Tuesday, January 21, 2014

Aku, Kau, dan Kaleng Susu Putih

Juli, 2012…

Seperti pada beberapa malam sebelumnya, kulakukan pekerjaanku sebagai koordinator lapangan seperti biasa. Saat itu aku sedang memerika keadaan seluruh ruangan. Semuanya aman. Di luar sana, para aktor dan aktris mengerjakan skenarionya dengan baik. Penonton terpukau dengan drama yang kami sajikan, terbukti dari tepuk tangan mereka yang kudengar keras dari sini. Aku yang bekerja sebagai salah satu kru dari acara terdahsyat sepanjang tahun ini merasa puas. Tim kami mampu bekerja sama dengan baik.

Malam itu, semuanya sibuk. Aku pun demikian. Rekan-rekan yang lain bertugas sesuai bidangnya masing-masing. Aku sedang berada di ruang tamu sambil memeriksa keadaan seluruh perabotan. Tak lama kemudian, satu persatu tamu mulai berdatangan. Aku satu-satunya panitia yang berada di sana tentu harus memberi pelayanan yang baik. Yang lain pada kemana, sih?!

Woy, kalian di mana?! Gue sendiri nih di ruang belakang. Tamunya banyak bgt, bantuin kek!

Kukirim pesan singkat itu pada rekan-rekan yang lain. Sambil melayani tamu-tamu yang datang, sesekali kulirik jam tanganku. Dua menit. Lima menit. Sepuluh menit. Hanya ada beberapa respon dari mereka,

Sorry, lagi sibuk ngejagain gerbang, nih.

Gue lagi di ruang utama. Yang lain pada istirahat, udah dua hari nggak ada tidur.

Lo stay aja dulu di sana, bentar gue nyusul. Lagi ngurusin penonton.

Dengan dongkol dan usaha untuk tetap bersabar, kusimpan ponselku di kantong. Tamu yang berdatangan semakin banyak, membuatku kewalahan mengatasi mereka. Bisa mampus gue kalo sendirian! Sembari hatiku mengomel-ngomel dengan sumpah serapah, tanpa sengaja kulayangkan pandangan ke arah pintu masuk dan menangkap sesosok lelaki yang berdiri di sana. Hey, tunggu dulu! Itu, kan…

Pikiranku menerawang sejenak pada beberapa tahun yang lalu. Wajah itu hadir kembali setelah sekian lama hilang tanpa kabar. Tubuhnya yang makin tinggi dan berisi dibalut jaket garis-garis berwarna biru dan putih, rambutnya yang hitam dan lurus dibiarkan terurai hingga ke leher seperti aktor drama Asia. Rahang pipinya semakin mengeras dengan sorot matanya yang tajam. Sorot mata yang mampu meluluhkan hampir setiap wanita yang memandangnya lekat-lekat, tak terkecuali aku.

Masih dengan pembawaannya yang cuek dan tenang, ia berjalan lalu duduk di salah satu kursi yang disediakan. Pandangannya disapukan ke segala arah, lalu berhenti padaku. Cepat-cepat kualihkan pandanganku yang sedari tadi menatapnya. Aku tertunduk malu. Dalam hati aku berjanji, bila pandangan kami bertemu lagi, aku harus tersenyum untuknya!

Aku segera menguasai keadaan. Dengan cekatan, kuseduh kopi dan teh untuk tamu-tamu yang datang, tak terkecuali untuknya. Sesekali aku mencuri pandang, lalu cepat-cepat kualihkan mataku. Tiba-tiba, aku teringat rekan-rekanku yang lain. Ya ampun, udah hampir sejam gue nungguin mereka, dan sampai sekarang belum datang juga?!

Kucoba menghubungi mereka dengan mengirimkan sms, tapi tetap belum ada respon. Setelah mengobrol sejenak dengan tamu-tamu tadi, aku meminta izin keluar sebentar dan berjanji akan kembali lagi dalam waktu yang tak lama. Sambil berjalan, kulirik matanya sejenak. Dan ternyata…dia juga sedang menatapku! Mata kami lalu saling berpandangan, lalu kurasakan dengan cepat jantungku berdegup. Aku harus tersenyum! Tekadku dalam hati. Ketika kucoba menarik bibirku dengan pelan-pelan, tanpa sadar kakiku menyentuh sebuah kaleng susu putih dan alhasil, aku menendangnya secara tidak sengaja. Kampreeeet!!! Siapa sih yang udah buang sampah sembarangan??!! Perhatian lalu kualihkan pada kaleng itu, dan…oh my God, tepat di bawah kursinya! Segera kupungut kaleng pembawa sial itu, lalu berjalan cepat keluar dari ruangan. Kepalaku tertunduk, wajahku memerah karena menahan malu. Duh…niatnya mau romantis dikit eh malah kena sial! Entah apa yang berada di pikiran tamu spesial itu, pikiranku sudah tidak sanggup membayangkannya. Saltingnya kelewatan! Dalam hati aku berjanji, tidak akan menampakkan wajahku di depannya untuk sementara waktu. Malu abis!!!

Di luar sana, kulihat rekan-rekanku dari kejauhan berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahku. Dengan memasang raut wajah yang super bete, kutatap mereka satu persatu.

“Dari mana aja?” tanyaku ketus.

“Sorry, Sel. Gue tadi sibuk banget diluar. Kita gantian, ya, lo istirahat aja dulu. Biar gue sama teman-teman yang lain ngurusin di sini.”

Dengan hati yang berusaha untuk tetap bersabar, kuanggukkan kepalaku. Gak papa, deh, itung-itung kesempatan buat gue nyembunyiin malu gara-gara kaleng sialan tadi.

Malam itu menjadi tidak terlupakan olehku. Siapa sih, yang bisa ngelupain momen ketika lo ketahuan salah tingkah di depan cowok yang lo suka? Memalukan! Rasanya ingin sekali kusembunyikan wajahku di dalam kantong plastik untuk sementara waktu, atau mungkin menggantinya dengan wajah orang lain.

Malam itu menjadi cerita tersendiri dalam hidupku. Setelah sekian lama terpisahkan oleh jarak dan waktu, kutemukan kembali puing-puing cinta yang sempat terabaikan. Aku, kau, dan kaleng susu putih.

Thursday, January 9, 2014

Aku dan Kau

“Kembali… Kulihat awan membentuk wajahmu,
Desau angin meniupkan namamu,
Tubuhku terpaku...



Halo negeri dongengku! Kemarin kita berjumpa lagi, senang rasanya bisa berada di sana. Ada taman-taman yang indah, sungai yang jernih, kupu-kupu yang cantik, bunga-bunga yang harum, dan tentunya…kau.

Tanganku sepertinya enggan merasa jenuh menceritakan segala hal tentang dirimu. Tentang perasaan yang terpendam bertahun-tahun lamanya. Tentang cinta yang hidup dalam diam. Tentang rindu yang tidak berujung. Tentang pertemuan yang entah kapan waktu akan menjemputnya. Tentangmu.

Ya, lagi lagi kau. Kau seperti tidak ingin beranjak dari pikiranku. Dan hatiku. Kau adalah impian dan negeri dongeng yang hidup di dalam khayalanku. Kau adalah bunga dari setiap tidur nyenyakku. Kau manusia yang maya di mataku.

Ah, apalah aku ini. Tidak ada yang menarik. Pantas saja kau betah tinggal di negeri dongengku, alam nyata seperti enggan menerimamu masuk di dalamnya. Jangan tanya sampai kapan, aku pun tidak bisa menjawabnya.

Mungkin saja, kau tidak lebih dari sekadar pangeran negeri dongeng.

Tapi hatiku selalu berharap, kenyataan akan menarikmu masuk ke dalamnya.


“…and it’s time to face the truth,
I will never be with you.”