasnya.
Rita akhirnya menemukan pulpen yang sedari tadi di carinya, ternyata terjatuh di bawah bangkunya. Ia kemudian menghentikan aktivitasnya, menatap Dira sejenak, lalu menarik nafas perlahan dan menghembuskannya melalui rongga hidungnya. Rita pun mulai bercerita, dengan sedetail – detailnya ia menjelaskan semuanya kepada sahabatnya yang satu itu. Ada sedikit jeda ketika secara tak sadar ia menangkap sosok Amel yang masuk ke kelasnya. Sepertinya ia mengembalikan novel milik Tia. Yah, mungkin begitu. Rita kembali melanjutkan ceritanya, Dira yang sedari memperhatikannya hanya mengangguk tanda mengerti. Sesekali ia berpikir, sepertinya mencari jalan keluar atas apa yang menimpa Rita.
" Rit, masalah loe runyam banget. Gue nggak habis pikir kalo kejadiannya bakalan jadi seperti ini. Loe yang sabar, ya...", senyuman Dira sedikit mencairkan hati Rita, walau tidak sepenuhnya.
" Iya, makasih ya, atas perhatian loe. Gue nggak nyangka, masih ada aja orang yang mau ngertiin pembohong macam gue...", Rita menunduk malu. Pembohong, munafik, pecundang, yaa....julukan – julukan itu sangat pantas untuk diberikan kepadanya.
" Ssst...Rit, loe jangan ngomong kayak begitu. Nggak sepenuhnya loe salah, dan wajar aja kalo Amel marah, mungkin untuk saat ini dia belum bisa terima kenyataan. Tapi gue yakin, perlahan tapi pasti, dia pasti mau kok, maafin loe. Percaya deh, sama gue ", Dira seolah memberi Rita sebuah sandaran.
" Yah, perkataan loe ada benarnya. Sekali lagi, thanks ya, Dir. ", Rita tersenyum cerah, Dira pun begitu. Berderingnya bel mengakhiri pembicaraan mereka. Tak lama kemudian, Bu Ati memasuki kelas untuk membawakan materi pelajaran Matematika.

***

Krriiiiiingggggg!!! Bel panjang berbunyi, dan itu tandanya pelajaran hari ini telah usai. Murid – murid bergegas merapikan buku – bukunya, kemudian kembali ke rumah masing – masing. Begitu pula dengan Rita, namun saat ia baru saja melangkahkan kakinya keluar kelas, ia dicegat oleh Amel. Jantungnya berdegup kencang, seakan berhadapan dengan makhluk paling menakutkan di dunia. Bibirnya kaku, tak mampu berucap kata sepatah pun. Tatapan mata Amel yang tajam seketika membunuh perasaan Rita yang berkecamuk dalam dadanya. Ia ingin lari, namun tangannya di genggam erat oleh Amel. Terpaksa Rita berdiam diri di tempat, layaknya orang dungu yang yang tidak bisa berbuat apa – apa.
" Rit, gue mo ngomong sama loe. Kita ngobrolnya di kantin aja! ", Rita hanya mengangguk. Amel pun berbalik kemudian berlalu, Rita mengekor dibelakangnya. Kakinya seakan terasa berat untuk dia langkahkan. Akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan kemudian mengambil tempat duduk paling belakang tepat di sebelah kiri bagian pojok.
Amel mengambil kursi lalu duduk, kemudian memesan semangkuk bakso. Diikuti dengan Rita yang mengambil kursi tepat di hadapan Amel, lalu memesan satu porsi batagor, makanan kesukaannya. Tak lama setelah itu, Amel pun memulai pembicaraan.
" Rit, gue udah pikir matang – matang semuanya. Mungkin secara perlahan, gue bisa nerima kenyataan. Gue juga nggak mau kalo persahabatan kita rusak karena persoalan ini. Mungkin.......", pembicaraan terhenti kala pesanan telah datang menghampiri mereka. Sedikit terganggu, namun mereka tak ingin menampakkan wajah kejengkelan yang tersembunyi dalam senyumannya itu demi menghormati sang pelayan agar tidak tersinggung.
Amel mencicipi baksonya, diikuti dengan Rita yang menyantap batagor kesukaannya. Setelah makanannya habis, segelas es jeruk diseruputnya dengan nikmat. Setelah merasa bahwa inilah saat yang tepat, Amel melanjutkan penjelasannya,
" Rit, mungkin gue bisa maafin loe..", ujar Amel tersenyum. Rita yang mendengar pernyataan tersebut spontan tersedak. Terkejut, tak disangkanya seorang Amel akan memaafkan perbuatannya yang nista itu. Rita kemudian mengambil segelas air putih, meneguknya secukupnya. Lalu menyambar sehelai tissue yang berada di samping piringnya, mengelap mulutnya yang sedikit kotor.
" Mel, lo nggak salah bilang, kan? ", Rita masih tak habis pikir dengan keputusan Amel.
" Buat apa coba, gue marah? Rit, gue nggak mau persahabatan kita berkahir. Gue nggak rela !",
" Gue tau itu, Mel. Tapi gimana dengan Fasli? ",
" Gue udah mutusin dia! " , amel tersenyum, tak ada wajah kemurungan yang terpancar dari sudut matanya.
" Hah? Loe serius? Trus, Fasli-nya bilang apa ke loe? "
" Yah...dia nerima keputusan gue. Dia juga nggak mau kalo gara – gara dia, persahabatan kita jadi rusak. Begitu katanya, ", Amel menjelaskan. Rita hanya menggut – manggut. Namun masih ada sedikit keraguan yang menyelimuti hatinya.
" Rit, kayaknya loe masih ragu, ya, dengan keputusan gue? ", tampaknya Amel bisa membaca isi kepala Rita. Rita hanya mengangguk.
" Rit, loe percaya deh, sama gue. Loe juga nggak mau kan kalo persahabatan kita rusak? Loe nggak mau kan, kalo persahabatan kita hancur? Rit, gue nggak mau kehilangan loe! ", seketika airmata Amel mengalir membasahi pipinya yang lembut.
" Mel, gue juga nggak mau kehilangan loe ", sebuah pelukan hangat Amel rasakan dari Rita. Tangisan bahagia menyerta mereka ke dalam indahnya sebuah persahabatan. Sang penjaga kantin yang sedari tadi memperhatikan mereka hanya diam seribu bahasa, tak mengerti dengan apa yang Rita dan Amel alami.
" Mel, thanks yah, loe udah maafin gue ", Rita melepas pelukan Amel. Sebersit senyuman menungging di pipinya.
" Iya, Rit. Gue seneng bisa baekan sama loe. Sumpah, Rit. Ini merupakan kado terindah di hari ulang tahun gue. Dan, yang ngasih itu loe, Rit. Persahabatan kita ", Rita tersenyum bahagia. Tepat hari ini merupakan hari ulang tahun Amel. Dan di hari ini pula, persahabatan mereka yang tertunda akhirnya berlanjut kembali.
" Mel, jalan yuk! Hari ini kan loe lagi ulang tahun, gue mau di hari ulang tahun loe yang ke-empat belas ini, kita lalui dengan senyuman ", Amel mengangguk setuju. Kemudian mereka pun berlalu meninggalkan tempat itu, meninggalkan masa lampau yang menghancurkan mereka, menyambut cahaya persahabatan yang indah.

No comments:

Post a Comment