Tuesday, May 7, 2013

Surat dari Mesir

Suasana Alexandria pada subuh itu dingin sekali dengan Laut Mediterania yang menghiasi keindahan salah satu Kota di Mesir ini. Di sekitar pesisir, banyak turis maupun penduduk lokal yang berjalan-jalan hanya sekadar untuk menikmati indahnya karya Tuhan yang Maha Agung ini. Memang, Kota Alexandria selalu diagung-agungkan bagi setiap pengunjung Negara Seribu Menara.
Sally terbangun dari tidurnya. Kenapa semuanya tiba-tiba gelap? Mungkinkah… ah ternyata hanya mimpi. Ia terduduk lesu di atas kasurnya. Mimpi yang indah, apakah kesempatan itu benar-benar ada? Kesempatan untuk bersama-sama dengan orang yang dicintainya, orang yang selalu terselip namanya dalam doanya, orang yang menjadi penyemangatnya hingga kini. Entahlah, pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya enggan terjawab sekarang. Mungkin di lain waktu.
Sally bangkit lalu mengambil air wudhu. Dibasuhnya tangan, wajah, lengan, rambut, telinga dan kakinya dengan air dingin. Setelah itu digelarnya sajadah hijau di samping tempat tidurnya. Dalam sujud terakhirnya, ia berdoa lama sekali. Segala keluh kesah ia tumpahkan kepada Yang Maha Mendengar. Tentang keluarganya, kerabatnya, pendidikannya, dan si pemuda itu. Setelah selesai salam, kembali ia tengadahkan tangannya, memohon doa kepada Yang Maha Mengabulkan.
Dan sosok pemuda itu kembali hadir dalam tahajjudnya.
***

Fahmi menutup laptopnya. Ia terlihat gelisah dengan e-mail yang baru saja diterimanya. Lebih tepatnya, yang baru saja ia baca. E-mail itu sudah lama berada di dalam kotak masuknya, namun baru ia baca setelah setahun berlalu. Dari jendela apartemennya, terlihat kolam renang di lantai dasar dan pemandangan indah Kota Makassar. Ia menatap kosong.
“Fahmi, kamu belum makan siang, nak?” Bu Rara mengagetkan Fahmi.
“Eh, belum, Bu.”
“Fahmi, kamu kan sudah menyelesaikan program magistermu. Apa rencana hidupmu ke depannya?” Bu Rara membelai rambut anaknya.
“Fahmi rencananya mau membuka perusahaan baru lagi di Singapura, sambil kuliah mengambil S3.”
“Lalu?”
“Lalu…”
“Kau tidak berpikir untuk menikah?”
Menikah? Ya. Semua orang pasti ingin menikah. Namun permasalahannya, calon itu belum ada.
“Tapi, Bu…”
“Ibu tahu.” Lirih Bu Rara. “Ibu punya teman, anaknya baru saja menyelesaikan program sarjana di Universitas Al-Azhar. Sebentar lagi ia kembali ke Indonesia. Kalau kau mau, Ibu bisa memintanya untuk menjadi calon istrimu.”
“Ibu sudah pernah melihat orangnya?”
“Ya. Waktu Ibu berkunjung ke Mesir menemui teman Ibu itu. Dia cantik, santun, rajin, cerdas, dan tentu saja shalehah.”
“Siapa namanya?”
“Aisha Farhana.”
Hmm, nama yang indah. Tapi apakah ia mau menikah dengan pria sepertiku?
“Kau shalat istikharah dulu kalau masih bingung. Kalau sudah ada jawabannya, segera hubungi Ibu.”
“Baik, Bu.”
Bu Rara lalu meninggalkan Fahmi sendirian. Aisha Farhana. Jika aku menikahi Aisha, bagaimana dengan perempuan yang mengharapkanku selama delapan tahun itu? Apakah ia sanggup melihatku bersanding di pelaminan dengan perempuan lain?
Fahmi bangkit. Ia merebahkan dirinya di atas kasur nan empuk miliknya.
E-mail itu. Surat cinta yang terpendam dalam diam dan hening. Mengapa aku baru mengetahuinya sekarang? Mengapa waktu kita selalu salah?
Dan mengapa aku tak pernah bisa mengungkapkan perasaan itu?
Pergolakan dengan batinnya membuat Fahmi tertidur pulas.

***

Alexandria International Airport terlihat ramai. Raihan berjalan menuju salah satu taksi dengan sebuah koper besar yang dibawanya.
“Amoun Hotel Alexandria.” Ujarnya lalu taksi itu melaju kencang.
Sesampainya di hotel, ia menuju sebuah restoran di pinggir Kota Alexandria. Sesaat matanya menangkap seorang sosok yang dikenalnya.
“Sally!” Seru Raihan.
Perempuan berjilbab ungu itu berbalik ke kanan. “Raihan!” Sally berjalan pelan ke arah laki-laki yang memanggilnya itu.
“Assalamu’alaikum.” Sally menyapa.
“Wa’alaikum salam.” Raihan menjawab. “Mengapa kau ada di sini?”
“Aku kuliah di sini, baru saja aku selesai diwisuda dua minggu yang lalu. Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?”
Raihan terdiam sejenak. “Aku mencari seseorang.”
“Oh, siapa? Apakah aku mengenalnya?”
“Ya. Kau sangat mengenalnya.”
“Kau tidak ingin memberitahuku? Mungkin saja aku bisa membantumu…”
“Tidak. Tidak perlu, terima kasih. Tanpa kau cari tahu pun, kau telah menemukannya.”
Sally mengerutkan keningnya. “Maksudmu?”
“Ah, sudahlah. Bagaimana kabarmu?” Raihan mengalihkan pembicaraan.
“Alhamdulillah, seperti yang kau lihat sekarang. Aku baik-baik saja.”
“Syukurlah. Delapan tahun kita tidak bertemu, aku tiba-tiba teringat masa-masa kita semasih SMA…”
Sally mampu menangkap sinyal itu. “Sudahlah, Raihan.” Sally melanjutkan, “Ngomong-ngomong, kau kuliah di mana?”
“Ternyata kau masih sama seperti dahulu, selalu mengalihkan pembicaraan yang tidak ingin kau bahas.” Raihan tersenyum.
“Aku ingin memintamu satu hal…” Raihan kemudian teringat tujuannya datang ke Mesir.
“Aku…” ia lalu terdiam, tak mampu meneruskan perkataannya. Semilir angin di Pantai Mediterania menambah suasana ketegangan. “Hm?” Sally mengangkat bahunya.
“Aku…”
“Oh iya, aku ingin memberikanmu sesuatu.” Sally lalu teringat sebuah undangan yang berada di dalam tasnya. “Ini untukmu.”
Raihan menerima undangan berwarna merah itu dengan tangan gemetar. Dibukanya perlahan, lalu dibacanya isinya.
“Sally… Kau… ingin menikah?” tanyanya pelan-pelan.
“Ya.” Sally tersenyum. “Ku harap kau akan datang di hari bersejarahku ini.”
Raihan menatap undangan itu dengan mata berkaca-kaca. “Sasaki Hiroto? Dia…”
“Begitulah.” Sally menjawab. “Maaf, Raihan. Aku harus pamit sekarang. Aku ingin menghubungi rekan-rekanku yang lain mengenai pernikahanku ini. Assalamu’alaikum.” Sally berdiri dari kursinya lalu berjalan pelan-pelan. Pandangan Raihan masih tertuju pada undangan itu. Ah, Sally, baru saja aku ingin memintamu menjadi istriku, ternyata minggu depan kau akan menikah. Raihan tertunduk. Mengapa dulu aku menyia-nyiakan perasaannya? Ah, semuanya kini sudah terlambat.
Maafkan aku, Raihan. Aku sudah tahu maksud kedatanganmu ke sini. Aku hanya bisa berdoa, semoga kau cepat menyusulku dengan menikah bersama perempuan yang pantas denganmu. Aku hanyalah masa lalumu, dan aku telah menemukan masa depanku. Sally berjalan cepat menyusuri El-Bitash Street dengan airmata yang membasahi pipinya.
Sementara itu di Kota Makassar, Indonesia…
“Kau bahagia kan, nak?”
Fahmi tersadar dari lamunannya. “Eh, tentu saja, Bu. Kenapa Ibu tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“Akhir-akhir ini Ibu sering melihat kamu murung. Kamu sedang tidak dalam masalah, kan?”
“Tidak, Bu. Mungkin Fahmi hanya sedikit gugup. Ibu tidak perlu khawatir, Fahmi baik-baik saja.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Fahmi tiba-tiba teringat pembicaraannya dengan ibunya seminggu yang lalu…
“Kau yakin, nak?”
“Fahmi sudah istikharah, Bu. Dan ini jawaban Fahmi.”
“Alhamdulilllah. Kau tidak ingin menemui calon istrimu dulu?”
“Tidak usah, Bu. Itu memakan waktu lama lagi. Fahmi boleh melihat fotonya?” Bu Rara lalu mengambil ponselnya kemudian memperlihatkan sebuah foto perempuan bercadar biru.
“Ibu juga punya fotonya Aisha sewaktu ia membuka cadarnya…”
“Ini saja sudah cukup, Bu.” Fahmi menolak. “Insya Allah, dia perempuan yang baik untuk Fahmi.”

Bu Rara memeluk putranya. Amin ya Rabbal Alamin. Maha Suci Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan.

***

Sally duduk di kursi yang terletak di samping jendela. Pesawat yang ia tumpangi ini akan mendarat di Sultan Hasanuddin International Airport, Makassar, Indonesia. Tujuannya pulang ke kota ini untuk bertemu dengan sanak famili, dan tentu saja melangsungkan sebuah acara yang tak akan pernah terlupakan dalam hidupnya.
Sally tiba-tiba teringat sebuah surat yang ia kirimkan beberapa bulan yang lalu. Surat yang mengungkapkan isi perasaannya selama delapan tahun terpendam. Surat usang yang kini tiada artinya lagi. Ah, Fahmi, betapa aku berharap kaulah yang akan memasangkan cincin pernikahan itu di jari manisku ini. Tiba-tiba pesawat yang ditumpanginya bergoncang keras dan menyadarkan lamunannya. Astaghfirullah, seharusnya aku tidak boleh berpikiran seperti itu. Sally berkali-kali mengucapkan istighfar dalam hati, lalu menghibur dirinya sendiri dengan mengambil Al-Qur’an dan membacanya.

***

Ahad, 10 Juli 2011…

Hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Aisha berada di dalam kamarnya dengan mengenakan gaun muslimah putih bersama Ibu dan beberapa sahabatnya. Dari luar, ia mendengarkan suara seorang laki-laki sedang mengucapkan ijab kabul dengan mantap.
“Alhamdulillah, sah.” Seluruh saksi yang hadir dalam ruangan itu lalu memanjatkan doa kepada kedua mempelai. Fahmi yang tampak gagah dengan kemeja putihnya menitikkan air mata. Entah air mata bahagia karena kini ia memiliki seorang istri, atau sedih karena istrinya bukanlah seorang perempuan yang ia harapkan.
Barakallahu laku ma wabaraka ‘alaikuma wal jama’ah bainakuma fii khair.” Raihan yang hadir dalam acara itu memeluk Fahmi. “Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah, Amin.”
Syukran yaa akhi.” Fahmi membalas pelukan Raihan dengan senyum yang tersungging di bibirnya.
Fahmi menuju sebuah kamar yang terletak di lantai atas. Pintu kamar itu dihiasi bunga mawar berwarna merah di setiap sisinya. Begitu ia membukanya, seorang perempuan sudah menunggunya di dalam. Ibu dan beberapa kerabatnya sudah sedari tadi meninggalkannya sendirian.
“Assalamu’alaikum.” Sahut Fahmi lalu menutup pintu.
“Wa’alaikum salam.” Perempuan itu menyahut dengan wajah tertunduk. Ia tidak bisa menatap wajah lelaki yang kini menjadi suaminya itu.
“Boleh aku membuka cadarmu?” tanya Fahmi pelan.
“Silahkan. Kau adalah suamiku, kau berhak melihat wajahku.”
Fahmi menyingkap cadar putih itu perlahan. Kemudian Aisha mengangkat wajahnya, dan betapa kagetnya ia melihat siapa orang yang kini berada di hadapannya.
“Kau…”
“Sally…”
“Kau kah itu… Muhammad Fahmi Al-Salam?”
“Kau… Sally Whitney Finch?”
Keduanya sama-sama kaget dengan situasi yang dialaminya sekarang.
“Bukannya namamu Sasaki Hiroto?” Sally mencoba mencairkan suasana.
“Ya. Namaku memang Sasaki Hiroto, sewaktu aku dilahirkan di Tokyo, sebelum aku pindah ke Indonesia saat SMP dan memeluk Islam.”
“Oh, begitu…”
“Kau sendiri? Mengapa namamu juga berganti?”
“Kau tahu sendiri, aku kuliah di Mesir. Sally Whitney Finch tidak ada dalam ejaan Bahasa Arab, jadi Aisha Farhana adalah nama yang ku gunakan selama di sana.”
“Aku pikir kau akan kembali ke London setamat SMA. Lalu mengapa kau memilih Al-Azhar?”
“Aku ingin memperdalam ilmu agamaku.”
Keduanya lalu sama-sama terdiam. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing.
“Sally, apakah kau benar-benar mencintaiku?” tanya Fahmi sambil menatap kedua bola mata biru itu.
“Aisha. Aku ingin kau memanggilku dengan nama itu.”
“Baiklah, Aisha…”
Sally terdiam sesaat. “Kalau aku tidak mencintaimu, lalu apa tujuanku mengirimkanmu surat itu? Sudah lama, sejak kita masih duduk di bangku SMA…”, Sally menundukkan kepalanya. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu. Kau tidak pernah membalas suratku walau hanya sepenggal kata, ku pikir kau tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapku, sehingga tidak membalas suratku adalah keputusanmu untuk tidak menyakiti hatiku…”
“Kau salah, Aisha…”
“Maksudmu?”
“Kau pikir aku tidak membalas suratmu karena aku tidak mencintaimu, sehingga aku tidak ingin melukai hatimu? Tidak, Aisha. Aku baru membaca suratmu, setahun setelah kau kirim. Aku terlalu sibuk untuk mengecek e-mailku. Lalu setelah aku membaca suratmu itu, Ibu datang kepadaku untuk meminangmu, yang pada saat itu belum ku ketahui siapa dirimu. Ku pikir perasaanmu itu telah hilang, jadi aku tidak membalas suratmu. Lagipula aku akan menikah, aku tidak ingin membuat kekacauan, padahal sebenarnya tiap malam aku terus memikirkan suratmu itu…”
“Kau mencintaiku?”
“Seandainya kau tahu, aku juga menyimpan perasaan itu bertahun-tahun lamanya. Aku hanya tidak berani mengungkapkannya, karena ku pikir kau masih mencintai Raihan…”
“Ssst… sudahlah. Itu masa lalu. Yang aku cintai sekarang adalah kau suamiku, Sasaki Hiroto—Muhammad Fahmi Al-Salam.” Sally tersenyum, wajahnya memerah.
Fahmi lalu mengambil sebuah kotak hitam di atas meja di samping tempat tidur Sally. Dipakaikannya cincin emas itu di jari manis Sally, setelah itu Sally yang memakaikan cincin yang satunya di jari Fahmi. Setelah selesai, Fahmi mengambil kedua tangan Sally, lalu dikecupnya kening istrinya itu. Keduanya sama-sama menitikkan air mata, namun bukan lagi airmata kesedihan melainkan kebahagiaan yang menyelimuti hati kedua insan tersebut.
“Aku mencintaimu, istriku…” bisik Fahmi pelan.
“Aku juga mencintaimu, suamiku…” balas Sally.
Seorang lelaki yang berdiri di balik kamar pengantin mengusap airmatanya. Tidak sepantasnya aku menangisi perempuan yang kini menjadi istri orang lain. Raihan berjalan pelan sambil berucap istighfar dan doa dalam hati. Ya Allah, aku tahu rencana-Mu selalu lebih indah dari bintang di langit dan lebih manis dari madu lebah. Ihdinasshiratal mustaqim, tunjukilah aku jalan yang lurus.

***

Sunday, May 5, 2013

Hilang

Siapa bilang aku tidak mencarimu?

Kutemani siang dan malam, bergandengan bersama waktu
Ku hitung bintang dengan jemariku
Matahari tertawa melihat tingkahku
Siapa bilang aku tidak mencarimu?

Pun langit seakan berbisik halus
Merangkul jiwa yang tenang dengan kesepian
Hampa
Merangkai kata dalam irama
Siapa bilang aku tidak mencarimu?

Kakiku lelah melangkah kosong
Sunyi
Jarum jam memelukku
Bersama peluh yang menjadi kawanku
Siapa bilang aku tidak merindukanmu?

Pulanglah, senja telah tiba
Kemarilah, aku letih bersama bunga tidurku

Siapa bilang aku tidak mencarimu?
Siapa bilang aku tidak merindukanmu?