Monday, December 1, 2014

Untuk Tuhan

Tuhan, aku datang…

Hanya di hadapan-Mu, aku bertekuk lutut
Tak tahu lagi siapa yang akan kurengkuh
Dalam sujudku, aku bersimpuh
Betapa dunia telah menenggelamkanku

Tuhan, aku kembali...

Aku tahu, mungkin Kau sedang rindu
Pada hamba-Mu yang mulai jarang bertamu
Aku takut menjadi tak tahu malu
Yang meminta temu hanya ketika pilu berkawan dengan sendu

Tuhan, aku ingin berbagi...

Sungguh, tiada cinta yang lebih abadi daripada cinta-Mu
Tiada rindu yang lebih indah daripada merindukan malam bersama-Mu
Maka ketika cinta menghampiriku,
Tuntunlah daku pada insan yang juga merindu dan mencintai-Mu

Apalah arti dari sebuah cinta
Bila ia tak nyata, hanya membawa derita
Menjauhkan pecandunya dari Sang Pencipta
Betapa seisi alam akan turut berduka cita

Tuhan, ampuni daku…

Jangan murka, hamba hanya manusia biasa
Tiada pernah menjadi sempurna, tiada jua lepas dari dosa
Maka malam ini, hamba datang dengan rindu yang tak terkira
Untuk Sang Maha Esa, telah kurajut bait-bait doa

Friday, October 17, 2014

(Lagi-lagi) Negeri Dongeng

Selamat malam, negeri dongengku. Bagaimana kabarmu sekarang? Sudah lama rasanya tanganku tidak menari di atas kertas putih, bercerita tentangmu yang tidak pernah bisa kusentuh. Masihkah kau angkuh dengan pesonamu yang tidak henti-hentinya kau tawarkan? Sungguh, aku merindukan karismamu yang begitu rupawan. Parasmu yang elok seakan tidak ingin beranjak dari pikiranku—selalu bersemayam di sana. Juga matamu—tatapan elang yang hampir selalu berhasil membunuh kaum hawa, termasuk aku.

Negeri dongengku, entah ke mana lagi aku harus berjalan—mencari-cari petunjuk yang bisa mempertemukanku denganmu. Entah kepada siapa lagi aku harus bertanya, entah di mana lagi aku harus singgah. Tubuhku ini sudah semakin lelah dan kau masih saja asyik berlari. Aku ingin berhenti, tetapi kakiku terus melangkah. Aku ingin beristirahat, namun ragaku enggan memberi celah. Lalu apa yang bisa kuperbuat selain terus berjalan—walau tanpa tujuan dan arah?

Negeri dongengku, sadarkah kau bahwa kita tak pernah saling menyapa? Bahkan melirik ke arahku pun kau tidak pernah. Lucu, bukan? Ketika hanya aku yang berjuang sendirian dan kau tetap asyik dengan duniamu. Ya, aku tahu ini sudah pasti tolol, tapi bukannya cinta memang buta? Dan ia tidak pernah butuh alasan, kan?

Sungguh, kau adalah telaga yang tak akan pernah kering walau dunia hanya mengenal musim kemarau. Selalu sejuk dan mendamaikan. Wajar saja bila aku tak pernah merasa bosan menghabiskan detik demi detik untuk membayangkan setiap detil bentuk tubuhmu. Ah, kau benar-benar candu yang tak ada habisnya. Kau abadi. Maka izinkan aku terus mengagumimu, negeri dongengku. Berjalan menapaki tanah yang mengarahkanku pada tempatmu, aku tak akan berhenti, hingga waktu yang akan menghentikan langkah kakiku.

Saturday, February 8, 2014

Aku dan 19 (2)

Selamat pagi, negeri dongeng!

Kemarin, usiaku tepat sembilan belas tahun, dan ini tahun keduaku berharap kalimat “selamat ulangtahun” atau mungkin “happy birthday” kau ucapkan padaku. Tapi ternyata, harapan itu tinggallah sebuah harapan. Lagipula, siapalah aku ini? Ya, aku sadar, aku sedang berada di alam nyataku.

Dan kemarin malam pula, negeri dongengku menarikku masuk ke dalamnya, bertemu dengan pangeran impianku. Kau duduk di sana, dan kita bercengkerama bersama. Ya, hanya dengan berada di negeri dongeng—aku dan kau adalah satu. Miris memang, ketika realita menampar mimpi-mimpi indah itu dan aku hidup di sana. Negeri dongeng tidak lebih dari sekadar imajinasi dan bunga tidur belaka.

Di hari ulangtahunku yang kesembilan belas ini, ketika harapan akan hadirnya dirimu kembali tidak terwujud, negeri dongeng dengan anggunnya menghiburku. Saat realita membalikkan telapak tangannya, negeri dongeng memberikan segalanya. Ironi sekali, karena harapan akan dirimu tidak kutemukan di dunia nyata, ia hanya berada dalam negeri dongengku yang indah. Abadi di sana.

Namun walau begitu, kusyukuri apa yang kudapatkan. Terima kasih, Tuhan, untuk kado yang Kau berikan walau hanya sebuah bunga tidur yang tidak bisa kubawa masuk ke alam nyataku. Terima kasih, Tuhan, walau hanya dalam tidur lelapku kau temukan aku dengannya, setidak-tidaknya rindu itu terobati.

Thursday, February 6, 2014

Aku dan 19

Alhamdulillah. Segala puji bagi Alloh Swt., hari ini usiaku tepat memasuki 19 tahun. Rasa syukur tiada henti kupanjatkan pada-Mu, ya Alloh, atas segala nikmat dan karunia selama ini. Umur yang panjang, kesehatan, rezeki yang berkecukupan. Semuanya atas kehendak dan kasih sayang-Mu pada hamba yang hanya manusia biasa dan berlumur dosa ini.

Tidak terasa, sudah 19 tahun aku menapaki hidup di bumi ini. Semakin tua saja. Tahun depan, usiaku memasuki kepala dua. Artinya, mulai dari sekarang aku harus terbiasa menghadapi masalah-masalah yang berat. Menjadi pribadi yang lebih dewasa dan bijak dalam berpikir serta mengambil keputusan. Tangguh dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, dan mengurangi kebiasaan menangis untuk hal-hal yang tidak terlalu penting. Juga lebih mampu mengontrol emosi yang kadang naik turun. Seperti kata pepatah, semakin tinggi suatu pohon, maka semakin kencang angin yang menerpanya.

Ada banyak harapan yang kupupuk di usiaku yang kesembilan belas ini. Di antaranya:

1. Semakin Dewasa
Umur memang bukan menjadi patokan kedewasaan seseorang, namun seiring dengan bertambahnya usia, memalukan sekali bila pola pikir yang dipunyai masih bersifat kekanak-kanakan. Olehnya, haruslah kita mempunyai cara berpikir yang lebih bijak, mampu menempatkan sesuatu sesuai dengan status dan kepentingannya, serta selalu bersikap positif. Malu dong, sama umur!

2. Pendidikan yang Cemerlang
Tentu saja, aku bukan lagi remaja putih abu-abu yang kesehariannya diatur oleh jadwal yang tersusun rapi. Di bangku kuliah, aku harus bersikap lebih disiplin dalam menentukan skala prioritas. Membaca buku sebanyak mungkin, menggali ilmu lebih dalam, mengikuti berbagai kegiatan positif, mengurangi foya-foya dan pesta pora. Dengan memaksimalkan waktu untuk hal-hal yang sifatnya baik, insya Alloh, kesuksesan akan segera berada dalam genggaman.

3. Lebih Dekat Bersama Tuhan
Selama ini aku mungkin terlalu sibuk untuk urusan duniawi, hingga terkadang mengabaikan Zat yang telah memberiku kesempatan untuk masih bisa bernafas dan berkegiatan dengan baik. Aku kemudian sadar satu hal: semakin bertambahnya usia, semakin dekat kita dengan kematian. Tentu saja aku tidak mau meninggal dalam keadaan jauh dari Alloh. Karena bila demikian, siapa lagi yang akan membantuku di alam kubur kelak? Selain itu, dekat dengan Alloh juga akan memudahkan impian dan harapanku yang tertunda. So, dunianya dapat, akhiratnya juga dapat.

4. Menemukan yang Terakhir
Sudah tiga tahun lebih lamanya aku “introspeksi diri”. Walaupun dalam kurun waktu itu, aku sempat dekat dengan beberapa pria yang—lumayan menguji mental dan perasaan, dan saat ini aku masih menyimpan satu nama dalam hati. Tapi aku tidak pernah berhenti berdoa, semoga Alloh memberikanku petunjuk tentang “orang terakhir” yang telah ditulisnya dalam Lauhul Mahfudz untukku. Semoga saja Alloh mengizinkanku bertemu, dekat dan bersama-sama dengannya dimulai dari usiaku yang kesembilan belas ini, agar aku bisa belajar menempatkannya dalam hatiku mulai dari sekarang. Semoga Alloh selalu memberiku petunjuk.

Untuk keluarga, teman-teman dan kerabat yang telah memberikan ucapan selamat ulang tahun beserta wishes-nya, terima kasih banyak. Jazakallah khairan. Thank you so much. Merci beaucoup. Danke schon. Arigatou Gozaimasu. Xie Xie. Semoga harapan-harapan yang kalian sebutkan, yang kutulis di atas, dijabah oleh Alloh Swt. Amin ya Robbal Alamin.

Tuesday, January 21, 2014

Aku, Kau, dan Kaleng Susu Putih

Juli, 2012…

Seperti pada beberapa malam sebelumnya, kulakukan pekerjaanku sebagai koordinator lapangan seperti biasa. Saat itu aku sedang memerika keadaan seluruh ruangan. Semuanya aman. Di luar sana, para aktor dan aktris mengerjakan skenarionya dengan baik. Penonton terpukau dengan drama yang kami sajikan, terbukti dari tepuk tangan mereka yang kudengar keras dari sini. Aku yang bekerja sebagai salah satu kru dari acara terdahsyat sepanjang tahun ini merasa puas. Tim kami mampu bekerja sama dengan baik.

Malam itu, semuanya sibuk. Aku pun demikian. Rekan-rekan yang lain bertugas sesuai bidangnya masing-masing. Aku sedang berada di ruang tamu sambil memeriksa keadaan seluruh perabotan. Tak lama kemudian, satu persatu tamu mulai berdatangan. Aku satu-satunya panitia yang berada di sana tentu harus memberi pelayanan yang baik. Yang lain pada kemana, sih?!

Woy, kalian di mana?! Gue sendiri nih di ruang belakang. Tamunya banyak bgt, bantuin kek!

Kukirim pesan singkat itu pada rekan-rekan yang lain. Sambil melayani tamu-tamu yang datang, sesekali kulirik jam tanganku. Dua menit. Lima menit. Sepuluh menit. Hanya ada beberapa respon dari mereka,

Sorry, lagi sibuk ngejagain gerbang, nih.

Gue lagi di ruang utama. Yang lain pada istirahat, udah dua hari nggak ada tidur.

Lo stay aja dulu di sana, bentar gue nyusul. Lagi ngurusin penonton.

Dengan dongkol dan usaha untuk tetap bersabar, kusimpan ponselku di kantong. Tamu yang berdatangan semakin banyak, membuatku kewalahan mengatasi mereka. Bisa mampus gue kalo sendirian! Sembari hatiku mengomel-ngomel dengan sumpah serapah, tanpa sengaja kulayangkan pandangan ke arah pintu masuk dan menangkap sesosok lelaki yang berdiri di sana. Hey, tunggu dulu! Itu, kan…

Pikiranku menerawang sejenak pada beberapa tahun yang lalu. Wajah itu hadir kembali setelah sekian lama hilang tanpa kabar. Tubuhnya yang makin tinggi dan berisi dibalut jaket garis-garis berwarna biru dan putih, rambutnya yang hitam dan lurus dibiarkan terurai hingga ke leher seperti aktor drama Asia. Rahang pipinya semakin mengeras dengan sorot matanya yang tajam. Sorot mata yang mampu meluluhkan hampir setiap wanita yang memandangnya lekat-lekat, tak terkecuali aku.

Masih dengan pembawaannya yang cuek dan tenang, ia berjalan lalu duduk di salah satu kursi yang disediakan. Pandangannya disapukan ke segala arah, lalu berhenti padaku. Cepat-cepat kualihkan pandanganku yang sedari tadi menatapnya. Aku tertunduk malu. Dalam hati aku berjanji, bila pandangan kami bertemu lagi, aku harus tersenyum untuknya!

Aku segera menguasai keadaan. Dengan cekatan, kuseduh kopi dan teh untuk tamu-tamu yang datang, tak terkecuali untuknya. Sesekali aku mencuri pandang, lalu cepat-cepat kualihkan mataku. Tiba-tiba, aku teringat rekan-rekanku yang lain. Ya ampun, udah hampir sejam gue nungguin mereka, dan sampai sekarang belum datang juga?!

Kucoba menghubungi mereka dengan mengirimkan sms, tapi tetap belum ada respon. Setelah mengobrol sejenak dengan tamu-tamu tadi, aku meminta izin keluar sebentar dan berjanji akan kembali lagi dalam waktu yang tak lama. Sambil berjalan, kulirik matanya sejenak. Dan ternyata…dia juga sedang menatapku! Mata kami lalu saling berpandangan, lalu kurasakan dengan cepat jantungku berdegup. Aku harus tersenyum! Tekadku dalam hati. Ketika kucoba menarik bibirku dengan pelan-pelan, tanpa sadar kakiku menyentuh sebuah kaleng susu putih dan alhasil, aku menendangnya secara tidak sengaja. Kampreeeet!!! Siapa sih yang udah buang sampah sembarangan??!! Perhatian lalu kualihkan pada kaleng itu, dan…oh my God, tepat di bawah kursinya! Segera kupungut kaleng pembawa sial itu, lalu berjalan cepat keluar dari ruangan. Kepalaku tertunduk, wajahku memerah karena menahan malu. Duh…niatnya mau romantis dikit eh malah kena sial! Entah apa yang berada di pikiran tamu spesial itu, pikiranku sudah tidak sanggup membayangkannya. Saltingnya kelewatan! Dalam hati aku berjanji, tidak akan menampakkan wajahku di depannya untuk sementara waktu. Malu abis!!!

Di luar sana, kulihat rekan-rekanku dari kejauhan berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahku. Dengan memasang raut wajah yang super bete, kutatap mereka satu persatu.

“Dari mana aja?” tanyaku ketus.

“Sorry, Sel. Gue tadi sibuk banget diluar. Kita gantian, ya, lo istirahat aja dulu. Biar gue sama teman-teman yang lain ngurusin di sini.”

Dengan hati yang berusaha untuk tetap bersabar, kuanggukkan kepalaku. Gak papa, deh, itung-itung kesempatan buat gue nyembunyiin malu gara-gara kaleng sialan tadi.

Malam itu menjadi tidak terlupakan olehku. Siapa sih, yang bisa ngelupain momen ketika lo ketahuan salah tingkah di depan cowok yang lo suka? Memalukan! Rasanya ingin sekali kusembunyikan wajahku di dalam kantong plastik untuk sementara waktu, atau mungkin menggantinya dengan wajah orang lain.

Malam itu menjadi cerita tersendiri dalam hidupku. Setelah sekian lama terpisahkan oleh jarak dan waktu, kutemukan kembali puing-puing cinta yang sempat terabaikan. Aku, kau, dan kaleng susu putih.

Thursday, January 9, 2014

Aku dan Kau

“Kembali… Kulihat awan membentuk wajahmu,
Desau angin meniupkan namamu,
Tubuhku terpaku...



Halo negeri dongengku! Kemarin kita berjumpa lagi, senang rasanya bisa berada di sana. Ada taman-taman yang indah, sungai yang jernih, kupu-kupu yang cantik, bunga-bunga yang harum, dan tentunya…kau.

Tanganku sepertinya enggan merasa jenuh menceritakan segala hal tentang dirimu. Tentang perasaan yang terpendam bertahun-tahun lamanya. Tentang cinta yang hidup dalam diam. Tentang rindu yang tidak berujung. Tentang pertemuan yang entah kapan waktu akan menjemputnya. Tentangmu.

Ya, lagi lagi kau. Kau seperti tidak ingin beranjak dari pikiranku. Dan hatiku. Kau adalah impian dan negeri dongeng yang hidup di dalam khayalanku. Kau adalah bunga dari setiap tidur nyenyakku. Kau manusia yang maya di mataku.

Ah, apalah aku ini. Tidak ada yang menarik. Pantas saja kau betah tinggal di negeri dongengku, alam nyata seperti enggan menerimamu masuk di dalamnya. Jangan tanya sampai kapan, aku pun tidak bisa menjawabnya.

Mungkin saja, kau tidak lebih dari sekadar pangeran negeri dongeng.

Tapi hatiku selalu berharap, kenyataan akan menarikmu masuk ke dalamnya.


“…and it’s time to face the truth,
I will never be with you.”