Tuesday, June 21, 2011

Ketika Hujan Turun

Seandainya saja hujan tidak turun pada hari itu, akankah aku mencintainya? Akankah aku menyimpan sebuah perasaan terhadapnya? Akankah keadaanku sesuram ini? Akankah dia selalu berada dalam ingatanku? Entahlah, aku tak tahu. Yang aku tunggu hanyalah sosoknya dan janjinya. Namun semuanya hilang tersapu debu, membuatku menunggu matahari, karena aku menyayanginya lewat gerimis di pagi hari dan mencintainya kala hujan di malam hari.
***
Aku merapikan kertas-kertas yang berserakan di meja kantorku. Ku tatap jam di dinding depanku, sudah pukul 5 tepat, batinku. Ryan belum muncul, mungkin terjebak macet di jalan. Segera ku ambil tas ku lalu memasukkan sebuah laptop dan beberapa map. Hari yang sangat melelahkan. Setelah membereskan meja kantor, aku pamit pada rekan-rekanku lalu menunggu Ryan di luar. Hujan turun rintik-rintik, kenangan 3 tahun lalu itu masih terekam dengan indah di memoriku, saat semuanya masih utuh dan belum ternodai kebohongan. Dimana ada sebuah cinta yang berjanji takkan mati, sebuah cinta yang berkata takkan pergi....
“Rei, kamu yakin mau pulang sekarang?”, tanya Rafa sekali lagi. “Masih gerimis...”,
“Tapi ini udah malem banget, Fa. Tapi kalo kamu pengen nungguin hujan berhenti, gak apa apa deh”, jawabku tersenyum.
“Aku sih nggak papa kalo kehujanan, tapi kamu gimana? Ntar kamu sakit, gak masuk kuliah lagi. Padahal bentar lagi kan mau semester”, Rafa membelai rambut panjangku.
“ Nggak papa kok, Fa. Yuk, keburu hujan deras”. Rafa lalu menyalakan mesin motor Honda Beat merahnya lalu aku pun naik di jok belakang. Kami menembus malam yang gelap dan dingin, bercanda dan tertawa riang di atas motor.
“Fa...”, Aku memnggil Rafa pelan.
“Kenapa, Rei?”,
“Fa, aku takut....”, kataku sambil menutup mata.
“Takut? Kamu takut sama apa?”, Rafa kemudian memelankan motornya.
“Ini udah malam banget, gelap, mana hujan pula. Aku takut, Fa...”, kataku sambil memeluk tas ku.
“Reina...”, kata Rafa sambil tersenyum. “Kamu nggak perlu takut, ada aku kok yang selalu jagain kamu. Kamu nggak usah khawatir, Rei, ngggak ada yang perlu kamu takutin...”,
Aku tersenyum, perasaanku menjadi lebih tenang. Hawa dingin tak ku rasakan lagi, tergantikan sebuah kehangatan yang diberikannya. Ku rapatkan tubuhku pada Rafa, seolah takut kehilangan dirinya.
“Rei, kamu pake jaketku, ya. Ntar kamu masuk angin”. Baru saja ia akan mematikan mesin motornya, aku buru-buru menjawab, “Nggak usah, Fa. Aku pake jaketku sendiri, kok. Lagian kalo aku pake jaket kamu, kamu pake apa? Nggak papa kok, Fa”. Jawabku menolak.
“Ya udah, tapi kamu janji gak boleh sakit, ya!”
“Iya, Fa. Aku nggak bakalan sakit kok”. Aku tersenyum. Kami lalu bercanda dan mengobrol bersama, tertawa lepas seakan tanpa beban. Saat-saat seperti ini yang aku suka, yang selalu aku rindukan.
“Fa, hujan makin deras....”, Rafa lalu membalap motornya, menembus hujan dan pekatnya malam. Gemuruh petir sesekali terdengar, memecah keheningan alam. Sayup-sayup ku dengar suara di tengah derasnya hujan, “Reina, aku sayang kamu...”,

***
Aku tersadar dari lamunanku ketika sebuah suara mengagetkanku dari samping kananku, “Reina...”,
“Ryan? Kamu udah datang?”, Buru-buru aku berdiri, mengambil beberapa map yang tadi ku simpan di sebelahku. “Kita pulang, yuk!”, ajakku sambil menggamit tangannya.
“Reina? Kamu nggak papa kan?”, Tanya Ryan khawatir.
“Aku baik-baik aja kok, Yan. Kamu nggak usah cemas”, kataku tersenyum.
“Tadi aku nyamperin kamu, kamu malah asik mengkhayal. Beneran kamu nggak kenapa-kenapa?”, Ryan bertanya sekali lagi.
“Nggak kok, tadi aku cuma kecapean aja. Beneran serius aku nggak papa Yan, swear!”, jariku membentuk angka 2 di depan wajah Ryan.
“Ya udah deh kalo gitu. Aku cuma takut terjadi apa-apa sama kamu, Reina...”, Ryan tersenyum. Wajahnya memamerkan kedua lesung pipinya yang dalam.
“Gitu dong, kamu harus percaya sama aku, Yan”. Aku tertawa bersamanya. Hujan kini berhenti, berganti matahari yang memancarkan sinarnya walau sudah pukul setengah 6 sore. Sebuah pelangi terlihat di ufuk barat, seakan mewarnai kebahagiaan kami berdua, aku dan Ryan.
***
Aku berjalan sendirian di toko buku sebuah Mall. Ku langkahkan kakiku menuju stan “Best Seller” sambil melihat-lihat beberapa buku terbaik. Mataku tertuju pada sebuah novel yang berjudul ‘Rain Affair’ karya Clara Canceriana. Hmm... si cewek jatuh cinta pada saat hujan, gumamku pelan. Dadaku tiba-tiba sesak, kenangan itu tiba-tiba muncul dalam pikiranku lagi, menyerangku tanpa henti, beradu dengan akal sehatku yang memaksanya untuk keluar dari ingatanku sesegera mungkin. Aku berusaha menepis semuanya. Sekarang bukan saatnya. Tempatnya nggak aman, kataku dalam hati. Setelah membayar novel tersebut di kasir, aku langsung pulang ke rumah. Tak sabar membaca isi cerita novel ini. Tiba-tiba saja handphone ku bergetar, ada sebuah sms dari sebuah nomor yang tidak ku kenal.
Hai, Rei! Apa kabar? Aku kangen bgt deh sm kamu, eh kamu lg dimana? Ketemuan, yuk! Ada yg pengen aku omongin. Jam 3 sore ya, di Victoria Cafe. C u!

Rafael


Rafa...kemana aja kamu? Selama ini kamu menghilang, dan sekarang kamu muncul lagi. Rafa...aku juga kangen banget sama kamu. Gimana keadaan kamu sekarang? Tapi Fa...kenapa kamu harus hadir saat aku udah nemuin pengganti kamu? Kenapa baru sekarang? Kenapa nggak dari dulu? Tiba-tiba mataku terasa panas, dan airmataku sudah tak dapat ku bendung lagi. I have to meet him! Gumamku perlahan kemudian bersiap-siap.
***
“Rafa....”, panggilku perlahan sambil menepuk pundaknya.
“Reina! Aku pikir kamu nggak akan datang”, Rafa tersenyum, lalu mempersilahkanku duduk di depannya.
“Fa, darimana aja kamu? Selama ini kamu menghilang....”,
“Rei, aku pengen ngomong sesuatu sama kamu”. Rafa berhenti menyeruput cappucino-nya kemudian melanjutkan pembicaraannya yang tertunda. “Maafin aku Rei...”, katanya sambil menundukkan kepalanya.
“Maaf? Buat apa kamu memintaa maaf, selama 3 tahun terakhir ini, kita nggak pernah ketemu. Aku fikir, kamu nggak punya salah apa-apa kok sama aku. Kenapa kamu harus minta maaf?”, tanyaku balik. Heran.
“Justru itu, Rei...”, Rafa melanjutkan. “Selama ini aku menghilang dari kamu. Karena aku sayang sama kamu, Rei...”,
Aku tersentak kaget. “Kalo kamu sayang sama aku, kenapa kamu harus ngilang dari aku, Fa? Kenapa kamu harus pergi?”
“Karena aku tau, kamu nggak bisa membalas perasaanku. Rei, dulu aku sering bilang kalo aku sayang kamu, tapi kamu nggak pernah mau percaya. Itu yang membuat aku yakin, kalo kamu sama sekali nggak akan pernah bisa sayang sama aku”.
“Fa, kamu mau tahu satu hal selama kamu pergi menghilang gitu aja?”, tanyaku perlahan, menatap kedua matanya yang memancarkan kesedihan.
“Apa?”
“Aku kangen kamu, Fa. Kangen banget. Aku ngerasa kehilangan sosok kamu, yang selalu ada buat aku. Sebelum kamu pergi, aku selalu membohongi perasaanku. Mendustai diriku sendiri atas apa yang ku rasakan sama kamu. Selama kamu nggak ada, aku baru sadar satu hal, ternyata aku sayang banget sama kamu, Fa. Aku capek berperang sama perasaanku sendiri. Tapi aku terlalu bodoh dan munafik, tak pernah mau mengakuinya sedikitpun. Aku hanya tak ingin memendamnya saja, tanpa kau tahu. Dan ternyata aku salah. Memendam perasaan cinta bukanlah hal yang mudah”.
“Kamu masih ingat hujan? Kita berdua terlalu sering dengan keadaan itu. Kamu nggak tau aku sakit tiap mengingat kenangan-kenganan itu. Aku selalu nungguin kamu, aku selalu berharap suatu saat nanti kamu bakal bilang sejujurnya sama aku kalo kamu sayang aku. Aku selalu menunggu saat itu, Fa.”, Airmataku jatuh perlahan, namun ku coba unutuk tetap tersenyum, meski sebenarnya, sangat sakit.
“Ini adalah saat yang kau tunggu-tunggu, Rei. Aku janji, aku nggak bakal ninggalin kamu lagi. Aku sayang kamu, Reina”. Buru-buru ku tarik tanganku saat Rafa berusaha menggenggamnya.
“Rei...”
“Kamu terlambat, Fa. Selama ini, aku capek nungguin kamu yang aku fikir tak kunjung datang. I’ve found someone else. Sorry, Fa...”,
“Reina, kamu......”
“Fa, you have to look for someone else, too. Sekarang aku jadi tenang, karena akhirnya aku bisa tau perasaan kamu sebenarnya, dan aku bisa ngungkapin seluruh isi hatiku sama kamu. You’re unforgettable, Fa. I’ll always remember you by rain”. Ku lihat perasaan sedih pada raut wajahnya, namun ia berusaha untuk tetap tersenyum.
“Thanks, Rei. But you’re irreplacable. Walaupun nanti aku udah dapetin yang pas buat aku, kamu tetap Reina Raydiana yang pernah, selalu dan selamanya menyejukkan perasaanku saat hujan”. Kali ini ku lihat kedamaian di wajah Rafa. Sekarang, tak ada lagi yang perlu disembunyikan. Tak ada lagi yang harus ditunggu dan diragukan. Semuanya sudah jelas. Seberkas kilat menyinari langit, kemudian hujan pun turun. Ya, hujan selalu punya kenangan tersendiri bagiku dan Rafa.
***
Aku menghirup udara pagi yang segar, sesegar pikiranku. Kejadian kemarin sore membuatku berpikir, ternyata kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada diri kita besok, lusa, minggu depan, bulan depan, atau nanti. Dan ternyata, cinta bukanlah merupakan suatu hal yang harus dipaksakan, karena cinta tak mengharuskan untuk saling memiliki. Aku tersenyum cerah, secerah mentari di pagi ini. Kali ini aku merasa sangat bahagia.
“Reina, udah siap?”, Ryan mengklakson motornya di halaman rumahku.
“Kita berangkat sekarang yuk, Yan”, kataku lalu duduk di atas motornya.
“Rei, kamu cantik banget pagi ini”. Ryan memujiku sambil tersenyum. Pipiku bersemu merah.
“Apaan sih, Ryan. Udah jalan aja, ntar aku telat nyampe kantornya”, kataku sambil mencubit lengannya.
“Iya deh, sayang”. Ryan membalap motornya. Bagiku, Ryan seperti matahari yang akan selalu menerangi setiap sudut hatiku yang kelam. Sekarang aku udah tau, siapa yang sebenarnya aku cintai, batinku dalam hati sambil tersenyum.

***