Monday, April 29, 2013

XXIX

Senin, 4 Juli 2011

Masih teringat dengan jelas ketika aku mengenakan seragam putih abu-abu di dalam sebuah ruangan dengan siswa yang se-angkatan denganku berjumlah 28 orang. Ku lirik ke kanan dan kiri, sebagian dari mereka ku kenal baik, sebagian lagi terlihat asing di pelupuk mataku. Oh, jadi mereka ini yang akan bergelut di satu organisasi denganku nanti? Bagaimana caranya menyatu dengan mereka? Itulah yang tersirat dalam pikiranku saat itu, betapa sulitnya (harus) beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang baru.
Memasuki hari terakhir, kami semua berpelukan dalam tangis. Lima hari empat malam, waktu yang cukup singkat untuk menyatukan 28 orang asing yang pada mulanya tidak saling mengenal. Tawa, tangis, susah, senang, bersama-sama dilalui hingga kami dinyatakan ‘LULUS’ dari pengkaderan itu. Dari sinilah, ‘semangat baru’ itu menyala. Dari sinilah, lahir sebuah keluarga sederhana yang selalu bahagia. Dari sinilah, rumah kecil berukuran tiga kali empat meter itu selalu riuh akan tawa. Dari sini pulalah, cerita tentang kami dimulai. We are always together…

Senin, 21 November 2011

Akhirnya, kami dilantik sebagai pengurus harian periode baru, 2011-2012. Dengan mengenakan seragam putih abu-abu pada barisan khusus di lapangan upacara, nampak 15 orang perempuan terlihat cantik dan 13 orang laki-laki yang gagah. Dipandu oleh seorang protokol, satu persatu dari kami maju ke atas podium dan menyalami kepala sekolah. Semenjak hari itu, rumah kecil nan mungil yang berada pada sisi belakang sekolah resmi milik kami. Tiap hari, baik ketika jam istirahat maupun pulang sekolah, rumah ini selalu saja ramai. Walau sangat sederhana, namun kenyamanannya selalu terjaga. Suatu hari, kami merenovasi rumah kecil ini dan ketika selesai, betapa bahagia dan senangnya kami. Rumah kami makin cantik.
Waktu demi waktu berlalu, roda terus berputar menyusuri aspal. Terkadang batu-batu kecil menghentikan langkah kaki kami, membuat kami tersandung, kesakitan, namun hal yang terpenting adalah bangkit dan terus berjalan. Begitu pula alur cerita yang kami tempuh, tak selamanya tawa yang terlihat. Duka, sedih, tangis pun acapkali kami rasakan. Tapi selalu saja ada yang menghibur, memberikan motivasi dan semangat untuk bangun dari kesedihan-kesedihan itu sehingga yang lebih mendominasi kehidupan kami adalah hal-hal yang positif.
“Kita ini ibarat tubuh seorang manusia. Jika satu saja anggota tubuh yang hilang atau rusak, kita akan cacat.” Aku beruntung, sangat beruntung telah menjadi bagian dalam keluarga ini.

Senin, 25 Juni 2012

“Waktu kita tidak akan lama lagi, tinggal menghitung bulan.”
Ah, rasanya cepat sekali waktu berlalu. Baru saja setahun yang lalu kami berada pada bangku-bangku yang mereka tempati, kini kami akan melahirkan kader-kader baru. Ya, merekalah yang kelak akan menggantikan posisi kami. Mereka yang akan memegang tongkat estafet kepengurusan selanjutnya. Jikalau bisa, ingin rasanya aku kembali pada masa itu, bertemu dengan 28 orang asing, dididik dan dibina bersama-sama. Aku rindu momen itu.
Suatu malam, kami duduk membentuk lingkaran. Sebuah botol diputar di tengah-tengah kami searah jarum jam. Satu persatu dari kami yang mengenai ujung botol itu akan diberikan berbagai pertanyaan dan harus dijawab dengan jujur. Salah seorang dari kami memberikan sebuah nasihat yang hingga saat ini belum terlupakan olehku,
“Coba lihat ini,” ia menghadapkan kedua telapak tangannya dengan sejajar, lalu membengkokkan kedua jari tengahnya dan menghimpitnya satu sama lain sehingga ibu jari, telunjuk, jari manis dan jari kelingking saling bertemu ujungnya yang kanan dan kiri. “Jari tengah ini anggap saja orang yang sedang bertunangan. Jari manis, anggap orang yang telah menikah. Ibu jari, jari telunjuk, dan jari kelingking anggap orang yang sedang berpacaran. Coba kalian pisahkan si jari manis, bisa?”
Kami mencobanya. Sulit, namun bisa.
“Sekarang, coba pisahkan ibu jari, jari telunjuk, dan jari kelingking. Bisa?”
Tentu saja, dengan mudah kami melakukannya dibanding pada jari manis tadi.
“Yang jari tengah tidak usah dipedulikan.” Lanjutnya. “Kalian tahu apa kesimpulannya?”
Kami menggeleng.
“Si jari manis, walau sulit untuk dipisahkan, namun bisa. Sedangkan si ibu jari, jari telunjuk, dan jari kelingking tadi dengan mudahnya dipisahkan. Artinya, mereka yang telah diikat tali pernikahan saja masih bisa berpisah, apalagi mereka yang hanya berpacaran. Gampang sekali untuk dipisahkan.”
Kami mengangguk mengerti, lalu mengulangnya berkali-kali. Nasihat yang pas untuk teman kami yang sedang dilanda galau pada malam itu.

Jumat, 28 September 2012

“Mari berdoa bersama-sama, agar laporan pertanggung jawaban kita hari ini dapat berjalan dengan lancar.”
Kami berdiri membentuk sebuah lingkaran besar dengan kepala tertunduk. Setelah selesai, kami saling merangkul satu persatu, beberapa diantara kami menitikkan air mata. Sedih karena pada hari ini kepengurusan kami akan berakhir, senang karena program kerja yang dilaksanakan selama satu tahun ini berjalan dengan baik.
“Apakah kita akan terus bersama-sama?”
“Tentu saja. We are always together.”
“Tapi sebentar lagi, kita tidak akan tinggal di rumah ini. Tak ada lagi yang tinggal sampai malam, tak ada lagi yang permainan-permainan konyol yang dilakukan, tak ada lagi yang selalu melawak hingga perut kami benar-benar terkocok, tak ada lagi yang bernyanyi untuk menghibur kami, tak ada lagi cerita yang akan kami dengarkan, tak ada lagi…”
Ah, mengapa waktu cepat sekali berlalu? Padahal aku belum puas menikmati masa-masaku bersama mereka. Mengapa satu tahun terasa begitu cepat? Apakah setelah ini, kami masih akan terus bersama-sama? Apakah… Mengapa… Bagaimana…

Beberapa bulan kemudian…
Kami masih terus bersama-sama. Suatu hari, kami berkumpul di rumah salah seorang dari kami seusai ujian akhir semester satu. Malam kami habiskan dengan canda dan tawa riang yang menggema di udara. Suasana seperti ini yang sangat aku rindukan, sekarang… Waktu terus bergulir, mengalir layaknya air sungai. Tapi, ke mana arus akan membawa kita? Di mana muara itu?
Kawan, aku tidak pernah peduli dengan apa yang orang-orang katakan tentang kita. Yang aku tahu, kita adalah satu. Yang aku rasakan, kita adalah keluarga. Aku tahu, kalian juga menyimpan perasaan itu. Perasaan rindu yang menusuk akan kebersamaan kita, perasaan untuk ingin mengulang apa yang telah kita lalui bersama-sama. We are always together.
Kawan, cobalah kalian tengok di saat wajah kita masih terlihat baru oleh teman-teman yang lain, lalu pindahkan ingatan kalian kepada saat di mana wajah-wajah itu mulai akrab pada pandangan kalian. Hal-hal yang telah kita lalui bersama-sama, susah, senang, sedih, tawa, canda, tangis, suka maupun duka. Kalian akan membiarkan momen indah itu lewat begitu saja? Lusuh? Tak terawat? Terlupakan? Lalu apalah arti kebersamaan yang telah kita lalui selama ini? Aku sangat tidak ingin hal itu hanya sebuah ilusi belaka yang hanya terbayang dalam imajinasi. We are always together.
Kawan, di mana pun kalian nanti, siapa pun teman kalian nanti, aku hanya ingin kalian tahu satu hal, bahwa aku, sangat bersyukur kepada Yang Maha Kuasa karena aku telah mengenal, bersama, dan menjadi bagian dari kalian. Kita tak akan pernah terpisahkan, kita adalah keluarga, kita adalah satu tubuh. We are always together.
Kawan, ingatlah rumah kecil kita. Ruangan yang amat sangat sederhana, namun penuh akan kenangan dan cerita indah tentang kita. Biarlah sisi-sisi temboknya menjadi saksi bisu akan kebersamaan kita dahulu. We are always together.
Kawan, apakah kalian juga merasakan hal yang sama dengan sepertiku? Sepi, sunyi, dan hampa. Aku rindu kalian. Aku rindu menghabiskan detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, dan hari demi hari bersama kalian. We are always together.
Kawan, kalian telah melukis warna warni di atas kanvas hidupku selama aku mengenakan seragam putih abu-abuku. Terima kasih ku haturkan kepada kalian, keluarga kecilku.
Kawan, kita always together, kan? Walau nanti kita terpisahkan oleh jarak, aku yakin, ikatan tali persaudaraan yang pernah terjalin itu tak akan putus.
Kawan, kita always together, kan? Katakan ‘Ya’, agar ku rangkul dirimu semua sebagai tanda bahwa kita akan selalu bersama-sama. Katakan ‘Ya’, agar airmata yang ku teteskan bukanlah sebuah ratapan kesedihan. Katakan ‘Ya’, agar kita akan tetap selalu bergandengan tangan.
Kawan, kita always together, kan?
Yes, we are always together, my lovely twenty nine


1 comment: