Tuesday, December 31, 2013

Aku dan Malam Tahun Baru

It’s already the last day in 2013…


Ketika semua orang sibuk mempersiapkan acara malam tahun baru, aku hanya duduk berdiam diri di kamarku. Bukannya tidak mau berpartisipasi, aku kepingin sekali malah. Bagaimana ya rasanya bertahun baru dengan teman-teman? Maybe we could have a small party, atau mungkin hanya jalan-jalan sambil menikmati kemilau kembang api di atas panorama laut. Ah, asyik sekali kelihatannya. Namun sayang, orangtuaku terlalu sayang padaku. “Tidak boleh,” katanya. “Bahaya. Banyak kasus kriminal yang terjadi di malam tahun baru.” Ya, orangtuaku memang bukan tipe orang yang gampang memberikan izin pada anaknya untuk menginap di rumah teman, atau pulang hingga di atas jam 12 malam. Kecuali untuk alasan yang jelas, dan tujuannya bukan untuk hura-hura. Serta ada beberapa orang yang bisa menjamin keselamatanku (re: bareng teman yang dikenal baik sama mereka). Ya, ambil positifnya sajalah. Mereka terlalu sayang padaku.

Jadi daripada hanya duduk kosong, berdiam diri di sudut kamar sambil meratapi nasib yang tidak bisa bertahun baruan bersama teman-teman, akhirnya aku membuat sebuah solusi. Ya, introspeksi diri.

Menurutku, ini jauh lebih bermanfaat. Introspeksi diri atas apa yang telah dilakukan selama tahun sebelumnya, dan memasang beberapa indikator pencapaian untuk tahun selanjutnya. Sebenarnya untuk kegiatan introspeksi diri ini tidak perlu hanya dilakukan pada malam tahun baru saja, namun di setiap saat. Akan tetapi, menurutku ini penting untuk menentukan beberapa target di tahun yang akan datang. Dalam kamus hidupku sendiri, kategori target hidupku ada empat, yaitu target tahunan, target bulanan, target mingguan dan target harian. Target bulanan, mingguan dan harian merupakan hasil penjabaran dari target tahunan. Makanya, aku perlu menetapkan beberapa target tahunan di awal tahun.

Alhamdulillah, ada beberapa keinginanku yang tercapai di tahun 2013. Di antaranya:
1. Lulus Ujian Nasional, meskipun nilai ujiannya jauh dari harapan.
2. Lulus di Universitas Hasanuddin melalui jalur undangan.
3. Bertemu dengan seseorang.

Di antara semua harapan yang kupasang untuk tahun 2013, hanya itu saja yang tercapai. Mungkin beberapa yang tertunda akan kembali menjadi harapan di tahun 2014 mendatang. Ya, manusia memang hanya bisa berencana tapi Tuhanlah yang menentukan.

Dan, inilah harapan-harapanku di tahun 2014 yang akan datang. Ada banyak sebenarnya, di antaranya:
1. Tinggi badan mencapai 170cm. Tinggi dan berat badan yang ideal adalah idaman kaum hawa, termasuk aku sendiri.
2. Bekerja sebagai tentor bahasa Indonesia di salah satu bimbingan belajar.
3. Lulus SBMPTN 2014? Entahlah. Semoga Tuhan selalu memberikanku petunjuk untuk hal yang satu ini.

Jadi, di malam tahun baru 2014 ini selain membuat berbagai macam resolusi, kuputuskan untuk membaca sebuah novel, atau mungkin menonton televisi yang menayangkan film-film menarik dengan ditemani oleh beberapa cemilan ringan. Terkadang, teman terbaik di saat sedang kesepian ialah makanan dan buku.


By the way, fellas, Happy New Year 2014 :):):)

Friday, December 27, 2013

Why

Kenapakah? Kenapa orang itu? Kenapa bukan orang lain? Dan kenapa harus...ah.

Tidak pernah tidak kukutuk diriku. Logikaku memberontak, tidak setuju. Lagipula...waktunya memang benar-benar tidak tepat. Dan tokohnya. Juga situasinya.

Kenapakah?

Kenapa harus terlalu peduli?

Kenapa harus berlagak seperti patung?

Kenapa ketika semua orang bersikap biasa, aku malah terpaku dengan beragam pikiran di kepalaku?

Aku baik-baik saja hingga orang itu mengisi pikiranku. Dan hatiku.

Kenapakah?

Kenapa logika sulit sekali menyatu dengan perasaan?

Sunday, December 22, 2013

Cerpen - Pesawat Kertas

Aku selalu suka saat-saat di mana aku merasa dekat dengan Sang Maha Cinta. Dalam pekatnya malam, saat mentari pagi tersenyum cerah, atau mungkin ketika hujan turun. Alasannya singkat: aku bisa bercerita banyak pada-Nya tentang dia. Ya, sesederhana itu aku mencintainya—dalam diam dan doa.

Aku tidak pernah jenuh berjalan. Sesekali kerikil membuat hidupku tersandung, mematikan nyala harapan-harapanku. Tetapi selalu saja ada yang membuat api harapan itu tersulut kembali, dan semakin aku memaknainya lebih dalam, kutemukan sendiri jawabannya: keyakinan.

Aku tidak percaya denganroman-roman picisan negeri dongeng. Aku tidak percaya sinetron—atau drama dengan sandiwara hebatnya. Ini ceritaku dengan keelokannya sendiri, aku percaya cinta akan menjemputku menuju kehidupan yang nyata.


***


Senja di sore hari itu kembali hadir dengan garis-garis tipis berwarna oranye di atas langit tempatku berdiri. Angin sepoi-sepoi menyibak seluruh permukaan kulitku dengan halus seakan ingin berkawan denganku. Burung-burung berkicau dengan riang, seperti sedang berdendang untukku. Senja yang sempurna.

Tujuh tahun silam, di tempat ini. Dengan hamparan danau yang jernih dan senja yang setia menemani, aku bersama segelas teh hangat dan setumpuk buku di sampingku. Duduk di atas rerumputan yang hijau, kuambil pena dan selembar kertas lalu kutulis sebait puisi di atasnya. Setelah selesai, kulipat kertas tadi membentuk sebuah pesawat lalu kuterbangkan ke arah utara. Pesawat itu terbang ke sana kemari dibawa oleh angin, hingga jatuh tepat di depan seorang gadis berkerudung merah muda bermata coklat. Ayu, seayu wajah dan hatinya.

Aku menari di atas awan
Membawa rindu dalam sebuah cawan
Demi senja yang mewakili cakrawala,
Kutitip pesan pada SangMaha Cinta
Untuk Kau jaga dia—bidadari tanpa sayap

Gadis itu menghampiriku dengan pesawat kertas yang kubuat di tangan kanannya. Bibirnya melengkung tipis dengan kedua cawak di pipinya sambil menyodorkan pesawat kertas itu kepadaku. Entah mengapa saat itu waktu seperti berhenti berjalan, membiarkanku terhanyut di dalamnya. Aku seperti sebuah patung, atau mungkin mayat hidup. Terbujur kaku dan pucat.

“Ambillah.” Kataku dengan suara yang serak. Susah payah kukumpulkan tenagaku untuk bisa mengucapkan satu kata saja untuknya.

“Benarkah?” Ia menimang pesawat kertas itu selama beberapa detik. “Terima kasih.” Katanya lembut sambil tertunduk malu, kedua pipinya memerah dengan senyum yang berseri-seri. Wajah putihnya yang oval semakin bersinar diterpa mentari senja. Kemudian ia berlalu dengan pesawat kertasku di tangannya yang kini menjadi miliknya.

Aku terdiam beberapa saat sambil memandangnya dari kejauhan hingga ia benar-benar hilang dari pelupuk mataku, begitu pun senja yang menemaniku sedari tadi kini mulai berganti warna. Gema azan berkumandang di angkasa, menyeru kepada setiap insan untuk menghadap pada Penguasa Alam. Kujawab dalam hati panggilan-Nya, tak lupa kuselip nama gadis tadi dalam doaku sembari berharap dijabah oleh Sang Maha Cinta.


***


“Kalian berdua ini, serasi sekali.”

Kalimat singkat nan menggetarkan hati itu tak asing lagi di telingaku. Entah sudah berapa kali kudengar dari mulut teman-temanku kala mendapatiku sedang bercengkerama dengan Ayu—gadis ayu yang hobi mengoleksi pesawat kertasku. Setiap kalimat itu lewat di pendengaranku, sebait doa terucap pula dalam hatiku. Kemudian aku mengamininya dengan penuh pengharapan dan keikhlasan, berharap agar doa-doa itu menjadi nyata dan tak lupa kusisipkan rasa ikhlas atas segala keputusan Sang Maha Cinta.

Bila benar ia masa depanku, maka jagalah api cinta ini di bawah lindungan-Mu. Pertemukan pula kami di saat yang benar-benar tepat. Bila bukan, berikan hati yang lapang untukku dan aku yakin, penggantinya akan jauh lebih baik. Amin.

Ya, sesederhana itu aku mencintainya.


***


Aku selalu suka saat-saat tengah malam, di mana aku bisa berdialog sepuasnya dengan Tuhanku. Atau ketika hujan turun, dan aku akan berdoa sebanyak mungkin. Di dalam kepercayaanku, berdoa pada saat-saat itu akan lebih mudah dikabulkan. Maka tidak kusia-siakan nikmat ini begitu saja, kucurahkan segalanya hanya kepada Yang Maha Mendengar—tidak terkecuali tentang gadis itu.

Hingga pada akhirnya doaku benar-benar terjabah. Lima tahun yang lalu dengan sepenuh hati, dibimbing oleh penghulu dan disaksikan beberapa hadirin, kuucapkan ijab kabul dengan mantap. Rasa syukur dan bahagia tiada tara ada dalam diriku kalapara saksi mengucapkan kata sah. Ditambah lagi ketika kupasangkan cincin emas di jari manis Ayu, semakin besar rasa cintaku pada Tuhan yang telah menyentuh doa-doaku.

“Masih belum puas menikmati senjanya?”

Aku terlalu sibuk dengan lamunanku sehingga tanpa kusadari sejak dari tadi Ayu berdiri di belakangku. Senyum tipis itu kembali tersungging dengan manis tatkala ia duduk di sampingku dengan beberapa buah pesawat kertas di pangkuannya. Lalu kami bercengkerama bersama, menghabiskan senja di hari ulangtahun pernikahan kami yang kelima.

“Fahran…”

Aku menoleh ke arah istriku itu. Ia lalu menggenggam tanganku dengan lembut.

“Aku seperti perempuan paling beruntung di dunia yang menjadi istri dari seorang suami yang selama ini kucintai dalam diam,”

“Aku selalu suka saat-saat di mana aku merasa dekat dengan Sang Maha Cinta. Baik itu di sepertiga malam, atau ketika hujan turun. Alasannya singkat, Fahran: Karena aku yakin seluruh munajatku tentangmu akan dikabulkan,”

Aku terdiam beberapa saat. Kubiarkan Ayu menggenggam erat kedua tanganku.

“Aku diam bukan berarti aku tidak peduli. Aku hanya mendoakanmu, sesederhana itu cintaku.”

Lalu kucium kedua punggung tangannya, kemudian kubenamkan wajahku di sana. Ada air mata bahagia yang mengalir di pipiku. Rasa syukur tiada henti-hentinya kuucapkan pada Sang Maha Cinta atas segala karunia-Nya.

Ana uhibbuka fillah, Fahran.”

Kuangkat wajahku pelan, lalu kukecup keningnya. Kemudian mataku beralih pada pesawat-pesawat kertas yang dibuatnya tergeletak begitu saja. Kuambil satu persatu, dan kuterbangkan ke udara. Ayu tersenyum kecil dan ikut menerbangkan pesawat-pesawat kertas itu. Hingga pada pesawat yang terakhir, kubiarkan ia menerbangkannya dengan sebait puisi di sana,

Cintaku tidak berbuah semu
Tidak sendu, tidak pula ragu
Dan demi senja yang selalu kurindu
Kukirimkan pesan pada Sang Maha Cinta
Untuk Kau abadikan kami dalam surga


“Ayu…”

Wajah lembutnya menoleh ke arahku, masih dengan senyumnya yang khas. Manis.

Wa ana uhibbuki fillah.”

Pesawat kertas itu menari-nari di udara.

Negeri Dongengku Hidup Kembali

Negeri dongengku punah. Istananya hancur. Rakyatnya mati. Negeri dongengku sisa puing-puing.

Realita menampar pipiku dengan keras, membangunkanku dari pembaringan. Bunga tidurku layu, tanahnya gersang. Negeri dongengku benar-benar hancur.

Lalu dengan pilu, kususun kembali kepingan-kepingan negeri dongengku. Kemudian runtuh. Lalu kususun lagi. Runtuh lagi. Kususun lagi. Aku tidak menyerah sampai akhirnya negeri dongengku kembali utuh.

Kusimpan cerita di dalamnya dengan hati-hati, kulipat rapi, kusisipkan harapan, kutiupkan doa. Lalu kuterbangkan menembus langit untuk kukirimkan pada Penguasa Semesta. Negeri dongengku hidup kembali.

Negeri dongeng yang baru, harumnya semerbak bunga, istananya tersusun apik, rakyatnya sejahtera. Negeri dongengku punya nyawa.