Friday, March 23, 2012

Jauh

Suatu saat aku akan pergi
Jauh, tanpa menoleh ke belakang
Meninggalkan kepingan hati yang menjadi puing-puing
Dan sebuah cinta yang kini tak bernyawa
Suatu saat aku berada di sana
Jauh, dari kesepian jiwa yang suram
Meninggalkan hiruk pikuk kebisingan deru airmata
Dan suara teriakan hati yang meronta
Suatu saat bukan namamu yang terukir
Jauh, terhapus oleh keadaan
Meninggalkan luka yang membekas selamanya
Dan ingatan yang kelak hilang tersapu waktu

Thursday, March 22, 2012

--

Sekarang tanggal 22 Maret 2012, tepatnya pukul 11:14 PM.

Ah, sebenarnya hari ini banyak sekali temanku yang berulang tahun. Sambil menikmati hariku, aku juga menikmati penantianku akan anugrah yang datang tak dijemput. Tapi sayangnya, itu tak jua datang kepadaku... huhuhu T.T (kodong... sabar mami). Ah sudahlah, bukan itu tujuanku menulis. Aku...sebenarnya...hanya...ingin menghabiskan malam ini saja. Mumpung besok tanggal merah, jadi hampir seluruh aktivitas diliburkan. Senang sekali rasanya, entah harus berterima kasih kepada pembuat kalender 2012, atau kepada masyarakat yang merayakan hari raya nyepi tepat tanggal 23 Maret, atau bahkan kepada pihak sekolah? Tapi yang paling tepat rasanya adalah kepada Allah Swt. karena ini semua atas kehendak-Nya:) Yap, apapun yang terjadi di sekitar kita, walaupun hanya hal-hal kecil, namun kita perlu tetap bersyukur kepada Tuhan, karena apa yang telah Dia berikan kepada kita, tak ada satupun yang sia-sia, semuanya pasti mempunyai makna dan tujuan tertentu tergantung dari sisi mana kita melihatnya;)

Yah... karena notebook-ku sudah mau lowbat (bukan lagi mau, tapi lowbat mentong mi, adami tanda serunya di ikon baterainya), maka mungkin cukup sampai di sini saya menulis. Walaupun belum mengantuk, tapi aku punya novel baru untuk dilahap^^ (baru dipinjam nah maksudnya, bukan baru dibeli). Bateraiku sudah ada tanda merah, peringatan kedua. Saatnya pamit undur diri dari hadapan anda, selamat salam dan semoga mimpi indah. Wassalamualaikum.

Saturday, March 17, 2012

Seharusnya Aku

Bagi gue, kebersamaan yang terlalu berlebihan dapat menciptakan sebuah cinta. Dan di setiap kisah cinta, pasti ada yang terluka. Entah itu orang lain, atau bahkan sang pemain cinta itu sendiri. Gue pernah ngerasain hal itu, ketika seseorang yang gue cintai lebih memilih seseorang yang baru di kenalnya ketimbang seseorang yang selalu ada untuk dia, yang selalu mengerti keadaannya. Gue tau gue terlalu egois, tapi hati gue cuma pengen menuntut balasan perasaan, itu aja kok. Ini cerita gue, dan gue harap lo nggak bakal ngerasain apa yang gue rasakan. Karena ketika lo kehilangan dua sesuatu yang sangat berharga yaitu persahabatan dan cinta, lo bakal menyesal seumur hidup.
“Rena!!!” Dion mencekal lenganku dengan kuat
“Dion!!! Apa-apaan sih?! Lepasin gue sekarang!” Rena berusaha melepaskan genggaman tangan Dion
“Nggak! Gue nggak akan ngelepasin tangan lo sebelum lo ngasih tau alasan lo marah sama gue!” Dion masih bersikeras
Rena terdiam. Air matanya hampir jatuh kalau saja ia tidak tau siapa yang berada di depannya sekarang.
“Re?”
“Dion, gue capek. Gue pengen pulang. Please lo lepasin tangan gue, gue nggak papa kok. Gue nggak marah sama lo.” Rena berkata lembut, pandangannya hanya tertuju pada kedua bola mata Dion.
“Re, lo nggak papa kan? Perlu gue antar pulang?” Dion akhirnya melepaskan genggaman tangannya pada Rena
“Nggak usah. Gue bisa pulang sendiri kok.” Rena mengambil beberapa bukunya yang tadi terjatuh karena berusaha melepaskan genggaman tangan Dion.
“Hati-hati di jalan, Re.”
“Thanks!” Rena berbalik sambil tersenyum, kemudian pergi dengan perasaan yang sangat kacau. Air matanya jatuh perlahan, perasaan sakitnya kini sudah tidak dapat ditahan lagi.
If you could see
That I’m the one who understands you
Been here all along
So why can’t you see
You belong with me
You belong with me (Taylor Swift-You Belong With Me)

Rena mematikan radio yang di nyalakannya. Damn! Kenapa harus lagu ini? Nyinggungnya kebangetan! Ia berbaring di atas kasurnya yang empuk itu, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna pink muda. Pandangannya kosong, tapi pikirannya hanya tertuju pada satu orang saja. Dion. Cowok itu berhasil menjadi pusat pemikirannya selama beberapa hari ini. Jujur saja, Rena cemburu. Dion lagi PDKT sama cewek lain, dan Rena suka sama Dion. Sayangnya, Dion nggak pernah tau soal itu. Lagi-lagi, airmatanya pun mulai menetes. Gue udah capek. Cepat atau lambat, Dion pasti tau perasaan gue ke dia.
Sementara itu di sebuah sekolah swasta yang sangat terkenal di Jakarta...
Di sini gue pertama kali mengenal dia. Di sini pula, kisah cinta gue di mulai. Cinta monyet, cinta masa smp. Tapi sekarang semuanya sudah berubah, semenjak kami pisah sekolah. Dia melanjutkan SMA-nya di Bandung, sedangkan gue masih di sini. Gue selalu berharap dia bakal datang buat gue, suatu saat nanti. Dan semenjak saat itu, hubungan kami mulai merenggang. Dia udah jarang ngasih kabar ke gue. Apa sekarang dia sudah punya orang lain? Entahlah. Gue harap dia masih mengingat janji kami berdua...
“Stel? Kamu kenapa?” Stela mulai tersadar ketika Feni menepuk pundaknya.
“Ah? Ngg aku nggak papa kok, Fen.” Stela tersenyum kepada adik semata wayangnya itu, seolah-olah memberitahukan bahwa tidak terjadi sesuatu dengannya.
“Lagi mikirin dia yah?” Feni menebak
“Ah, nggak kok.” Stela berusaha bersikap santai
“Stel, aku ini adikmu. Aku tau kamu lagi kangen sama cowok itu...”
“Fen...”
“Stel, udahlah. Dia nggak mungkin berani macem-macem di sana.”
“Fen...aku cuma takut dia udah jadi miliknya orang lain.” Stela menunduk.
“Stel, cinta cuma butuh kepercayaan.” Stela tersenyum, lalu memeluk Feni.
Tapi, entah kenapa sekarang gue nggak begitu yakin dia cuma sayang sama gue...

***

“Dion…”
“Kenapa, Ren?”
“Lo jangan pernah ngelupain gue, ya?” ada kesedihan di kedua mata Rena ketika menatap Dion
“Hahahaha Rena…Rena. Kamu ngomong apaan sih? Ya mana mungkinlah gue ngelupain lo. Ren, cuma lo yang bias ngertiin gue, dan gue ngerasa nyaman sama lo.” Dion tersenyum, meneduhkan perasaan Rena.
“Lo janji, Di?”
“Iya, gue janji, Ren. Emang kenapa sih?”
“Gue cuma nggak mau kehilangan lo, Di…”

Rena menghela nafas panjang. Mungkin udah saatnya Dion tau perasaan gue. Lagi-lagi airmatanya menetes, membasahi pipinya yang lembut dalam malam yang dingin.

***

“Gue nggak tau sampai kapan gue harus seperti ini. Tiap hari gue ketemu Dion di sekolah dan gue selalu ngobrol bareng. Gue nggak mungkin bisa menghindar dari dia, apalagi dia salah satu teman baik gue. Gue cemburu dia deket sama cewek lain, karena gue takut suatu saat mereka berpacaran, Dion bakal ngelupain gue. Gue cuma nggak mau kehilangan dia, itu aja kok. Karena gue sayang sama dia, dan gue udah lama mendam perasaan itu.”
“Gue selalu berharap Dion bisa melihat gue dari sisi yang berbeda, bukan hanya seorang teman, ataupun sahabat. Gue tau ini terlalu lucu buat gue, karena sepertinya itu adalah hal yang tidak mungkin. Dan kenyataannya memang seperti itu. Gue seperti bayangan yang kasat mata, karena pada akhirnya Dion lebih memilih cewek lain dibanding gue yang selama ini ada buat dia. Tapi entah kenapa gue selalu ngerasa special tiap Dion cerita tentang hidupnya sama gue. Gue selalu ngerasa punya posisi tersendiri, dan hanya dengan cara seperti itu gue bisa memiliki dia seorang diri. Mungkin gue egois, tapi inilah perasaan gue.”
Arin mengangguk-angguk sambil tetap menikmati sebungkus cheetos rasa kejunya. Ia kemudian menatap wajah Rena yang menggambarkan kesedihan, seolah ada awan mendung di sana. Sinar matanya yang biasa memancarkan kebahagiaan hilang, seperti tidak ada kehidupan.
“Ren, lo sebaiknya segera ngasih tau perasaan lo ke Dion. Dia harus tahu.”
“Tapi, Rin, gue belum siap.”
“Lo harus siap. Percaya sama gue, lo makin tersiksa kalo lo mendam terus. Sampai kapan lo mau nutupin semuanya? Lo nggak kasian apa sama perasaan lo sendiri?”
Rena menghela nafas panjang.
“Ren, kalo lo nggak berani ngomong sama dia, lo harus berani ngeliat dia bersama dengan orang lain.”
Rena memeluk sahabatnya itu erat. Ia sudah tak bisa lagi membendung tangisannya.
“Rena, apapun yang terjadi ke depannya, lo harus bisa nerima semua itu. Lo harus kuat, Ren. Gue yakin lo pasti bisa ngadepin semua ini.” Arin membelai rambut Rena lalu tersenyum.
“You should to tell him. Go now before late!” Rena segera membereskan barang-barangnya yang berantakan di kamar Arin, lalu berkemas kemudian pergi. Apapun yang akan terjadi, gue harus bisa nerima semuanya. Siap atau tidak, gue harus bisa! Batinnya sambil terus melangkah.

***

Stela tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Nafasnya memburu seperti dikejar setan. Keringat bercucuran dari tubuhnya yang hangat. Sepertinya ia baru saja mimpi buruk. Feni yang tidur di sampingnya juga ikut terbangun.
“Stela? Kamu baik-baik aja, kan?” tanya Feni dengan keadaan setengah sadar
“Aku…aku nggak apa-apa kok, Fen.” jawabnya lembut dengan perasaan yang disembunyikan.
“Kamu jangan bohong, Stel.” Feni mempertegas suaranya.
“Aku…aku mimpiin dia. Di dalam mimpiku itu, aku melihat dia berjalan bersama perempuan lain yang aku nggak tahu siapa. Kemudian mereka melambaikan tangannya ke arahku. Aku ngejar mereka, tapi mereka terus lari sambil nertawain aku. Setelah itu aku nggak ngeliat mereka lagi, dan akhirnya aku terbangun.”
“Stela…itu kan cuma mimpi. Mimpi itu bunga tidur, Stel. Ayolah, nggak usah kamu pikirin. Sekarang kamu balik tidur, karena besok kamu harus cepat datang ke sekolah.” Feni pun kembali tidur lalu menarik selimutnya.
Stela melirik jam beker di sampingnya. Jam 2 dini hari. Ia mencoba tidur kembali dengan memejamkan matanya, tetapi ia tidak bisa memasuki alam bawah sadarnya. Ia masih memikirkan mimpi yang baru saja dialaminya. Apa maksud dari mimpi itu? Berbagai pertanyaan merasuk ke dalam pikirannya hingga akhirnya ia pun terlelap.

***

“Arin…”
Rena berlari ke arah Arin kemudian memeluknya. Tangisnya pecah, rambutnya yang panjang menjadi berantakan. arin heran, lalu mendudukkan Rena di atas tempat tidurnya yang bersprei warna merah muda itu.
“Rena, lo kenapa lagi?” Tanya Arin lembut sambil merapikan rambut Rena.
“Rin, gue nggak bisa. Pas gue pengen ke rumah Dion kemarin, gue ngeliat dia sama Gina, Rin, cewek itu. Mereka berdua mesra banget. Gue langsung ngurungin niat gue buat ngomong sama Dion. Gue nggak bisa, Rin.” Rena terus menangis tanpa henti.
“Ren, udahlah. Mungkin mereka cuma temenan aja, kok. Lo jangan langsung berprasangka buruk gitu, deh. Nggak baik.”
“Nggak mungkin, Rin. Izah, temen gue pernah ngomong ke gue kalo Dion itu lagi PDKT sama Gina. Dion juga pernah cerita sama gue kalo dia lagi PDKT sama cewek, tapi dia nggak mau ngasih tau gue siapa orangnya. Gue yakin banget orangnya itu emang beneran Gina, Rin. Gue…”
“Rena, lo nggak perlu sedih. Lo masih punya gue, gue bakal selalu ada buat lo, Ren. Jangan dipikirin, ya. Kalo lo nangis ntar gue juga ikutan nangis, Ren. Lo jangan sedih, ya.” Arin mengusap punggung Rena. Ia tahu betul apa yang sedang dirasakan oleh sahabatnya itu. Rena tetap menangis, sedangkan Arin terbuai dalam pikirannya sendiri.
Keesokan harinya saat Rena baru pulang dari sekolah, ia langsung dihadang oleh Dion. Rena berusaha untuk tetap jalan, tapi Dion terus mengikutinya.
“Rena, tunggu!” Dion mencekal lengan Rena.
“Apaan sih, Dion? Gue pengen pulang. Tolong jangan menghalangi jalan gue.” Rena mencoba melepaskan genggaman tangan Dion.
“Nggak. Gue nggak akan ngelepasin lo.” kata Dion tetap pada posisinya.
“Mau lo apa sih? Lepasin gue!” Rena menarik tangannya.
“Rena, gue mau ngomong sama lo.”
“Apaan? Ngomong aja sekarang. Gue pengen pulang, nih.”
“Kita bicara di taman belakang sekolah aja. Di sini suasananya kurang baik.” kata Dion lalu membawa Rena ke tempat tujuan.
“Rena, Arin udah ngasih tau semuanya sama gue. Tapi sekarang gue minta penjelasan dari lo.” kata Dion tenang.
Rena terkejut. Tapi ia berusaha untuk menyembunyikan rasa keterkejutannya itu.
“Lo udah tau semuanya, kan? Lalu apa lagi yang lo mau?”
“Gue pengen dengar langsung dari mulut lo.”
Rena menarik nafas panjang. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia berusaha untuk tidak menjatuhkan air matanya itu di depan Dion.
“Gue bener-bener nggak nyangka semuanya bakalan seperti ini. Gue… gue mengaku salah. Gue minta maaf, Ren,”
“Tapi gue nggak mau diam-diaman sama lo, Ren. Kita itu temenan dari dulu, dan gue nggak pengen pertemanan kita rusak cuma gara-gara hal ini doang.” Dion mencoba menjelaskan semua, walaupun dengan perasaan serba salah.
“Gue perlu waktu, Di. Tiap orang pasti butuh waktu untuk menetralkan perasaannya. Pasti ada saat yang tepat di mana kita bisa bercengkerama seperti dulu lagi. Tapi bukan sekarang, maaf Di. Gue bener-bener pengen perbaikin perasaan gue ke lo.” kata Rena tenang.
“Gue ngerti kok, Re. Sekali lagi gue minta maaf atas semuanya.”
“Gue juga minta maaf, Di. Gue egois.”
“Nggak. Lo nggak salah, Ren. Ini sepenuhnya salah gue.”
Mereka lalu terdiam, terbelenggu dalam pikiran masing-masing. Lama berada dalam sunyi, akhirnya Dion membuka suara.
“Ren, langit lagi mendung. Kayaknya bentar bakal hujan. Sebaiknya lo pulang sekarang. Gue… gue duluan, Ren.” katanya lalu pergi menuju ke arah parkiran motornya, meninggalkan Rena sendirian. Hati Rena betul-betul hancur. Ia terduduk, lalu menangis sepuasnya. Hujan menjadi pengiring hatinya yang kelam, di bawah langit yang suram.
Never mind
I’ll find someone like you
I wish nothing but the best for you too
“Don’t forget me,” I begged
“I’ll remember,” you said
“Sometimes it lasts in love but sometimes it hurts instead.”
Sometimes it lasts in love but sometimes it hurts instead, yeah. (Adele-Someone Like You)


***

“Feni…”
“Stela, kamu kenapa?” Stela langsung berlari ke arah adik semata wayangnya itu. Ia lalu menangis sesenggukan.
“Semalam, aku ketemu sama dia, Fen.”
“Ketemu? Di mana? Kok kamu nggak ngasih tahu aku?”
“Kemarin malam kamu nggak ada di rumah, Fen.”
“Stel, aku mau ketemu sama kamu,” kata Dion melalui line telepon.
“Aku tunggu kamu di V’risk café, sekarang.”
Stela lalu berkemas. Ia kemudian mengambil mobilnya di bagasi kemudian mengendarainya dengan kecepatan 50 km/jam. Sesampainya di sana, ia menemui Dion sedang menikmati moccacino kesukaannya.
“Tumben kamu minta ketemu sama aku,” kata Stela lalu duduk di depan Dion.
“Stel, aku pengen ngomong sesuatu,”
“Ngomong aja, Di.” perasaan Stela tiba-tiba berubah menjadi tidak enak. Sepertinya malam ini akan terjadi sesuatu antara mereka berdua.
“Aku… aku udah nemuin orang lain, Stel. Maaf, mungkin hubungan kita berakhir sampai di sini,”
Stela menarik nafas panjang. Ia terdiam sesaat lalu membuka mulut.
“Segampang itu kamu mengakhiri semuanya, setelah aku berusaha mempertahankan hubungan kita selama 3 tahun?”
“Semua ketidakjelasan membuat aku harus mencari yang jelas, Stel. Dan aku rasa kamu juga sudah menemukan pengganti buat aku,”
“Apa aku terlihat menemukan pengganti untuk kamu, Di? Nggak, kan?”
“Dion, aku tahu hubungan kita tidak jelas, dan mulai merenggang sejak kamu pindah ke Bandung. Tapi selama itu pula aku tetap setia sama kamu, Di. Sedikit pun aku nggak pernah berniat buat ngelupain kamu. Dan semudah itu kamu ninggalin aku? Lalu apa arti dari cinta kita selama ini, Di?” mata Stela mulai berkaca-kaca.
“Stela, maafin aku…”
“Oke. Mungkin ini yang terbaik bagi kita berdua,”
“Stela, percaya sama aku. Aku masih sayang sama kamu, dan aku nggak akan pernah bisa ngelupain kamu. Tapi sekarang keadaannya sudah berbeda, Stel. Aku… aku nggak mungkin ninggalin pacarku begitu saja,”
“Kamu pacaran? Siapa cewek itu, Di? Siapa? Rena?” tanya Stela dengan nada yang sangat rendah.
“Bukan, bukan Rena. Namanya Gina. Dia juga teman sekolahku.”
Stela kemudian menangis. Wajahnya yang putih bersih tersapu oleh airmata.
“Stela… maafin aku…” Dion menunduk. Ia tidak berani menatap Stela.
“Semoga kalian bahagia.” kata Stela menyalami tangan Dion, berusaha untuk tersenyum kemudian pergi. Ia melajukan mobilnya dengan kencang, menembus malam yang gelap dan hitam, se-kelam perasaannya sekarang.

“Stela…”
“Fen, aku nggak tau harus ngomong apa. Hatiku betul-betul hancur, dan aku sama sekali nggak punya alasan untuk menghalangi Dion pacaran sama cewek itu. Aku bukan siapa-siapanya Dion, Fen. Kita berdua memang saling mencintai, tapi kita tidak pernah terikat dengan suatu hubungan. Sekarang aku ngerti, kenapa akhir-akhir ini aku sering mimpiin Dion. Ternyata ini jawabannya.” kata Stela putus asa. Ia kemudian menutup wajahnya dan menangis sejadi-jadinya.
“Stel, aku tau kok perasaan kamu sekarang kayak gimana. Nggak selamanya orang yang kamu kenal akan sama sifat dan perilakunya untuk seterusnya. Seiring dengan berjalannya waktu, perasaan seseorang bisa berubah, Stel. Kamu harus ingat itu. Sekarang kamu pikir, apa lagi yang kamu tangisi? Dia sudah punya Gina, dan dia nggak mungkin pikirin kamu lagi. C’mon Stel, kamu pasti bisa kok ngejalanin masa-masa sulit kamu ini.” Feni memeluk kakak semata wayangnya itu sambil membelai rambutnya yang acak-acakan. Dia tahu, Stela hanya hanya belum siap menerima kenyataan. Tapi suatu saat, kakaknya itu pasti akan terbiasa dengan keadaan.

***

3 Tahun Kemudian…
Rena duduk di sebuah bangku taman di kampusnya. Matanya menatap langit yang biru, pikirannya menerawang jauh pada apa yang dialaminya tempo hari. Sudah bertahun-tahun Rena melalui masa-masa terpuruknya, dan lambat laun akhirnya ia pun bisa bersahabat dengan kenyataan. Ia tak lagi merasa risih dan sedih bila melihat Dion dan Gina menghabiskan waktu bersama, ia bahkan tak peduli dengan mereka lagi. Baginya, Dion tak lebih dari sekadar matahari yang terbenam di hari kemarin. Masa lalu yang sempat mewarnai hidupnya, mencerahkan hari-harinya. Dan kemudian Rena sadar, matahari baru akan menyambutnya esok hari. Karena sesudah malam yang gelap, adalah pagi yang terang.
“Rena, ngapain lo di sini?” suara Stela membuat Rena menghentikan lamunannya.
“Ah, nggak kok, Stel. Eh ngomong-ngomong, lo tau gimana kabarnya Dion sekarang?”
Stela terdiam. Lalu kemudian tertawa.
“Nggak. Gue sama sekali nggak tau. Emang kenapa? Lo kangen? Cieeee….” goda Stela sambil mencubit pinggang Rena.
“Ihh… nggaklah. Gue cuma pengen tau aja gimana kabarnya tuh bocah sekarang. Tamat SMA langsung menghilang, nggak kelihatan batang hidungnya. Gue jadi curiga kalo Dion udah ditelan bumi.” kata Rena lalu tertawa bersama Stela.
“Hahaha… Ren, gue punya cerita nih. Mau dengerin nggak?”
“Apaan?”
“Gue pernah mencintai seseorang, dan dia juga mencintai gue. Semakin lama waktu berjalan, gue ngerasa dia semakin jauh. Yang selalu ada di fikiran gue, ‘Dia nggak mungkin berpaling dari gue, karena hubungan yang kami jalani sudah cukup lama’. Tapi ternyata gue salah. Gue lupa satu hal, bahwa perasaan seseorang bisa berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu. Gue nggak pernah memikirkan hal itu, sampai akhirnya ada sebuah kejadian yang membuka mata gue.”
“Dia benar-benar ninggalin gue, dan… yah lo tau sendiri gimana sakitnya seorang perempuan yang diduakan. Tapi kemudian gue ambil hikmahnya lagi, kalo masa gue sama dia udah habis, dan sekarang udah bukan giliran gue lagi. Awalnya gue lalui dengan berat hati, tapi roda terus berputar, dan lo bisa liat keadaan gue sekarang ini. Seems like no loads on my shoulder.” Stela tersenyum, ia seperti membuka kembali dokumen-dokumen lamanya yang tersimpan indah di ingatannya.
“Gue nggak mau kalah. Gue juga punya satu cerita buat lo.” kata Rena bersemangat, kemudian memperbaiki posisi duduknya.
“Oh ya? Tell me now!
“Dulu, gue punya sahabat. Kalo ada dia, pasti ada gue juga. Kita berdua saling berbagi cerita, berbagi rasa. Semakin lama, gue ngerasa kalo gue takut kahilangan dia, dan nggak mau pisah dari dia. Dan akhirnya gue pun sadar, kalo ternyata gue jatuh cinta sama dia. Gue nggak tau kenapa, gue nggak bisa nemuin alasannya. Tapi sayangnya, cinta gue bertepuk sebelah tangan. Ternyata dia cuma menganggap gue sebagai sahabatnya doang, itu aja.”
Nggak lama kemudian, dia jadian sama cewek lain. Gue sempat berpikir, kenapa dia mesti lebih memilih cewek itu, sedangkan jelas-jelas selama ini gue yang selalu ada buat dia, gue yang selama ini ada di sampingnya dia, gue yang tau banyak tentang dia, bukan cewek itu. Awalnya gue nggak bisa nerima kenyataan ini, tapi lambat laun gue pun sadar. Cinta memang tidak bisa dipaksakan, dan itu hak dia untuk memilih siapa orang yang akan menjadi pasangannnya. Kita tidak pernah mengetahui apa yang ada di dalam diri seseorang. Gue juga belajar satu hal untuk tidak jatuh cinta kepada sahabat sendiri untuk yang kedua kalinya. Karena ketika gue kehilangan dua hal, yaitu cinta dan persahabatan, gue merasa jadi orang paling terbodoh di dunia.”
“Kita berdua punya cerita yang hampir sama, ya, dengan orang yang sama pula.” Stela tersenyum, lalu kembali ia menatap taman kota dari kejauhan, seperti ia menatap masa lalunya.
“Gue nggak menyangka sekarang kita bisa jadi sedekat ini, Stel.”
Well, kita memang nggak pernah tau apa yang akan terjadi pada diri kita suatu saat nanti.”
Kedua cewek itu larut dalam pikirannya masing-masing. Mereka seakan membuka kotak kenangan yang disimpannya rapat-rapat di dalam hatinya, dan menonton kisah cinta klasik yang pernah mereka lalui saat masih SMA dulu.
I’ve found someone else. He’s just an ex.” Stela meyakinkan dirinya, lalu berbalik kearah Rena. “How about you?”
I don’t have time for this bullshit called ‘romance’. I keep study and work.” Rena tersenyum, lalu keduanya pun tertawa, sambil menikmati indahnya pemandangan sore hari di taman kampus. Ya, hidup itu indah. Kalau saja kita selalu memandang dari sisi positif dan tidak terlalu memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak begitu penting untuk dipikirkan. Patah hati, misalnya.